Tujuh

44 4 0
                                    

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur."

"Kayak akad nikah gak sih, Na?" tanya Bella yang langsung aku angguki. Tanpa berpikir dua kali, aku berbalik arah, tak jadi lewat pintu belakang.

"Assalamu'alaikum!" ucapku sambil masuk ke dalam rumah.

Hampir semua orang di ruang tamu menjawab salamku. Dari melihat sekilas, ada empat tamu yang wajahnya asing untukku. Satu laki-laki yang mungkin seumuran dengan Bapak, dua orang pemuda yang aku tebak berumur awal tiga puluh tahunan, satu perempuan berjilbab panjang yang terlihat seumuran atau mungkin lebih tua dari ibuku.

Ada pula sosok Pak Mad, ketua RT di kampungku, Pakde Hasan--ayah Amar-- dan juga....... Amar? Sebenarnya, sedang apa mereka semua ini di rumahku? Lalu, sepenggal kalimat yang kudengar di samping rumah tadi?

"Nail...... sini dulu, Nduk!" tanpa menjawab, aku berjalan menghampiri Bapak sambil sedikit membungkukkan badan, "salim dulu. Masih inget sama Om dan Tante, kan?"

Aku menatap Bapak bingung. Pasalnya, dua orang yang ditunjuk Bapak itu, aku sangat yakin tak mengenalnya. Namun tetap saja aku mencium punggung tangan kedua orang itu.

"Nail sudah besar, ya? Cantik lagi," ucap si tante kala aku mencium punggung tangannya.

Aku hanya tersenyum tipis, "Terima kasih," ucapku.

"Salim juga sama nak Arka!" titah Bapak.

Aku semakin menautkan alis. Arka yang dimaksud Bapak itu..... pemuda yang kutaksir berusia tiga pulahan itu kan? Bapak tidak sedang bergurau, kan?

"Gak papa, dia suami kamu, Nduk!"

Aku menoleh cepat pada Ibu. Apa kata beliau? Sepertinya aku salah dengar. Beralih, aku menatap Bapak, meminta konfirmasi dari ucapan Ibu tanpa kata. Namun, anggukan Bapak berhasil membuat sebuah hantaman keras melesak di dada.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?

Mungkinkah aku masih tidur dan bermimpi?

Namun, senggolan Bapak yang menyuruhku untuk menyalami pemuda itu membuat aku sadar kalau ini bukanlah mimpi. Meski ragu, aku tetap menjabat tangan yang entah sejak kapan terulur di hadapanku itu.

"Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaih, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa 'alaih."

Bersamaan dengan hidung yang menempel pada punggung tangannya, suara itu mengalun pelan. Setitik air mata jatuh dari kelopak mataku. Mungkin, kalau saat ini yang sedang duduk di hadapanku adalah orang yang aku suka, air mata ini adalah air mata kebahagiaan. Namun, berkebalikan denganku. Air mata ini keluar sepaket dengan luka, marah dan kesal.

Aku mengangkat wajah kala tautan tangan kami terlepas. Masih dengan jejak air mata, aku menatap wajahnya. Aku menemukan sepasang sorot tegas kala mata kami bertemu. Lagi, air mata merebak. Sebelum aku kembali menangis untuk kedua kalinya, aku buru-buru pamit undur diri tanpa menuruti ucapan Bapak untuk tetap tinggal.

*****

Tepat di belakang rumah, Bapak mengalih fungsikan lahan kosong miliknya untuk menanam berbagai macam buah. Di tanah seperempat hektar ini, ada delapan macam buah yang beliau tanam. Diantaranya, alpukat, sawo, mangga, jambu kristal, nangka, jambu air, rambutan dan kelengkeng. Bila musim buah tiba, aku akan sangat senang menunggu Bapak yang sedang memanjat, di gubuk kecil yang ada di tengah sana sambil memakan buah yang baru dipetik.

Namun kali ini berbeda. Meski kelengkeng di depanku sudah berubah dan matang, aku bahkan tak meliriknya sama sekali. Dadaku terasa terhimpit oleh sesuatu tak kasat mata. Aku ingin berteriak kencang untuk mengeluarkannya. Namun, sadar kalau mungkin suaraku akan terdengar sampai rumah, aku memilih memendamnya. Sebagai gantinya, aku memilih mengeluarkan air mata.

"Na?"

Aku yang sedari tadi menenggelamkan wajah di atas lipatan lutut seketika mendongak. Masih dengan isakan yang belum reda, juga air mata di seluruh wajah aku menemukan sosok Bella yang terlihat khawatir. Ah, aku bahkan lupa kalau tadi pulang bersamanya. Pasti dia juga melihat apa yang terjadi di ruang tamu tadi.

Tanpa kata, Bella merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya, "Semua akan baik-baik saja, Na." ucapnya sembari menepuk punggungku pelan.

Di dalam pelukannya, tangisku justru semakin kencang. Rasanya sangat berat. Di saat lukaku belum benar-benar sembuh, luka lain kembali menyakitiku, "Kenapa....... Bapak tega padaku, Bel......? Aku...... bahkan belum sembuh..... dari rasa sakit yang lalu....."

Di tengah isakan yang mulai reda, Bella masih setia mengelus punggungku tanpa kata. Seakan-akan dia membiarkanku mengeluarkan beban yang aku rasakan. Bahkan, Bella tak mengeluarkan suara kala dadanya basah oleh air mataku.

"Ekhem!"

Aku semakin menyembunyikan wajahku dalam dekapan Bella kala mendengar deheman seseorang. Kurasakan Bella menoleh sebentar sebelum menepuk pundakku, "Amar!" bisiknya pelan.

Deg!

Apalagi ini? Bahkan di saat seperti ini, mengapa semesta seolah-olah tak membiarkanku bebas?

"Bisa kita bicara sebentar, Na?" pertanyaan itu Amar lontarkan kala melihatku yang tak berniat beranjak dari posisi memeluk Bella.

Bella melepas pelukan kami, membuatku menatapnya protes, "Selesaikan kisah kalian, Na. Ini gak akan berakhir baik kalau kamu lari terus."

Aku mencebik, "Tapi--"

"Na...... di depan sana, sudah ada yang menunggu kamu. Selesaikan ini dan berjalan ke depan, ya?"

Aku mengerti maksud Bella. Tapi bagaimana pun juga, aku belum siap bicara dengar Amar terlebih dengan perasaan kacau seperti ini. Setelah memikirkan ulang perkataan Bella, aku akhirnya mengangguk.

Sebelum gadis itu beranjak, aku sempat mendengarnya berucap pelan pada Amar, "Jangan lama-lama! Tidak baik kalian berduaan terlalu lama! Bisa menimbulkan fitnah."

Begitu sosok Bella menghilang, aku memberanikan diri menatap Amar dengan mata yang sudah pasti sembab. Amar melangkah mendekat sebelum berhenti dengan jarak tiga langkah di depanku.

"Kita perlu bicara, Na!" ucapnya.

Tanpa kata, aku mengangguk.

Benar kata Bella. Perasaanku pada Amar harus segera diselesaikan. Bagaimana pun juga, terus-terisan menjauh akan semakin membuat aku merasa gagal melupakannya.

Pemuda di depanku ini akan segera menikah. Pun dengan status baruku--meski terpaksa harus kuakui--sudah menjadi seorang istri.

Istri?

Hah! Aku ingin mengumpat hanya dengan menyebutnya. Huft! Astaghfirullahalazim....

Mengingatnya saja membuat kepalaku terasa penuh. Bagaimana tidak, aku baru berusia 21 tahun. Belum lulus kuliah. Namun, telah menjadi istri dari seseorang yang bahkan tak kukenal. Sebenarnya, apa maksud Bapak dengan menikahkanku seperti ini? Tanpa memberitahuku sebelumnya pula.

"Aku gak akan basa-basi, Na. Mengingat kondisi kamu yang aku yakin sedang tidak baik-baik saja saat ini. Tiba-tiba menjadi seorang istri, mungkin sebuah pukulan buat kamu."

Aku membuang wajah sambil menghembuskan napas kasar. Apanya yang tidak akan basa-basi? "Langsung saja, kak!" ucapku pada akhirnya. Pasalnya, berduaan seperti ini tak membuatku merasa senang seperti beberapa minggu lalu.

Amar menghembuskan napas pelan, sebelum memandang tepat di mataku, "Apa kamu..... menyukaiku, Na?"

Bukan Yang DisemogakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang