Sepuluh

61 5 8
                                    

Tepat ketika adzan ashar berkumandang Bapak terlihat memasuki area teras. Caping lusuh yang beliau kenakan dilepasnya, meninggalkan bekas keringat di sekitar dahi.

"Sudah makan, nduk?"

Aku yang saat itu sedang mengangkat jemuran mengangguk pelan, "Sudah." jawabku yang tak mendapat balasan dari Bapak. Beliau terus berjalan melewatiku hingga aku menyadari cara berjalannya yang agak pincang. Kulihat kedua kakinya nampak membengkak, "Bapak gak papa?" tanyaku sambil mensejajari langkahnya.

Seakan faham ke mana arah pembicaraan kita, Bapak menunduk sebentar, "Oh, ini...... ndak papa. Maklum sudah sepuh," jawabnya diikuti tawa ringan sebelum akhirnya kami terpisah karena Bapak memilih lewat pintu belakang.

Ketika sosok Bapak sudah hilang di balik pintu belakang, Ibu baru muncul. Aku yang sedari tadi memperhatikan langkah Bapak otomatis beralih pada sosok Ibu.

Tak berbeda jauh dengn Bapak, keringat juga membasahi kerudung sleyer yang ibu kenakan. Namun meski gurat lelah itu tercetak jelas di wajah, beliau langsung tersenyum begitu melihatku, "Baju Ibu sama Bapak taro aja di depan tivi. Nanti biar Ibu lipat sendiri."

"Ndak papa, Bu. Sekalian."

Ibu kembali tersenyum, "Yawes. Ibu masuk dulu kalau gitu." kata beliau sembari berjalan menuju pintu belakang.

"Bu," panggilku sebelum beliau masuk lewat pintu belakang, "kaki Bapak..... kenapa?" tanyaku akhirnya.

Ibu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, "Oh, asam uratnya lagi kambuh aja itu. Kamu gak usah khawatir." jawabnya sebelum masuk ke dalam rumah.

Aku hanya menatap nanar pada pintu belakang yang tetap dibiarkan terbuka, karena sebenarnya aku tahu apa yang tengah mereka sembunyikan.

Lima hari lalu, tepat ketika malam aku resmi menjadi seorang istri, aku mendengar semuanya. Aku yang saat itu hanya berbaring menatap langit-langit kamar memutuskan bangkit meninggalkan Bella yang telah terlelap di sampingku.

Niat hati ingin mengambil segala air di dapur terpaksa urung kala aku mendengar obrolan yang cukup serius dari arah kamar kedua orang tuaku. Awalnya aku memang hendak mengabaikannya. Namun, begitu mendengar namaku disebut aku memutuskan mendekat dan berdiri di tembok dekat pintu kamar mereka.

"Bagaimana perasaan Nail, Pak?"

Itu.... suara Ibu. Entah apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan di tengah malam seperti ini. Oh, tidak. Ini bahkan bukan tengah malam lagi. Hari rupanya telah berganti kala aku menyadari jam yang menempel di dinding ruang tengah ini sudah menunjukkan pukul dua pagi.

"Bapak yakin, Arka pasti bisa membuat Nail menyukainya."

"Kalau ndak? Bukankah itu artinya kita telah memaksa putri kita, Pak? Bukankah pernikahan yang dipaksa dan tanpa ridho mempelai wanita tidak sah hukumnya?"

Deg!

Mungkinkah akad tadi siang tidak sah?

Bolehkah aku merasa senang saat ini?

"Tapi kita menganut madzhab Syafi'i yang memperbolehkan hal itu, Bu, dengan beberapa syarat. Bukannya Amar tadi juga sudah menjelaskan? Ibu ndak percaya sama dia yang lulusan pesantren itu? Oh, jangan lupa, Bu..... menantumu itu juga seorang santri."

Tiba-tiba hatiku mencelos. Meski aku tidak tahu mengenai konsep akad tadi siang, tapi mengapa secuil ruang di dalam sana turut membenarkan?

"Ibu...... cuma ndak mau Nail terluka, Pak."

"InsyaAllah Arka ndak akan melukai Nail, Bu. Kalau sampai itu terjadi, Bapak sendiri yang akan mengambilnya dari Arka, Bu." ucap Bapak terdengar seperti menenangkan Ibu, "lagipula Bapak takut kalau ndak punya kesempatan untuk jadi wali nikah putri kita. Terlebih lagi dengan kondisi Bapak yang seperti ini."

"Hush! Bapak ndak boleh ngomong gitu! Umur ndak ada yang tahu, Pak!"

"Karena itu Bapak bertindak seperti ini. Bapak tahut kalau tiba-tiba jantung Bapak kumat dan dipanggil oleh Gusti Allah."

Deg!

Rasanya seperti ada bongkahan baru besar yang menghantam dada. Sejak kapan Bapak punya sakit jantung? Bukankah selama ini beliau terlihat baik-baik saja?

Tak terasa air mataku menetes. Aku merasa menjadi anak yang tidak berguna. Mengenai kondisi orang tua saja aku tak tahu. Aku menghapus air mata yang sialnya tak kunjung berhenti menetes. Aku sangat ingin menerobos masuk ke dalam sana. Memberi pelukan dan mungkin mencoba menenangkan. Namun, mengingat kondisiku yang seperti ini, sepertinya aku lebih butuh menenangkan diri untuk saat ini.

Dugh!

Aku hampir memekik kala kakiku terantuk ujung bufet. Mungkin efek air mata yang mengaburkan pandanganku di tengah temaramnya ruang tengah. Sembari tertatih, aku melangkah dan masuk kembali ke dalam kamar. Sembari memastikan pintu tertutup sempurna. Badanku merosot. Jatuh terduduk bersandar pada pintu dan sekuat mungkin menahan isakan agar tak membangunkan Bella yang tengah mendengkur halus di atas ranjang ataupun membuat orang tuaku yang mungkin saja sadar terlebih setelah bunyi yang kutimbulkan sebelumnya.

"Na....."

Aku buru-buru menghapus air mata kala menyadari Bella terbangun dari tidurnya. Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, gadis itu bangun untuk menghampiriku. Sebelum dia benar-benar melangkah, aku telah lebih dulu bangkit dan menariknya untuk kembali ke ranjang.

"Kamu..... kenapa? Menangis lagi?"

Aku menggeleng pelan.

Bella menatapku serius kala matanya berhasil terbuka lebar. Wajahnya mendekat, "Tuh, kan...... kamu nangis lagi!" katanya setelah berhasil menemukan jejak air mata di wajahku.

Sembari mengusap kasar di bawah kelopak mata, aku berusaha menampilkan senyum meski rasanya sulit, "Udah enggak! Ayo tidur lagi!" kataku sembari merebahkan tubuh. Tak lupa aku menarik selimut sampai dada, "kenapa masih diliatin, sih?!" kataku kala menyadari tatapan Bella masih tertuju ke arahku.

"Na..... kamu bisa cerita apapun, kok. Jangan merasa kamu sendirian."

Aku tersenyum tulus sembari mengangguk meyakinkan. Setelahnya, aku memejamkan mata hanya agar Bella tidak khawatir lagi meski setengah jam kemudian, saat Bella telah kembali terlelap aku masih setia terjaga. Entahlah, mataku rasanya benar-benar tak rela untuk tertutup meski badanku sangat lelah. Hal mengejutkan yang terjadi padaku dalam rentang waktu sangat singkat ini nyatanya membuat otakku terus menerus bekerja. Mengenai status yang tiba-tiba saja berubah kala hati masih tertambat pada orang lain. Lalu, fakta mengenai penyakit Bapak seperti sebuah pukulan keras.

Semalam suntuk aku memikirkan semua itu, sampai aku berusaha meyakinkan diri dan menerima kalau apa yang sedang aku alami ini memang sudah menjadi garis takdir. Mungkin setelah ini, meski berat aku akan mulai menerima kehadiran orang bernama Arka itu dalam hidupku. Aku juga akan meyakinkan diri kalau pilihan Bapak adalah pilihan terbaik. Lagipula selama duapuluh satu tahun hidupku, rasanya aku belum pernah melihat kedua orang tuaku bahagia. Mungkin lewat pernikahan ini dapat membuat mereka merasa tenang. Ya, semoga saja.

Tanganku terulur menggapai lembaran uang yang sejak tadi tergeletak di atas nakas samping ranjang. Kata Bapak, uang itu adalah mahar yang diberikan secara tunai untukku. Totalnya satu juta lima ratus. Aku menghembuskan napas panjang bersamaan dengan memasukkan lembaran uang yang sedari tadi tak kusentuh itu ke dalam laci. Aku akan menerimanya juga menerima seseorang yang memberikannya. Meski aku yakin itu butuh waktu.

Bukan Yang DisemogakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang