Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya kami sampai. Ah, belum benar-benar sampai sih. Hanya saja, gapura dengan simbol dua sayap yang membentang di atasnya, juga lukisan bergambar para perwira di salah satu sisinya membuat aku yakin kalau sebentar lagi sampai.
Suasana nampak asri setelah kami melewati gapura itu. Meski di samping kiri dan kanan hanya ada tanaman tebu, namun jalanan menuju kesatuan Pak Arka nampak menyejukkan dengan pohon tabebuya yang tak terlalu besar di tengahnya. Juga rumput yang terpangkas rapi di bawahnya.
Gugup tiba-tiba menyerang kala sebuah gapura yang lebih besar dari gapura sebelumnya ada di depan mata. Gapura dengan tulisan Batalyon Infanteri Para Rider 502 yang akan segera menjadi tempat tinggalku ke depannya.
Huft!
Aku menghembuskan napas pelan kala motor besar yang kami tumpangi berjalan pelan kala melewati pos jaga. Tak sadar, aku telah mencengkeram erat seragam loreng bagian pinggang Pak Arka. Dua orang tentara yang ada di dalam pos melongok keluar untuk mengetahui siapa yang datang.
"Woaahhh!! Lihat, Kapten kita bawa siapa?!"
Pak Arka tertawa menanggapi rekannya, "Teman, kok." katanya pelan, "teman pengajuan. Iyakan, Sayang?" lanjutnya sembari menoleh ke belakang.
Hah???
Mataku membulat sempurna menatap Pak Arka yang kini tengah menampilkan senyum menawan. Dan, apa barusan katanya? Sayang?! Apa Pak Arka waras??? Duh, jantung tolong jangan kembali berulah!
"Widihhhh!!!"
Sorakan dari dua rekan Pak Arka membuat wajahku memanas. Yakin kalau warna merahnya mungkin saja terlihat, aku mengalihkan pandangan sembari mencubit pinggang keras Pak Arka.
"Aduh!!!" pekiknya yang aku yakin hanya dibuat-buat, karena aku menyubitnya tak terlalu keras, "duhhh...... calon Persit saya galak. Sudah, lanjut bertugas! Saya mau ke kantor," lanjutnya, pamit pada rekannya.
"Saya gak tau kalau Pak Arka punya sifat yang seperti itu," kataku kala motor yang dikendarai Pak Arka menjauh dari pintu masuk.
Pak Arka terdiam sebentar, "Seperti itu..... gimana?"
"Ck! Seperti tadi."
"Iya, seperti tadi gimana?"
Aku mendengus, jengah dengan Pak Arka yang mendadak amnesia, "Lupakan, Pak!"
"Hahaha..... kamu lucu. Jadi pengen cubit, deh!"
Di balik punggungnya, aku molotot. Sejak kapan Pak Arka punya sisi yang seperti ini?? "Mending Pak Arka kembali ke setelan awal pas kita kita ketemu dulu. Seriusan, saya merinding menghadapi Pak Arka yang seperti ini."
Pak Arka terkekeh pelan, "Padahal kan, ini setelan pas pertama kali kita ketemu."
Hah?? Apa Pak Arka sedang melantur?
Aku kembali mengingat-ingat awal pertemuan kami. Seingatku awal pertemuan kami adalah setelah akad dan kami bahkan tak saling bicara. Lalu, di pekarangan belakang rumah adalah awal kami saking bicara, itupun kami saling melempar nada sinis waktu itu. Lalu, kapan pertemuan pertama yang Pak Arka maksud?
"Kamu benar-benar lupa? Ckckck..... padahal saya masih ingat jelas, lho...."
"Hah?"
"Enggak, lupakan!"
"Ish!"
Tak lama, motor yang kami tumpangi berbelok dan berhenti di gedung yang aku yakini adalah kantor. Aku turun, melepas helm dan menatap Pak Arka yang telah mengambil alih map berisi berkas yang dia minta dari tanganku.
"Saya cuma mau naruh ini," katanya sambil mengacungkan map di samping wajah, "kamu mau ikut masuk atau mau tunggu di sini saja?" tanyanya kemudian.
"Di sini saja. Cuma sebentar, kan?"
Pak Arka mengangguk sebagai jawaban, "Kamu duduk di bangku sana saja," tunjuknya pada bangku panjang tepat di depan kantor, "kalau kamu nunggu di motor gini, saya berasa lagi ajak bocah SD."
Aku melotot galak. Selain sifatnya yang masih tak aku pahami, ternyata Pak Arka ini lumayan sering body shaming orangnya.
Aku mendengus, melihat Pak Arka yang masuk ke kantor tanpa kata, aku ikut berjalan menuju bangku yang dia maksud. Menunggu urusannya di dalam sana selesai dengan melihat-lihat sekitar.
"Sudah. Ayo beli seragam buat kamu dulu!"
Aku mendongak, menatap Pak Arka yang sudah berdiri tepat di sampingku sebelum mengangguk. Koperasi yang menjual kebutuhan di Batalyon menjadi tempat tujuan Pak Arka. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor, namun Pak Arka tetap memaksa untuk berkendara. Sebenarnya, aku ingin jalan kaki saja, biar Pak Arka naik motornya sendirian. Namun, melihat banyak pemuda yang memakai celana PDL dengan kaos hijau lumut di pinggir lapangan membuat aku mengurungkan niat. Terlebih lagi Pak Arka juga sempat bilang kalau mereka tak akan segan menggoda rekan yang hendak pengajuan.
"Wah, ini siapa Kapten? Calonnya, ya?" kata seorang wanita yang ada di depan koperasi.
"Haha.... do'akan, Bu."
"Ayu tenan. Kapten Arka jan pinter golek calon."
"Haha.... iya dong, Bu."
Si ibu penjaga koperasi beralih padaku, "Mbak cantik namanya siapa?" katanya sembari menepuk pelan lengan kananku.
"Naila, Bu." kataku sambil tersenyum tipis. Jujur aku sedikit deg-degan menghadapi kehidupan di pemukiman militer ini. Belum lagi melalui beberapa sumber kalau beberapa persit ada yang agak kurang bersahabat dengan tetangga.
"Masih muda, ya? Nama saya Mina. Tapi orang sini biasa panggil Bu Ahmad," jelasnya tanpa kupinta. "Mbak Naila umur berapa ini?"
"Masih duapuluh satu, Bu."
"Wah, Kapten memang cari yang muda-muda gini, mangkanya bolak-balik ditawarin perempuan ditolak semua." kata ibu yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Ahmad itu.
Aku menatap Bu Ahmad dengan kening mengerut. Apa katanya tadi? Pak Arka bolak-balik menolak perempuan. Itu berarti sebelum denganku, Pak Arka sudah sering di dikenalkan dengan perempuan. Lalu, kenapa dia dengan entengnya menerima perjodohan dan langsung mengiyakan untuk dinikahkan di awal kedatangan ke rumah?
Aku masih tak habis pikir. Kenapa denganku? Gadis yang bahkan belum tamat kuliah, pun gadis asing bagi Pak Arka. Omong kosong kalau itu karena cinta pada pandangan pertama. Nyatanya, Pak Arka telahvlebih dulu mengikrarkan janji suci di saat kami bahkan belum pernah bertemu. Eh, tunggu! Bukankah Pak Arka pernah bilang kalau pertemuan pertama kita bukan saat itu?
Aku mencoba mengais memori yang berisi Pak Arka di dalamnya. Namun, nihil. Wajahnya masih asing sebelum pertemuan kami di ruang tamu rumahku waktu itu.
"Jangan buka kartu dulu depan dia dong, Bu. Ngambekan orangnya," sahutan Pak Arka berhasil menarikmu kembali ke dunia nyata.
Mendengar ucapannya, reflek aku memukul lengan Pak Arka pelan. Orang ini, ya! Masa di pertemuan pertama dengan calon tetangga sudah menjatuhkan harga diriku?
Pak Arka tertawa, "Tuh kan, Bu!"
"Kapten sama Mbak Naila lucu sekali...."
Aku mengalihkan pandangan. Entahlah, sepertinya wajahku sudah memerah. Untuk menyembunyikan rasa malu, aku mengalihkan pembicaraan dengan berbisik pada Pak Arka, "Katanya mau beli seragam?"
"Ah, iya."
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Yang Disemogakan
De TodoHati Naila Rahman hancur kala mengetahui seseorang yang selalu ia do'akan dalam sholatnya ternyata mendo'akan perempuan lain. Seakan belum puas sakit hatinya, dia kembali di hadapkan dengan kenyataan kalau statusnya telah berubah menjadi seorang ist...