Sejak pertemuanku dengan Amar di kafe waktu itu, kini setiap kami tak sengaja bertemu, Amar akan lebih dulu menyapa serta menanyakan beberapa hal. Oh, jangan tanyakan bagaimana keadaan jantungku! Saking kuat detakannya, aku yakin kalau ini buatan manusia pasti sudah meledak kapan lalu.
Bahkan seperti saat ini, aku baru saja keluar kamar setelah sekian lama berkutat dengan skripsi yang sedang kukerjakan. Namun, baru saja berjalan beberapa langkah dari pintu, seseorang yang baru masuk ke rumahku itu membuat aku buru-buru kembali ke kamar hanya untuk sekedar meraih jilbab instan. Bagaimana tidak, sosok Amar ada di sana. Berjalan tepat di belakang ibuku sebelum mereka hilang di pintu dapur.
Begitu memastikan jilbab telah terpasang sempurna di kepala, aku melangkahkan kaki di mana ibu dan Amar tadi menghilang. Aku berdiri tepat di tengah pintu kala melihat sosok yang kini mengenakan sarung hitam dan kaos putih itu tengah berjongkok di depan tabung gas.
"Heh, anak gadis gak boleh berdiri di tengah pintu!" ibu menegur kala pandangannya tak sengaja menangkap kehadiranku, "pamali. Nanti yang mau melamar ndak jadi," lanjutnya.
"Sekarang mah, udah gak jaman yang namanya pamali, Bu...." jawabku. Namun, aku tetap mendengarkan ucapan ibu. Maju beberapa langkah sebelum duduk di kursi, meja makan.
"Naila mah, yang lamar pasti banyak, Bu." Amar tiba-tiba ikut masuk dalam obrolan kami. Entah sejak kapan pemuda itu beres dengan kegiatannya memasang tabung gas. Tahu-tahu dia sudah berdiri di dekatku, "Naila kan, cantik." lanjutnya.
Hah?
Aku tidak salah dengar, kan?
Amar barusan bilang apa? Aku cantik?
Demi apa?!
Sesuatu yang menyenangkan terasa melilit perutku. Rasanya, seperti ada jutaan sayap kupu-kupu yang mengepak bersamaan di dalam sana. Perlahan, aliran darah mulai terasa mengalir dan berkumpul di kedua pipi. Aku yakin, saat ini keduanya pasti memerah. Karena itu, aku memilih menunduk dan pura-pura sibuk dengan kuku tangan dari pada ibu dan Amar melihatku yang tengah menahan malu.
"Ya jelas! Wong, ibunya cantik!"
Di detik ibuku menyelesaikan ucapannya, di detik itu pula aku memukul kening. Ibu ini, benar-benar ya!
"Haha.... iya, Ibu memang cantik. Ndak heran sih kalau anaknya juga cantik begini."
Sudahlah! Rasanya aku sudah tidak kuat berada dalam situasi seperti ini. Amar yang mendadak jago menggombal benar-benar tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya. Jadi, sekalinya digombali aku merasa seperti ikan koi yang melompat dari akuarium. Megap-megap.
"Ah, kamu bisa saja," kata ibu sambil menepuk lengan Amar pelan. See? Ibuku saja salah tingkah mendengar ucapan Amar. "terima kasih, ya sudah bantuin Ibu pasang gasnya."
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu Amar pulang, dulu." pamitnya sebelum berlalu. Memang harusnya seperti itu. Semakin lama Amar ada di sini, semakin tidak baik untuk kesehatan jantungku.
"Sekali lagi terima kasih lho sudah bantuin."
Amar yang hampir keluar dari dapur rumahku tiba-tiba menghentikan langkah. Aku yang melihat itu mendadak menahan napas sembari mengalihkan pandangan, kemana saja asal bukan pada pemuda bersarung itu karena aku yakin jejak malu di wajahku masih nyata terlihat.
"Oh iya, Bu....." ucapnya menggantung, "boleh tidak besok Amar ajak Naila pergi sebentar?" tanyanya setelah beberapa saat.
Hah?!
Aku yang mendengar itu menoleh cepat. Lupakan soal jejak malu di wajah. Untuk saat ini aku lebih butuh konfirmasi atas apa yang kudengar barusan.
"Apa?"
"Mau pergi ke mana memangnya?"
Amar menoleh sebentar padaku sebelum menjawab pertanyaan ibu,"Ke mall sih kayaknya, Bu. Amar mau cari sesuatu. Berhubung Amar, kan sudah lama agak lupa sama daerah sini, mangkanya mau ajakin Naila. Boleh tidak?"
"Ibu sih ya terserah Nail-nya," kata ibu sebelum beralih bertanya padaku, "hari minggu besok bisa, ndak nemenin Mas Amar?"
Huh?
Ini..... seriusan?
Maksudnya, seorang Amar yang sejak masuk pondok mulai menjaga jarak itu kini secara terang-terangan mendekat. Aku tidak tahu apa maksud dari pemuda itu. Tapi seriusan, kelakuannya itu membuat aku merasa...... berharap?
"Mau kan, Na?"
Pertanyaan dari Amar barusan membuat aku--yang entah sejak kapan melamun--tersentak, "Hah?"
"Mau kan, besok menemani? Ya?" tanyanya lagi.
Setelah beberapa saat menimbang, akhirnya aku mengangguk. Toh tidak ada salahnya, kan kalau aku juga perlu udara segar setelah sekian lama berjibaku dengan skripsi yang tak tahu kapan selesainya itu?
"Boleh. Tapi jangan lama-lama," putusku.
*****
Keputusanku untuk mengiyakan ajakan Amar sepertinya memang merupakan keputusan yang tepat, mengingat otakku beberapa waktu ini sudah berasap karena mengerjakan skripsi. Dari kursi di samping kemudi, aku melongokkan wajah menikmati hembusan angin yang menerpa. Perlahan, mataku terpejam dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Gak pernah keluar memangnya? Kamu kelihatan bahagia."
Aku membuka mata. Tanpa melunturkan senyum di bibir, aku menoleh ke arahnya, "Bahagia banget setelah berkutat sama buku dan laptop terus akhirnya bisa keluar!" Dan bahagia karena saat ini aku bisa dekat denganmu seperti ini! Tentu saja kalimat yang terakhir hanya bisa kuucapkan dalam hati.
Amar tertawa kecil. Tawa yang baru aku lihat setelah sekian tahun lamanya. Pasalnya, setelah kepergiannya ke pondok beberapa tahun lalu, dia tak pernah tertawa seperti ini. Hanya senyum tipis yang selalu dia tampilkan kala kami berpapasan secara tak sengaja.
"Makanya.... gak salah kan, aku ngajak kamu keluar hari ini?"
Aku hanya mengangkat jempol sebelum kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela. Sebenarnya, bukan karena pemandangan di luar sana menarik. Hanya saja, suara tawa Amar berhasil membuat jantungku jumpalitan.
Hening tercipta cukup lama sebelum Amar kembali bersuara, "Mau makan dulu, ndak? Kamu sudah makan apa belum?"
Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Lho? Belum makan?"
"Bukan, ih!!! Maksudku itu makan nanti aja!"
Amar kembali tertawa, "Bilang, dong.....!"
Aku mendengus, "Ini, kan barusan bilang."
"Kamu ndak berubah, ya? Masih menggemaskan kalau merajuk gitu. Kayak dulu."
Huh?!
Aku membuang muka. Memang benar ya, berada dekat dengan Amar itu tidak baik. Entah mengapa, aku merasa udara di dalam mobil mendadak terasa panas. Padahal, dua kaca mobil di samping kami sudah terbuka lebar.
Setelah cukup lama berkendara, Amar menghentikan mobil tepat di parkiran sebuah mall. Entah, sebenarnya apa yang sedang pemuda ini cari. Sejak tadi dia tak mau membocorkan apapun. Bahkan awalnya aku pun tak tahu kami akan pergi kemana.
"Ini kita mau cari apa, sih?" pertanyaan itu meluncur begitu kami turun dari mobil.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Amar malah balik bertanya, "Ini toko emas di lantai mana, ya?"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Yang Disemogakan
RandomHati Naila Rahman hancur kala mengetahui seseorang yang selalu ia do'akan dalam sholatnya ternyata mendo'akan perempuan lain. Seakan belum puas sakit hatinya, dia kembali di hadapkan dengan kenyataan kalau statusnya telah berubah menjadi seorang ist...