T e r o r [8] Pencarian jasad Bapak ☑️

111 11 2
                                    

🪶

Hari ini, kami harus menerima kenyataan bahwa kami sudah menjadi yatim piyatu. Dimana Ibu dan Bapak sudah pergi meninggalkan aku dan Tamara.

Warga sudah kembali pulang ke rumahnya masing-masing, hanya ada Ustadz Saifful yang masih setia menemani kami di tempat peristirahatan terakhir Ibu.

"Kalian yang sabar, ya." Kata Ustadz Saifful perlahan.

Kami hanya mengangguk, tanpa menoleh. Entahlah, kami sedang di rundu kesedihan dan kehilangan yang mendalam.

Lama sekali kami meratap, tidak tega rasanya meninggalkan Ibu sendiri di tempat istirahatnya saat ini.

Sebenarnya kami belum siap kehilangan orangtua untuk yang kedua kalinya, namun inilah takdir, kami harus menerima kenyataan dengan lapang dada.

"Ayo kita pulang, sudah masuk waktu dzuhur." Ajak Ustadz Saifful.

"Maaf, Ustadz. Lebih baik Ustadz pulang lebih dulu saja, kami masih mau di sini lebih lama lagi." Jawab Tamara masih terisak.

"Tidak baik terus meratap begitu, Tamara. Biarkan Ibumu pergi dengan tenang, ikhlaskan dia. Ibumu hanya butuh doa dari kalian, karena doa dari anak yang shaleh dan shaleha akan sampai pada Ibumu di alam sana. Itu jauh lebih bermanfaat, Tamara." Jelas Ustadz Saifful.

Tamara menunduk, ia mengusap airmatanya yang terus saja mengalir deras.

"Apa yang di katakan Ustadz Saifful memang benar, Ra! Lebih baik kita pulang saja," Usulku, dengan berat hati mengajak Tamara untuk pulang.

Setelah berpamitan pada Ibu melalui batu nisan, kami pun pulang ke rumah.
Berat sekali langkah kaki ini, tubuh ini lunglai tak bertenaga.

Lemas pada kedua kaki menjalar ke seluruh badan, saat ini dunia kami sedang hancur! Kami kehilangan Ibu yang meninggal dengan membawa sejuta misteri, ada rahasia besar yang belum sepenuhnya terungkap.
Semuanya masih dalam bentuk teka teki yang harus segera di pecahkan.

"Irawan, Kalau ada apa-apa jangan sungkan ya. Kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja sama saya.
Kalau kamu butuh teman cerita, saya siap menjadi pendengar yang baik." Kata Ustadz Saifful.

Aku mengangguk "Terimakasih, Ustadz."

"Anggap saja saya seperti Bapak kalian. Kalian ingat kan, sedekat apa saya dengan Bapak Yahya dulu?" Senyum ustadz Saifful merekah.

Memang Bapak dengan Ustadz Saifful sangat dekat dan begitu akrab,  mereka sudah berteman sejak masih kecil hingga Bapak tiada.


🪶

Kaki ini melangkah, memaksa masuk ke dalam rumah, sesampainya susasana terasa sangat sunyi dan sepi tanpa sosok seorang Ibu.
Tidak ada kehangatan di dalam rumah, melainkan hanyalah kehampaan yang terasa lekat.

"Semua ini seperti mimpi ya, Bang!"

Tamara ambruk di kursi goyang milik Ibunya, dimana kursi itu biasa Ibu Rumi duduki saat bersantai. Airmatanya luruh kembali mengingat bayang-bayang Ibu yang masih jelas teringat.

"Entahlah, Ra! Harapanku pulang ke rumah ini, untuk berkumpul bersama kamu dan juga Ibu. Tapi kenyataanya berbalik seperti.
Tau akan jadi begini, aku tidak akan pulang Ra!" Butir bening keluar begitu saja.

"Ini takdir, Bang. Semua sudah ada yang mengatur, hanya saja sulit sekali ikhlas kali ini." Tunduk Tamara, ia menghela nafas panjang.

"Bayangkan saja, Ibu meninggal dengan cara gantvng d i r i, sebelum meninggal Ibu sempat memberikan sebuah surat yang berisi kejutan luar biasa untuk kita." Tamara menyeka airmata yang mengalir deras.

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang