T e r o r [1] ☑️

335 24 0
                                    

"Po--Po---Pocongg!" Teriak Mardi, yang sedang meronda bersama tiga teman nya.

Mardi berjalan mendahului ketiga teman nya, ia takut jika berjalan paling belakang, karena warga kampung sedang di gegerkan oleh sosok pocong yang seringkali datang dan mengganggu ketenangan warga.

Ketiganya langsung berlari menghampiri Mardi yang sudah gemetar hebat, nafasnya tersengal, wajahnya pucat pasi, dan Mardi terus menunduk.

"Mana p o c o n g nya?!" tanya mereka.

Mardi tidak menjawab pertanyaan mereka, mendadak ia gagap tidak bisa bicara, kata-katanya tidak jelas dan tidak bisa di mengerti.
Bukan hanya itu, keringat dingin bercucuran di tubuh Mardi yang masih terpaku dan membisu.

Keributan tengah malam, membuat semua warga keluar dari rumah dan ikut berkumpul di sekitar pos ronda.
Setelah lama menenangkan Mardi dan membacakan doa, akhirnya Mardi sudah mulai tenang dan sudah mau berbicara. Tetapi sorot matanya, tajam berjaga ke sekeliling.

"Ja-jangan ti-tinggal-kan aku sendiri ya, Ton!"

Ucapnya kepada Anton, salah satu teman ronda nya.
Anton mengangguk sembari memberi air putih untuk Mardi yang ngos-ngosan.

"A-ku takut m a t i, Ton!" Ulangnya.

"Jangan bilang begitu, Di! Mati itu takdir." Jawab Anton

"Ta-pi mukaku udah di ludahi p o c o n g Ton!"

Semuanya saling pandang memandang setelah mendengar pengakuan Mardi.
Benar saja, pak Mardi menjadi setakut itu, karena sebelumnya sudah ada banyak korban yang meninggal, setelah bertemu dengan p o c o n g tersebut.

🪶

Beberapa hari setelah kejadian itu, Mardi di kabarkan meninggal dunia karena terpeleset dari kamar mandi. Padahal ia di jaga ketat oleh istri dan anaknya, ditambah lagi dengan warga yang ikut berjaga-jaga di rumah bapak Mardi tersebut.

"Ini tidak bisa di biarkan, satu warga kampung kita jadi korban lagi.
Ini pasti gara-gara pocong yang meneror kampung ini! Kita harus bertindak, tidak bisa berdiam diri lalu pasrah begini.
Jika tidak, kampung ini akan menjadi kampung mati dan tidak berpenghuni." Ucap bapak kepala desa.

Semua warga ketakutan, terutama orangtua yang masih memiliki seorang bayi, balita dan anak-anak.
Namun mereka tidak punya pilihan lain, untuk tetap tinggal di kampungnya, merela belum punya jalan keluar untuk menghentikan teror pocong yang sedang merajalela.

"Mulai sekarang jangan ada yang keluar rumah setelah pukul enam.
Jangan ada pakaian anak yang di biarkan di luar rumah setelah magrib, meskipun belum kering sekalipun, tetap angkat! Untuk sementara ini, ronda tidak di adakan dulu sebelum keadaan kembali normal." Saran kepala desa yang di angguki semua warga.

🪶

Setelah kejadian meninggalnya bapak Mardi, suasana kampung yang tadinya masih ramai, kini berubah menjadi sepi, mencekam dan menakutkan.

Setelah tiba waktu maghrib, tidak ada lagi seorang pun yang berani keluar rumah, meskipun dalam keadaan mendesak sekalipun. Karena menurut warga kampung, nyawa lebih penting dari segala urusan.

Bahkan, sudah tidak ada lagi suara adzan maghrib, isya dan subuh yang menggema di masjid ataupun mushola.
Orang yang rajin beribadah di masjid pun takut keluar rumah, setelah memasuki waktu maghrib.

Kampung ini, sudah seperti kampung mati.
Tidak ada lagi riuh suara shalawat anak di toa masjid yang bersahutan, tidak ada senda gurau di dalam rumah seperti biasanya. Semua diam, hening dan sunyi begitu sampai pagi tiba.


Seluruh warga kampung sangat resah dengan kedatangan p o c o n g yang tiba-tiba meneror.
Kami sangat merindukan kampung yang dulu, kami rindu mendengar suara adzan dan shalawat dari anak-anak di masjid maupun mushala, kami rindu dengan aktifitas warga seperti dulu. Kami rindu dengan banyaknya orang yang hendak melaksanakan shalat berjamaah.
Kami rindu bersenda gurau dengan keluarga, tanpa takut di datangi sosok pocong yang kerap ramai sedang di perbincangkan itu.

🪶

#POV_IRAWAN

°Tok ... Tok .. Tok ..

"Assalamualaikum,"

Aku menunggu Ibu dan Tamara membukakan pintu, badan ku basah kuyup karena hujan deras.

"Assalamualaikum,"

Aku mengulang salamku yang ke dua, tetapi belum juga ada jawaban dari Ibu dan Adikku.

Dingin sekali di luar rumah, di tambah lagi dengan lampu warga di sepanjang jalan yang sudah padam, bahkan rumahku juga padam. Padahal ini baru jam sembilan malam.

Tiba-tiba terdengar ketukan lirih dari dalam rumah. "Tamara, ini aku! Abangmu, Irawan. Buka pintunya!"

Setelah mendengar suaraku, Tamara langsung membukakan pintu dengan raut entah, ia langsung menyeretku dan segera menutup pintu dengan cepat.

"Kamu kenapa sih, Ra?" tanyaku heran.
Tanganku sampai sakit di seret kasar oleh Tamara.

"Ssssst, jangan keras-keras!" Lirihnya dengan suara menekan.

"Abang Ir kok pulang nggak bilang dulu? Pamali Bang, pulang malam-malam begini!" Ucap Tamara kesal dengan berbisik.

"Lah, kan karena perjalanan jauh. Berangkatnya pagi, tapi sampe rumah malem! Lagian biasanya juga gitu kan, Ra?" Kesalku.

"Tapi sekarang beda, Bang!"

"Beda kenapa sih? Lagian kamu juga nggak bilang sama aku kan, Ra?! Pamali percaya pamali, ngerti kamu?!"

Aku berlalu meninggalkan Tamara di depan pintu dan duduk di kursi panjang dengan tubuh di biarkan tersandar. Lelah sekali rasanya, hingga tak sadar aku pun tertidur.

🪶

#POV_AUTHOR

Ada kerinduan mendalam di hati Irawan, banyak sekali kenangan di dalam rumah sederhana ini, mulai dari kenangan manis dan pahit yang pernah ia rasakan.
Ada kehangatan keluarga, keharmonisan dan tentunya saat Bapaknya masih ada di dunia ini.

Suasana rumah, masih sama seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali di dalamnya, itulah yang membuat airmata nya sukses jatuh, karena mengingingat kepergian Bapak Yahya

Semenjak bapaknya tiada, Irawan merasa di asingkan dari rumah, bahkan Ibunya memasukan Irawan ke dalam pesantren di kota besar, tentunya sangat jauh dari kampung kelahirannya.

Ibu selalu berdalih, bahwa itu adalah pesan terakhir Bapak sebelum meninggal dunia. Beliau ingin anak lelakinya mendalami agama islam di kota besar.
Hingga akhirnya, Irawan di kirim ke kota, jauh dari rumah dan keluarga.

#POV_IRWAN

Bukan hanya itu, aku merasa tak di pedulikan lagi oleh Ibu semenjak Bapak meninggalkan kami.
Di mata Ibu, aku hanyalah benalu di rumah ini. Tak jarang Ibu selalu melarangku pulang ke rumah, kalau aku memberi kabar terlebih dahulu padanya, Ibu selalu mencari alasan agar aku tetap di sana.

Aku tau Ibu mendengar suaraku saat Tamara membukakan pintu, bahkan aku melihat Ibu menyibak sedikit gorden pintu kamarnya.
Tapi saat aku hendak mendekat, dan ingin mencium punggung tangannya, Ibu malah masuk ke dalam, dengan raut wajah tak suka.

Sebenci itu kah Ibu padaku?

Apa salahku?

Apakah sayang Ibu padaku, ikut terkubur bersama Bapak?

Perubahan Ibu setelah Bapak tiada, membuat diriku semakin terbuang.
Tak ada lagi kenyamanan bahkan ketenangan di rumah ini.
Andaikan hatiku terbuat dari batu, aku tidak akan merasa sakit dan sepedih ini.

🪶

Waktu menunjukan pukul 02:00, mata ini sulit ku pejamkan kembali.
Mungkin karena larut dalam pikiran yang entah, membuatku menjadi sulit tertidur kembali.

Ku pandangi plafon dari anyaman bambu yang sudah semakin keropos, bahkan air hujan deras menetes ke wajahku karena banyak sekali genteng yang bocor.

Suara percikan air hujan, membuatku tak mendengar daratan.
Namun, terdengar samar, ada suara orang yang sedang mengaji dari luar.
Aku dapat menyimpulkan seseorang itu dengan fasih membaca surat yasiin ayat 20-27.

Aku seperti mengenal suara itu! Tapi siapa?

Sayup-sayup suara itu menghilang tak terdengar lagi, bagai di telan bumi.

🪶

BERSAMBUNG

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang