Chapter 23. Harus Jujur

499 64 13
                                    

Fiony menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur. Tidak mengganti seragam kerjanya, maupun melepas sepatu heels-nya. Ia memejamkan mata dengan dahi yang berkerut. Sejenak pikirannya melambung jauh sembari mengingat aktivitas seharian penuh di tempat kerjanya. Ketika ia membuka kedua matanya, langit-langit kamar terlihat sangat gelap karena lampu yang belum dinyalakan dengan sengaja. Fiony membiarkan ruangan kamar terasa dingin dan suntuk untuk sekarang. Ia seperti ingin menyiksa dirinya sendiri untuk beberapa saat.

Gorden jendela kamar yang tertiup angin kencang saling beradu karena cuaca mengisyaratkan bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Lagi-lagi, gadis dengan dandanan khas resepsionisnya itu sengaja membiarkan jendelanya terbuka sehingga angin malam masuk.

Ponselnya sedari tadi berdering tak diindahkannya. Ia sudah tau, itu pasti Freya. Kekasihnya itu berkali-kali menghubunginya walaupun tau jika tidak akan pernah di angkat oleh Fiony.

Dengan kamarnya yang begitu berisik dengan suara dari banyak sumber, Fiony lebih memilih mendengarkan isi kepalanya yang masih saling berdebat. Seolah kalimat yang melambung di pikirannya itu terasa nyata hingga membuatnya berkaca-kaca. Fiony menahan tangis. Hatinya sakit terluka. Kejadian hari ini sangat tidak terduga. Membuatnya kembali berpikir, kapan terakhir kali aku merasa begini ya?

¤¤¤¤¤

Mungkin bisa di hitung hampir seminggu hubunganku dengan Freyana menjadi dingin. Aku memberinya batasan untuk mengobrol denganku, juga masing-masing dari kami mulai menyibukkan diri. Aku bisa melihatnya membiarkanku menyendiri terlebih dahulu. Jika di tanya apakah dia mencoba memperbaiki permasalahan ini? Ya, dia mencoba. Tapi, aku terlalu pengecut untuk bisa mendengarkannya menjelaskan semuanya.

Aku terlalu takut untuk berada di posisi itu lagi. Benar, "lagi". Aku rasa dia mengerti alasanku memilih untuk berdiam diri seperti ini.

Meskipun berada di tempat yang sama bahkan bisa saling bertemu setiap hari, tidak membuat hatiku tergerak untuk mencoba membahasnya. Ah, aku sangat bodoh. Karena sekarang aku merindukannya. Huh, salah siapa dia berperilaku seperti ini. Salahku juga sih, jika di pikir-pikir...

"Bu Sofia negur aku tau, gara-gara lihat kamu akhir-akhir ini banyak keteteran"

Jessi menggerutu disampingku sambil mengisi data pasien hari ini. Siang ini tidak begitu ramai, namun tidak juga bisa di bilang sepi. Kami masih sempat mengobrol meski tak sering.

"Hmm, gitu ya", jawabku seadanya.

"Coba ngomong deh ke aku. Kamu sakit apa gimana, Fio? Sering banget gak fokus dari kemarin"

Jessi seperti agak kesal denganku. Nada suaranya terlihat seperti orang yang menahan amarah, walaupun tidak hanya tentang diriku. Tetapi, aku bisa menangkap arah pembicaraannya bahwa ia sebetulnya khawatir terhadapku.

Jessi melirikku, "Ada masalah ya? Soal waktu itu.. Apa ada hal buruk terjadi pas perawat Ashel dateng?".

Aku terdiam. Kepala perawat sebenarnya sudah menegurku, bahkan memarahiku karena kelalaianku memasukkan data pasien bulan ini yang tercampur dengan bulan lalu. Merasa banyak tekanan dari berbagai arah datang kepadaku, aku semakin yakin kalau ini akan lebih memperburuk performa kerjaku.

"Iya, 'kan. Udah aku duga. Pasti gara-gara si Ashel itu! Apa dia gosipin kamu lagi? Atau kali ini dia tanya hal gak sopan soal Freya lagi ke kamu? Apa dia-"

Aku menyela ucapan Jessi, "Aku lagi gak pengen bahas, Jes"

Jessi langsung menatapku dengan ekspresi tertegun yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Sepertinya ia agak terkejut melihatku sangat kekanakan begini. Selalu menghentikan orang lain yang berusaha membantuku, serta membatasinya yang mencoba mencari tahu.

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang