"Naila!!!"
Kegiatanku mengamati langit dari dalam jendela terhenti. Aku menoleh, ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka dari luar. Bella berdiri di sana sambil menyengir lebar. Tanpa menutup pintu lagi, ia berjalan dan ikut naik ke atas kasur. Pandangan matanya menatap sebentar ke luar jendela sebelum kembali menatapku.
"Kamu dari mana?" tanyaku. Pasalnya sejak dia pergi dari kebun tadi, aku tak lagi menemukan keberadaannya sampai saat ini dia muncul.
"Aku pergi ke ladang yang ada disana!" Bella menunjuk ke dengan tangan kirinya, "habisnya aku mau masuk ke rumah sungkan sama tamunya Bapak."
Aku hanya menggangguk saja. Tak ada niatan untuk menimpali ucapan Bella. Karena saat ini meski ragaku di depannya, namun pikiranku jauh melalang buana. Aku masih memikirkan kejadian demi kejadian yang kualami hari ini. Rasa tak Terima menyeruak di dada. Aku ingin berteriak dan menyalahkan takdir Tuhan. Namun apalah daya. Nasi telah menjadi bubur. Meski berat dan terpaksa, aku berusaha menerimanya.
"Semua telah usai, Bel!!" aku kembali menatap gumpalan awan di luar sana, "kisah yang aku rajut dalam mimpi, kini lenyap tak berbekas. Aku..... memutuskan mengakuinya...."
Seakan mengerti maksud ucapanku, Bella menarik bahuku. Sontak hal itu kembali membuatku menatapnya, "Kamu..... mengakui perasaanmu pada Amar?! Kamu bercanda kan, Na?!"
"Kak Amar menebaknya. Dan aku mengiyakan. Apa itu salah?"
"Tentu saja salah! Kamu mengakui perasaanmu pada seseorang di saat statusmu adalah seorang istri!"
"Aku tahu! Karena itu aku mengatakannya. Bukankah kamu bilang untuk menyelesaikan semua?"
Bella menepuk kening, "Ah, benar juga! Tapi suamimu itu gak tahu, kan? Bagaimanapun juga kamu ngobrol di ruang seterbuka itu." tanyanya.
"Kalian bicara di ruang terbuka."
Sepenggal kalimat itu melintas di kepala. Aku buru-buru menggelengkan kepala untuk mengusirnya, "Dia dengar. Semuanya."
Bella melototkan mata.
Aku tahu apa yang ada di pikiran Bella saat ini. Mungkin pengakuanku yang didengar Pak Arka tadi juga membuat pemuda itu terkejut. Dia menikahi gadis yang menyukai orang lain.
*****
Lima hari sudah aku berstatus sebagai seorang istri. Lima hari pula orang yang menjadi suamiku itu tak kutemui batang hidungnya. Jangankan sosoknya, pesan darinya pun tak ada. Ah, lagipula kami juga tak saling bertukar nomor ponsel. Bukan, bukan maksudku untuk menghawatirkan dia. Hanya saja, Ibu dan Bapak sering kali bertanya yang berakibat aku jawab dengan kebohongan. Aku jadi penasaran, selama lima hari ini Pak Arka itu kerja apa? Bapak atau Ibu setiap membicarakannya tak pernah sekalipun mengatakan mengenai pekerjaan Pak Arka.
Lepas sholat dhuhur, aku berencana bermalas-malasan sambil membaca novel yang belum sempat kubaca di dalam kamar. Namun, belum sampai satu bab yang sudah kubaca, suara ketukan pintu membuatku berdecak.
Menyahut jilbab instan, aku beranjak untuk membuka pintu depan. Siang ini di rumah hanya tersisa aku seorang. Bapak dan Ibu sedang di ladang untuk mengamati proses penggeblokkan padi. Sejak pagi tadi, padi di ladang bapakku sedang dipanen. Maklum, karena kebanyakan warga desaku memelihara ternak, proses pemisahan pada dari tangkainya masih menggunakan cara manual. Itu lho, yang batang padi dipukul-pukul ke papan kayu agar biji padinya rontok.
"Eh?"
Seorang remaja berseragam abu putih selutut berjengit kaget kala aku membuka pintu. Tangannya yang mengepal di udara ia turunkan pelan, "Cari..... siapa, ya?" tanyaku. Pasalnya wajah ini terlihat asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Yang Disemogakan
AcakHati Naila Rahman hancur kala mengetahui seseorang yang selalu ia do'akan dalam sholatnya ternyata mendo'akan perempuan lain. Seakan belum puas sakit hatinya, dia kembali di hadapkan dengan kenyataan kalau statusnya telah berubah menjadi seorang ist...