Chapter 18. Bali (3)

551 56 8
                                    

Suhu begitu dingin. Dinding mulai lembab karena hawa sejuk yang tercipta bukan dari pendingin ruangan, melainkan ventilasi udara kamar. Jendela sudah tertutup rapat, gorden yang bertirai pun ikut bergoyang akibat udara yang masuk lewat sela-sela dinding.

"Ung.. mmhh.. dingin"

Fiony menggeliat dari pinggir kasur menuju ke tengah. Selimut tebal tak membantunya menghilangkan badannya yang menggigil tiba-tiba.

Freya memasukan tangannya ke sela-sela leher Fiony kemudian merengkuh punggung gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan hangat. Masih saling memejamkan mata, namun Freya tetap menyadari bahwa kehangatan itu terasa pada kulitnya. Meski sudah menggunakan sweater, memang suhu kamar sangat rendah sehingga membuat mereka terbangun.

"Masih dingin?", tanya Freya mengelus punggung Fiony untuk menghangatkannya.

Fiony mengangguk dengan ekspresi muka menahan dingin.

"Mau lebih hangat?"

Pertanyaan itu hanya di balas anggukan oleh Fiony. Freya mendekatkan tubuhnya ke arah kepala sang kekasih agar seluruh tubuh Fiony merasakan hangat yang lebih. Freya membuka kedua kelopak matanya dan menunduk memandangi rambut seorang gadis rapuh yang kini berada di dalam pelukannya. Ia tersenyum tipis dan merasa sangat bersyukur bahwa ia bisa mendapatkan hati seseorang yang sangat ia idam-idamkan.

"Makasih ya, Piyo"

¤¤¤¤¤

Pagiku sangat menenangkan dan nyaman. Bangun tanpa ada beban untuk pergi bekerja. Tidak perlu menyiapkan sarapan, yah meski Freyana juga biasanya membantuku untuk melakukan semua pekerjaan ringan itu. Kami sudah tinggal bersama kurang lebih 3 tahun. Sebelumnya, Freyana biasa menginap di kamar yang ku sewa sewaktu masih menginjak bangku kuliah. Kini kami berada di apartemen selama 6 bulan.

Liburan kali ini tidak mengecewakan. Sangat seru impersonate setiap personal satu sama lain semalam. Aku jadi menyadari jika Muthe adalah perempuan yang ceria. Terlihat dari gerak-geriknya yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Jessi juga semakin memperlihatkan betapa ia sangat effort untuk mengenal lebih dalam Muthe. Kak Indah yang akhirnya buka-bukaan soal anak direktur yang menjadi obrolan terpendam di otak kami.

"Untung kita selesai sebelum jam 4 pagi. Gak capek kan?"

Freyana tiba-tiba datang dari pintu membawa baki berisi makanan yang sepertinya ia ambil di meja makan villa. Sudah disiapkan dan memang di setting akan datang sesuai jamnya.

"Hah? Selesai apa?", aku bingung dan sedikit curiga arah pembicaraan gadis berkacamata itu.

"Kalo belum capek, ayo lagi"

Aku merinding entah kenapa sesuatu di dalam perutku seperti sedang menggelitik dan mengganggu fokusku. Kenapa ia tiba-tiba sangat frontal seperti itu? Apa karena period-nya belum selesai? Tapi kenapa segamblang itu. Tidak seperti biasanya yang tak terlihat begitu needy. Bukan, jangan anggap aku berpikiran serta menilai yang buruk terlebih dahulu. Namun, aku sangat hafal sikap Freyana mengenai hal itu.

"Kok diem? Mau nggak?"

Aku menelan ludah. Tak bisa menjawab karena saking gugupnya menahan debaran dadaku yang menjadi semakin kencang. Aku ingat betul semua yang terjadi semalam.

"Sekarang banget?"

Freyana menaikkan alisnya, "Ya.. bisa sih. Kalo mau sorean juga bisa, biasanya hawanya lebih cocok".

Aku tidak tahan dengan sikapnya yang begini, sedikit membuatku keheranan dan tidak nyaman. Ia nampak menyebalkan namun juga membuatku bingung karena tingkahnya yang sangat di luar kebiasaannya.

Alhasil, aku mau tidak mau harus tegas kepadanya.

"Boleh jangan terlalu to the point gitu gak? Nggak cocok di kamu"

Aku masih berusaha menegurnya dengan sopan. Aku harap dia tak kesal mendengar alasanku barusan.

"Hm? Apa maksudnya? Kalo kamu gak mau juga gapapa, aku cuma nawarin aja"

"Biar gak jadi terlalu sering aja..", ucapku sedikit canggung.

"Sering? Kita 'kan baru BBQ-an semalem. Kapan lagi kita bakar-bakaran?"

EH..? Ucapan itu jelas membuatku blunder sebentar. J-Jadi maksud Freyana sedari tadi itu.. barbekyu? Benar-benar barbekyu?

Sepertinya..

Aku ingin menghilang saja.

Astaga, ini bukan salahku 'kan berpikir terlalu jauh tentang percakapan yang ambigu tadi. Ia tak mengatakan apapun! Kecuali, ayo, ayo, lagi, lagi. Bagaimana bisa dia tidak memisahkan kata itu, atau lebih baik menghindarinya dengan kalimat, "Kayanya aku pengen BBQ. Mau ikut?". Begitu bukannya lebih jelas?

Ah, astaga. Coba kita ulik lagi bagaimana percakapan itu berjalan jelas-jelas aku mendengar--

"Kamu mikir apa hayo? Cie, Piyo mikir kotor"

Dih, yang benar saja. Ingat kembali apa yang kemarin kita lakukan setelah barbekyu sampai dini hari itu? Kalau dia tidak mencoba merayuku dengan embel-embel agar cepat tidur, bukankah-- oke, sepertinya aku perlu berhenti disini untuk meracau pada diri sendiri. Hah. Dia menyebalkan sekali.

"Aku mau ke kamar Kak Indah", ketusku tak mengindahkan ucapannya.

"Loh? Aku udah bawain sarapan"

Cih. Tak peduli. Makan saja sendiri sana. Menyebalkan sekali si kacamata itu.

Aku yang sepertinya merasa telah dipermalukan itu melesat pergi ke kamar Kak Indah yang letaknya tak jauh dari kamarku. Saat aku berada disana, aku melihat kamarnya bersih dan rapih tidak menunjukkan seseorang tinggal disana. Aku mengerutkan dahi bingung dan mencari sosok orang yang ingin ku temui tersebut. Tak sengaja, di jendela kamarnya nampak Kak Indah sedang duduk di taman belakang bersama seseorang.

"Itu bukannya.."

Aku bergegas keluar dari kamar dan menyusulnya. Tak jauh dari mereka, aku melihat suasana yang lumayan terasa tidak baik. Yang kuyakini adalah-- Kak Jesslyn ada disana. Mereka berdua saling bertatapan dan mengobrol.

"Gak nyangka, kita malah ketemu disini"

Kak Jesslyn menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya sambil tersenyum manis kepada Kak Indah. Maaf, aku mencuri dengar kalian tapi aku sebenarnya berniat menemui Kak Indah saja. Gadis dengan rambut gelombangnya yang menyamping itu menunduk dan menjawab, "Iya, benar".

Hmm. Kak Indah terlihat sangat lesu dengan kedatangan Kak Jesslyn. Sepertinya dugaanku benar. Obrolan itu, terdengar seperti baru saja bertemu kembali setelah sekian lama.

"Kamu gak banyak berubah, Indah. Masih suka sendirian ya"

Ucapan yang mengandung banyak makna. Jujur, aku tidak mengerti kenapa Kak Jesslyn berkata seperti itu.

"Iya. Kalo kamu banyak berubahnya ya Jess, selain semakin dekat dengan Kathrina, kamu juga semakin terang-terangan menjauhiku"

Aduh, sepertinya aku harus berhenti menguping.

"Aku tidak menjauh"

Kak Indah berdiri, "Kupikir melupakan versi kamu terdengar berat. Ternyata cuma persepsiku aja ya".

Kak Indah membalikkan badannya, berusaha memunggungi Kak Jesslyn. Gadis berponi tersebut beranjak dari duduknya dan menarik lengan Kak Indah dengan kuat.

"Indah", Kak Jesslyn memberikan tatapan sendu.

"Aku berbahagia atas pilihan kamu, Jess. Ku harap kamu juga selalu berbahagia"

"Indah. Kamu jangan egois, kita sudah sama-sama dewasa"

Kak Indah terkekeh.

"Dewasa? Sepertinya aku belum. Bagaimana kamu tahu kalau kamu udah dewasa?", Kak Indah membalas tatapan Kak Jesslyn dengan raut muka yang hampir menangis.

"Kita berpisah tidak sepihak-"

Aku kaget dan buru-buru masuk ke dalam villa kembali saat seseorang datang dan melepaskan cengkraman tangan Kak Jesslyn. Benar-benar seperti drama, dan aku bingung kenapa aku mencuri dengar sedari tadi. Aku harus kembali ke kamar. Tidak baik mencampuri urusan orang lain.

Bersambung...

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang