T e r o r [13] Pulang kampung ☑️

103 8 2
                                    

CUIH!

"Nggak sopan kamu!" Teriak Irawan mencoba menjauh.

Di dalam film p°cong, yang Irawan tahu mereka pasti jalannya loncat-loncat, tapi beda dengan p°cong yang sedang di hadapinya sekarang.
Mereka berjalan dengan sangat cepat dengan cara mengambang tidak menapak tabah, jarak langkahnya sangat lebar, mungkin sepuluh kali lipat dari langkah manusia.

Air ludahnya berbav bvsvk menyengat, seperti bau bangk4i, tvbuhnya berbau any1r dan menyeruak kemana-mana.

Meskipun kedua tangan mereka diikat, tetapi air ludahnya sangat menjij1kan, bahkan mem4tikan.
Pikiran Irawan mendadak blank, karena fokus memijat perut yang sudah mulai berkontraksi ingin memuntahkan semua isi di dalam perut.

Baunya semakin menyengat, sehingga aku tidak bisa menahan lebih lama lagi.

HUEKKKKKKKKK

Aku lelah di kejar mereka terus menerus, sekarang gantian aku yang harus mengejar mereka.
Setelah menghentikan langkah, mereka langsung memaku. Bahkan aku terus melangkah hendak mengejar mereka dengan membawa sebuah benda tajam, karena aku baru ingat, setahuku mereka takut dengan benda taj4m dan hewan reptil, seperti ular dan lain sebagainya.

Aku kembali bermain-main dengan imajinasi, mendekati mereka dengan cara melayang, tepat di atasnya dengan cepat.
Benda t4j4m itu di layangkan ke arah mereka dan mengancam akan memotong tali p°congnya.

Tapi bukannya berhenti menyerang, mereka malah meludah jarak jauh, hingga nyaris mengenai wakah.
Secepat kilat aku menghilang, berpindah tempat persis di belakang poc°ng itu berdiri.

Tak hentinya, aku selalu merapal doa, kemudian ku tiupkan ke benda taj4m yang sedang ku pegang. Tanpa basa-basi, qku langsung memotong tali salah satu poc°ng tersebut, hingga beberapa saat setelahnya poc°ng itu tersungkur dan menghilang.

"To-long, ampun!" Rintih kawan-kawannya.

"Tolong jangan potong tali poc°ng kami lagi," Pinta mereka, memohon.

"Lepaskan kami, maafkan kami telah menantangmu. Kami siap menjadi budak, kami siap kalau harus menjadi milikmu, asalkan kamu mau melepaskan kami, jangan cilakakan kami!" Sambungnya.

"Tidak perlu! Aku tidak ingin memperbudak kalian. Ya sudah, aku sibuk! Ingat, jadi lontong arem-arem itu jangan jahat dong!" Ucapku kesal.

Ternyata kehidupan alam ghaib seperti ini ya?!

Dimana yang kuat akan selalu di puja, sedangkan yang lemah akan di injak, di serang tiada ampun.

Intinya, nggak ada bedanya sih, sama di dunia nyata! Upz.....

🪶🪶🪶

"Bagaimana petualangan hari ini?" Senyum kakek Dullah

"Melelahkan," Jawabku.

"Jadi, kamu ingin menyerah?" Tanyanya.

"Tentu tidak, Kek!"

"Bagus! Kita lanjutkan besok, sekarang menyatulah ke ragamu terlebih dahulu untuk beristirahat."

"Baik,"

•••

Sekarang genap dua minggu Irawan dan Tamara tinggal di pesantren.
Dalam waktu empat belas hari itu, Irawan menghabiskan waktunya untuk berlatih dengan kakek Dullah.
Terkadang, Rehan pun ikut serta dalam pelatihan itu.

Sementara Tamara sibuk dengan kegiatannya, yaitu memperdalam ilmu agama.
Hingga tiba waktu kepulangan mereka ada di depan mata. Malam ini adalah malam terakhir Irawan dan Tamara di pondok pesantren.

Irawan di anggap sudah cukup berlatih, meskipun ia belum mencapai tahap sempurna.

"Waktumu sudah habis di sini, Irawan. kamu harus kembali ke kampung untuk menyelamatkan warga, terutama j4s4d orangtuamu." Kata kakek Dullah saat itu.

Tiba saatnya, aku dan Tamara harus pulang.
Tidak ada keraguan untuk kembali lagi ke kampung kelahiran, karena ada amanah dan tanggung jawab besar disana.

Pak kyai memberikan sebuah tasbih miliknya sebelum sehari keberangkatan kami.

"Kami akan membantumu melalui doa, Irawan, Tamara." Ucap ustadz Azzar, yang juga ada di sini.

•••

"Kamu udah siap, Ra?"

Tamara mengangguk.

Setelah kami berpamitan kepada semua orang di ponpes, terutama para santri dan santriwati, kami pun beranjak. Bergegas melalukan perjalanan jauh, untuk pulang ke tanah kelahiran.

"Tunggu!"

Dari kejauhan, Rehan berlarian menghampiri.

"Boleh aku ikut?" Kata Rehan tersengal.

"Nggak perlu Han,"

"Kenapa? Aku udah izin sama orangtua dan guru, mereka semua mengizinkan. Begitupun dengan kakek Suro, dia juga merestui." Kekehnya.

"Jangan Han, ini terlalu berbahaya. Aku nggak mau kamu terlibat dalam masalah ini, tolong urungkan niat kamu. Doain aku aja dari sini," Tolakku.

"Justru itu masalahnya, Ir!"

Aku dan Tamara terdiam.

"Logikanya gini, kamu nggak mungkin bisa ngelawan sendirian. Harus ada teman disana. Aku nggak bisa biarin kamu sama Tamara pulang tanpa aku, ya!"

"Tolong izinin aku ikut Irawan! Aku ini temenmu, aku pengen bantuin kamu. Aku juga penasaran, mau tau gimana sih kondisi kampung kamu sekarang.
Jangan larang aku ya, kita berjuang bareng! Ingat kan kata kakek Dullah? Aku di takdirkan untuk membantu kamu, Ir!"

"Oke deh!"

Aku mengangguk.

•••

Perjalalanan pulang ke kampungku memakan waktu yang tak sebentar. 20 jam yang di tempuh, hingga akhirnya kami sampai di depan gapura yang bertuliskan, "Selamat datang di kampung Tanjvn9"

Gapura yang sudah berkarat itu adalah pintu masuk menuju k3 dalam perkampungan, tempat tinggalku.

Kaki ini melangkah masuk ke dalam dengan suasana berbeda.
Rasa dingin menembus ke dalam tulang belulang, karena kami sampai tepat pada pukul lima pagi.

Jalanan gelap gulita karena tidak ada penerangan.
Aku berjalan sejajar dengan Tamara dan Rehan, dengan sorot mata penuh selidik.

Hingga sampailah di keramaian perkampungan t4njung yang sudah seperti kampung mati. Lebih parah dari sebelum aku dan Tamara kembali ke pondok.

POV_AUTHOR

"Ini rumah kita, Han!" Tunjuk Irawan.

"Kok rumah di sini, pada gelap sih Ir? Terus nggak ada lampu jalan, emang boleh gitu ya?"

"Yaa, itu masalahnya."

"Oh oke, paham!"

"Ayo kita masuk," Ajak Tamara.

"Eh, Bang!" Teriaknya.

"Ada apa, Ra?"

"Lihat, Bang!"

Kami saling pandang, saat lampu di nyalakan Tamara.

•••

BERSAMBUNG

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang