T e r o r [2] Larangan Ibu ☑️

161 19 0
                                    

"Eh ada mas Irawan, pulang kapan Mas? Kok saya baru lihat?" Sapa ustadz Saiful dengan senyuman merekah.

"Kemarin Pak Ustadz." Jawabku sopan, sembari mencium tangannya.

"Alhamdulillah, nggak lupa kan sama tanah kelahiran?" Ucap Ustadz Saiful terkekeh

"Mboten, Pak. Masa lupa,"

"Soalnya lama banget kamu di kota, jarang pulang juga kan? Terakhir saya lihat kamu pulang itu tiga tahun yang lalu, kan?" Ustadz Saiful berusaha mengingat.

"Bekerja merantau ke kota boleh, Ir. Tapi inget sama kampung, sama rumah, sama adikmu dan Ibumu. Beliau sudah semakin tua. Bukan hanya uang yang mereka butuhkan, tapi kehadiran kamu juga."

Nasihat Ustadz Saiful membuatku tertunduk. Sebenarnya aku pun ingin berkumpul dengan mereka, tapi keadaan tak mendukungnya, Ibu tak seperti dulu lagi.

"I-iya Pak," Senyumku.

Setelah lulus sekolah SMP, sebenarnya Ibu memasukan ku ke ponpes di kota. Karena ada kerabat jauh alm Bapak yang mau menampungku di sana, terlebih ia adalah pemilik ponpes tersebut.

Dulu Bapak adalah seorang kyai, tak jarang bapak mempunyai banyak kerabat dari berbagai daerah, oleh sebab itu Ibu mempercayakan ku sepenuhnya kepada kerabat alm Bapak di kota.

Tapi Ibu merahasiakannya pada semua warga, terutama pada Ustadz Saiful.
Mereka mengira, aku merantau mengadu nasib ke kota mencari nafkah keluarga.

Ibuku mengarang cerita bahwa aku disana bertemu dengan orang baik, sehingga aku betah dan jarang sekali pulang ke kampung.

Entahlah, apa maksud Ibu menutupi semua ini pada mereka.
Ibu tidak berkata jujur dan memilih berbohong kepada seluruh warga, terutama kepada Tamara. Adikku sendiri.

🪶

"Kamu mau kemana, Irawan?" Tanya Ibu muncul dari dalam kamarnya.

"Mau shalat maghrib, Bu." Jawabku, sembari terus mengenakan sarung dan mengambil sajadah di dalam lemari.

"Ini baru setengah enam!"

"Iya, Bu. Irwan sekalian mau adzan di mushola."

Aku menyodorkan tangan hendak mencium punggung tangan Ibu, namun secepat kilat di tepisnya dengan kasar.

Netranya membola sempurna menatap tajam wajahku, begitupun denganku yang semakin heran dengan tingkah laku Ibuku sekarang.

"Jangan keluar rumah menjelang maghrib!" Gertaknya.

"Irawan mau shalat, Bu."

"Shalat saja di rumah!" Kekeh Ibu.

"Lho kenapa? Laki-laki di wajibkan shalat berjama'ah di masjid, Bu. Apalagi jarak masjid kan dekat dari rumah."

"Sekali tidak, ya tidak Irawan! Jangan membantah orangtua, jangan jadi anak durhaka sama Ibumu ini!"

"Seorang Ibu yang tidak membolehkan anaknya shalat di masjid, apakah Irawan tak salah dengar? Kenapa Ibu sekarang berbeda?" Ucap Irawan mengembun.

Dimana Ibu yang dulu?

Ibu yang selalu taat beribadah, ia sekalipun tidak pernah meninggalkan shalat.
Tapi sekarang, aku seperti kehilangan sosok Ibuku yang dulu, aku tak pernah melihat Ibu melaksanakan shalat lagi, bahkan Ibu yang suka menghadiri pengajian, sekarang lebih memilih berdiam diri di rumah.
Ibu yang rajin, rutin membaca kitab suci al-Qur'an setelah shalat subuh dan maghrib, saat ini aku tidak pernah mendengarnya lantunan ayat suci dari suara merdunya lagi.

Banyak yang berubah pada diri Ibu saat ini, apakah meninggalnya Bapak membuat Ibu merasa terpukul hingga sampai saat ini?

"Ingat, Ibu tidak mengizinkan kamu keluar rumah. Kalau kamu mau melawan dan jadi anak pembangkang, lebih baik, kamu kembali saja ke kota.
Disana kamu bebas melakukan apapun, tanpa larangan Ibu!"

Mungkinkah ini cara Ibu mengusirku secara halus dari rumah?

Ibu membuatku seolah terkekang, hanya agar aku merasa tidak nyaman di sini?

Begitu tidak pentingkah aku di matamu, Bu?

Aku menghela nafas panjang, tak terasa air bening ini luruh.
Ibu berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya, sementara Tamara sedari tadi menyaksikan aku dengan Ibu melalui bilik.

"Bang, nurut sama apa kata Ibu, ya!" Ucap Tamara lirih.

"Kenapa Ibu membenci Abang, Tamara!"

"Ibu nggak membenci Abang,"

"Sikap Ibu bisa aku rasakan, Ra!" Aku duduk terkulai.

"Jangan salah paham, Ibu sayang sama kamu, Bang."

"Kamu nggak pernah tau bagaimana perasaanku selama Bapak tidak ada, Ra. Kamu tidak pernah merasakan apa yang ku rasakan," Ungkapku, dengan airmata jatuh berderai.

"Maaf," Tunduk Tamara.

"Bang Irwan pasti nggak tau kan, ada mahluk jahat yang meneror warga kampung kita sekarang? Terkadang mahluk itu menyerupai p o c o n g, kadang hanya kain putih melayang. Sudah banyak korban karena ulah mereka." Kata Tamara perlahan mengalihakan pembicaraan.

"P o c o n g?"

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja di tuturkan Tamara.

"Setiap orang yang di datangu, pasti akan meninggal. Bang Irwan kenal kan sama pak Mardi? Belum lama ini, pak Mardi juga meninggal setelah melihat sosok p o c o n g yang katanya sempat meludahi wajahnya."

"Sekarang kampung ini nggak seperti dulu lagi, apalagi hanya tersisa Ustadz Saiful tokoh agama di kampung ini."

Aku bersikeras menyaring apa yang sedang di katakan Tamara.

"Terus apalagi, Ra?"

"Ya begitulah, intinya kampung ini sedang nggak baik-baik aja, kita semua terancam, Bang!"

"Lihat, sekarang sudah nggak ada lagi suara adzan, masjid, mushola kosong, Bang. Warga di larang keluar rumah setelah pukul enam.
Bahkan ketika sudah masuk ke dalam rumahpun, kita takut saling bicara. Nggak ada lagi senda gurau seperti dulu, semuanya saling membisu." Lirih Tamara.

"Kalo gitu, kita nggak bisa diam aja, Ra. Kita harus cari jalan keluarnya!"

Tiba-tiba Tamara membekap mulutku, "Stttt, bisa pelan nggak ngomongnya?" Sinis Tamara.

"Jadi gimana, Ra?" Bisikku.

"Jalan keluarnya apa, Bang? Jangankan kita, kepala desa dan ustadz Saifull aja udah angkat tangan, nggak bisa nanganin masalah ini," Keluhnya.

"Lagipula, pasti Ibu semakin murka kalau tau, Bang!"

"Tapi kita nggak bisa membiarkan terus menerus, Allah bisa murka kalau suada adzan di tiadakan.
Apalagi semua warga menjadi kafir, mereka takut shalat berjamaah, mengaji dan bershalawat di rumah Allah.
Akibatnya mushola kampung kita pasti akan terbengkalai!

Hening ...

🪶

Lagi-lagi suara yang sama terdengar lagi. Aku mendengar sangat jelas kali ini. Ada suara seseorang sedang mengaji di luar rumah.

Aku bangkit dari tempat tidur dan memastikan suara siapa itu.
Aku keluar dari kamar menuju ruang tamu, sebelumnya ku lihat Ibu dan Tamara di kamarnya .

"Sepertinya mereka sudah pulas." Batinku.

Kaki melangkah perlahan mendekati pintu depan, kemudian aku membuka gorden kaca jendela, setelahnya aku sangat terkejut melihat apa yang baru saja ku lihat ...

🪶

BERSAMBUNG ...

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang