Udara masih cukup dingin kala matahari mulai menampakkan sinarnya. Lalu lalang tetangga yang hendak belanja ke tukang sayur di depan sana turut menjadi pemandangan yang saat ini terlihat di depan mata. Masih mengenakan baju tidur panjang yang warnanya sudah mulai pudar, aku mengeluarkan motor matic dari ruang tamu untuk kemudian mulai kupanaskan di halaman rumah.
"Masuk kuliah, Na?"
Sapaan itu membuatku menoleh. Seorang wanita paruh baya yang biasa kupanggil bude Emi berhenti sebentar di depan rumah, "Nggeh, masuk Bude." jawabku kemudian sebelum kembali berujar, "mau belanja, Bude?"
"Iya. Amar kemarin pulang. Pagi ini minta dibuatkan soto katanya--" ucapan bude Emi selanjutnya tak begitu kudengar karena selanjutnya kalimat pertama beliau terus berputar di kepala.
Amar kemarin pulang!
Amar kemarin pulang!
Amar kemarin pulang!
Demi apa?!
Secara reflek, aku melongok ke samping kanan. Tepatnya ke rumah berwarna hijau yang berjarak dua rumah dari rumahku, berharap menemukan sesosok yang tadi disebut bude Emi
"--ayo ya, Na!"
"Eh?" Aku gelagapan sekaligus menyesal karena tak begitu mendengarkan apa yang bude Emi bicarakan. Tahu-tahu beliau malah sudah berpamitan, "nggeh, Bude."
Begitu kepergian bude Emi, aku meraba dadaku yang tiba-tiba berdebar kencang. Ada rasa yang sulit dijelaskan di dalam sana. Rasanya, aku ingin berteriak saking senangnya. Seakan tak ingat dengan motor yang sedang dipanaskan, aku berlari masuk ke dalam rumah. Lebih tepatnya ke dalam kamar.
"Ada apa, nduk?" Ibu bertanya, mungkin beliau heran melihatku yang langsung ngibrit dari teras.
"Mboten, Bu," jawabku pelan sebelum menghilang ke dalam kamar.
Duduk di atas ranjang, aku kembali meraba dadaku. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh, tapi aku benar-benar menyukainya. Mungkinkah sejak pertama kali dia berpamitan akan mondok sejak lulus MI? Atau mungkin saat aku melihatnya waktu dia liburan pondok yang pertama? Atau mungkin sejak dia menjaga pandangan dan hanya tersenyum tipis kala kami tak sengaja bertemu? Entahlah, aku tidak tahu.
Yang aku tahu, aku menyukainya kala tersenyum sambil sedikit menunduk saat menyapa tetangga. Aku menyukainya yang selalu memakai sarung saat di rumah. Aku menyukainya saat mengumandangkan adzan di musholla di ujung jalan sana. Pun, aku menyukainya saat ia mendadak menjadi imam sholat di musholla sana. Suaranya saat bertilawah, tutur katanya yang sopan benar-benar poin tambahan dari fisiknya yang semakin dewasa semakin memukau.
Amar yang tampan dengan segudang poin plus di belakangnya tentu saja membuat ibu-ibu tetangga berebut ingin mengenalkan entah anak, adik atau keponakan pada pemuda itu. Memiliki menantu seperti Amar itu bagai menemukan sebutir berlian di padang pasir. Mungkin juga itu keinginan ibuku. Ah, tidak. Kalau itu keinginanku, tentu saja. Bayangan berumah tangga dengan sosok seperti Mas Amar menari-nari di depan mata. Membayangkannya saja membuat aku tersenyum bak orang gila.
"Nail itu manasin motor kok ya, ditinggal? Kalau motormu dibawa orang gimana, Nduk?" Bapak tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tertutup.
Aku yang masih tersenyum bak orang gila sontak gelagapan.
"Ini kuncimu."
Aku menerima kunci yang diangsurkan Bapak. Begitu sosok lelaki pertamaku itu menghilang, aku baru bisa bernapas lega. Huh, menyukai seseorang dalam diam itu melelahkan. Ingin cerita pada orang tua tak berani. Namun, bila mendengar tetangga yang terang-terangan menginginkan Amar juga aku tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Yang Disemogakan
RandomHati Naila Rahman hancur kala mengetahui seseorang yang selalu ia do'akan dalam sholatnya ternyata mendo'akan perempuan lain. Seakan belum puas sakit hatinya, dia kembali di hadapkan dengan kenyataan kalau statusnya telah berubah menjadi seorang ist...