Nyatanya, sebentar yang dimaksud Pak Arka adalah satu jam lebih. Rasanya sangat bosan berada di rumah ini sendirian. Mau keluar pun malu karena tak mengenal tetangga sekitar. Alhasil aku hanya duduk bosan di ruang tamu sambil menatap keluar.
"Naila....."
Samar, suara seseorang terdengar memanggilku dari jauh. Mataku terbuka secara perlahan dan entah sejak kapan bayangan Pak Arka sudah mampir di depannya.
Entah sekal kapan aku jatuh tertidur di ruang tamu beralaskan karpet ini. Mungkin aku terlalu lelah berselancar di sosial media sewaktu bosan menunggu Pak Arka.
"Mau pindah ke kamar saja?"
Pertanyaan Pak Arka barusan membuat sisa-sisa ngantuk lenyap seketika. Bukan apa, mendengar ucapannya barusan membuat tubuhku begini membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Enggak. Bisa kita ke rumah Bunda sekarang?"
"Sekarang banget? Kamu sudah gak mengantuk memangnya? Kamu bisa lanjut tidur di kamar kok."
Mendengar kata kamar lagi, aku buru-buru bangkit berdiri dan mengabaikan rasa pening yang seketika menyerang, "Gak. Bunda pasti sudah nungguin, kan?"
"Kamu gak pusing habis tidur langsung bangun gitu?"
"Enggak!" aku langsung menggeleng, "Udah, ah! Ayo berangkat!"
"Buru-buru banget kamu."
Aku berdecak. Tak tahu kah Pak Arka kalau aku saat ini ingin segera kabur dari sini? Setidaknya aku ingin keluar dan menyudahi berduaan di tempat ini.
Menyadari raut wajahku berubah masam, Pak Arka ikut bangkit, "Iya-iya, kita berangkat ke rumah Bunda. Kamu enggak mau cuci muka dulu atau apa gitu?"
"Enggak usah, gak papa. Lagian belum tidur lama kok. Enggak bakalan kucel." ketusku.
"Terserah kamu saja, lah."
Begitu sampai di rumah dinas yang ukurannya cukup besan dari milik Pak Arka, motor yang kami tumpangi berhenti melaju. Yakin kalau rumah ini milik orang tuanya, aku berjalan terlebih dahulu. Bukan tak sopan dengan mendahului anak pemilik rumah, hanya saja malu dengan pikiranku sendiri kala Pak Arka menyebut kata 'kamar' tadi. Padahal, aku tahu maksud Pak Arka baik dengan menyuruhku tidur di ranjangnya daripada badan pegal tidur di atas lantai yang keras.
"Assalamu'alaikum," ucapku kala melihat Bunda keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara motor Pak Arka barusan.
"Wa'alaikumussalam. Akhirnya datang juga. Padahal Bunda telpon udah lama, lho...."
Aku mencium tangan Bunda, "Tadi nungguin Pa--emm..... Mas Arka-nya dulu, Bunda."
Bunda beralih menatap putra sulungnya, "Kenapa Nail gak diantar ke sini dulu sih, Mas? Kan kasihan di rumahmu sendirian."
Pak Arka hanya tersenyum sambil mengusap tengkuk mendengar nada menuntut dari sang ibu. Yakin kalau Bunda tidak akan berhenti sampai di sana, aku mengalihkan perhatian beliau dengan bertanya, "Bunda sedang apa tadi?"
Mendengar pertanyaanku, Bunda mematung sebentar sebelum berkata cukup lantang, "Ya Allah...... bakwan Bunda gosong!"
*****
Tepat ketika dhuhur, ayah Pak Arka yang masih mengenakan baju loreng pulang ke rumah setelah sebelumnya dikabari Bunda kalau makan siang sudah siap. Begitu pula dengan Kia yang hari ini pulang lebih awal entah karena alasan apa. Yang jelas, saat ini kami sudah duduk melingkari meja makan.Melihat Bunda yang mengambilkan Ayah nasi dan lauk pauk, aku berinisiatif mengambilkan Pak Arka pula. Agaknya, Pak Arka sedikit tersentak kala aku mengambil alih piring yang dipegangnya.
"Kurang?" tanyaku ketika telah meletakkan Dua centong nasi di atas piring.
"Eh? Sudah cukup."
Aku mengangguk sebelum kembali bertanya, "Mau pakai lauk apa?"
Sebelum Pak Arka menjawab, Kia terlebih dahulu berceletuk, "Mas Arka mah apa yang ada di meja diicip semua, Mbak. Ambil aja semua, nanti juga habis."
Mendengar penuturan Kia, aku menatap Pak Arka sebentar. Ah, aku tidak heran kalau makannya banyak, mengingat bentuk fisik dan pekerjaannya. Mengikuti ucapan adik ipar, aku mengambil sedikit dari setiap lauk yang ada di atas meja untuk Pak Arka sebelum akhirnya mengambil bagianku sendiri.
"Makan yang banyak, biar cepat tumbuh besar!"
Bisikan barusan membuat aku menatap sengit pada Pak Arka. Sialan sekali memang. Dia bilang begitu saat ada kedua orang tuanya dan tahu kalau aku tidak akan membalas.
"Hari sabtu nanti kamu bisa kan, ikut ke butik sama Nail, Mas?"
Pertanyaan Bunda kala kami selesai makan membuat aku menatap beliau dengan raut bingung. Pasalnya, aku tak tahu apa yang dikatakan Bunda.
Pak Arka beralih menatapku, "Kamu hari sabtu ada waktu lowong? Kamu kuliahnya selesai jam berapa?" tanyanya.
Aku menatap Pak Arka ragu. Pasalnya hari sabtu nanti bertepatan dengan sidang skripsiku. Aku ingin bilang langsung tapi tak enak pada Bunda yang terlihat sangat berharap, "Emm..... nanti Nail hubungi ya, Bunda. Takutnya ada jadwal mendadak. Tapi Nail usahakan bisa."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Yang Disemogakan
De TodoHati Naila Rahman hancur kala mengetahui seseorang yang selalu ia do'akan dalam sholatnya ternyata mendo'akan perempuan lain. Seakan belum puas sakit hatinya, dia kembali di hadapkan dengan kenyataan kalau statusnya telah berubah menjadi seorang ist...