T e r o r [14] Pengakuan pak Anton ☑️

104 10 4
                                    

🪶

Lumpur ada di mana-mana, bahkan posisi meja dan kursi sudah terbalik. Padahal sebelum kami tinggal, semuanya rapi dan baik-baik saja.

"Awas, Tamara!" Teriak Rehan.

"Kamu nginjak beling tuh, kakimu berdarah!"

Rehan mendekat, dia menyentuh lumpur hitam yang di dalamnya ada pecahan beling berukuran kecil-kecil.

"Kamu nggak apa-apa, Ra?" Irawan membantu adiknya, menghentikan d4r4h yang terus keluar.

"Dih, kurang kerjaan amat yang naruh lumpur sama beling di rumah orang!" Gerutu Rehan.

"Orang?" Kata Tamara.

"Udah, mending kita beresin ini semua dulu. Nanti baru kita pikirkan lagi," Bijak Rehan, yang di angguki Irawan dan Tamara.

Setelah rumah rapi dan bersih dari lumpur, kami bersiap untuk istirahat sejenak terlebih dahulu.
Semenjak kami sampai ke rumah, kami belum sempat melepas penat, meskipun hanya sekedar duduk santai.

Baru saja duduk sebentar, terdengar suara seorang perempuan sedang menangis si luar rumah.

Kami langsung keluar menghampiri wanita tersebut.

"To-long!" Histerisnya.

"Ibu kenapa?"

"T o l o n g!" Rintih waita itu.

"Ayo Ibu duduk disini, Ibu tenang dulu, ya." Ucap Tamara sembari menuntun wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah.

Perlahan wanita itu mulai bisa tenang. Beliau mau mengikuti perkataan dan arahan Tamara dengan baik.

"A--nakku hilang! Tolong, tolong cari dia! Anakku hi-lang ..." Ungkapnya mulai membuka suara.

Perkataanya seperti orang normal pada umumnya, hanya saja sebentar-sebentar menangis histeris dan tertawa.

"Sepertinya Ibu itu depresi, Han." Kataku.

"Iya. Wan, masa kamu sama sekali nggak tau Ibu ini sih?" Tanya Rehan kemudian.

Irawan menggeleng cepat, "Ibu ini bukan warga kampung sini, jadi aku nggak tau. Ini aja aku baru lihat, Han."

Tiba-tiba, Ibu itu berubah menjadi liar,
Ia mendorong Tamara yang ada di dekatnya dengan sangat keras, sehingga Tamara tersungkur, jatuh ke bawah.

Spontan Irawan dan Rehan terkejut, secepatnya Irawan langsung menolong adikknya untuk bangkit, sementara Rehan, berusaha mengejar Ibu itu yang sudah jauh berlari, setelah mendorong Tamara.

•••

POV_IRAWAN

"Ya Allah, Ini teh bener Irawan sama Tamara?" Sapa pak Anton terkejut, saat ia melewati rumah kami.

"Iya, bener Pak." Jawab kami serempak.

"Kalian habis dari mana saja? Kami orang satu kampung nyariin kalian!"

Aku dan Tamara saling melempar pandang.

"Kalian mbok yo kalo mau kemana-mana bilang sama salah satu warga, biar kita semua tau.
Kuburan Ibumu saja masih basah loh, malah di tinggal pergi lama." Sambung pak Anton.

"M-maaf, Pak. Saya ada urusan, jadi terpaksa saya tinggal,"

"Mari masuk, Pak. Monggo, singgah dulu." Tawar Tamara.

Pak Anton mengangguk.

"Semenjak kamu pergi, teror di kampung kita semakin meresahkan, Wan.
Mereka nggak hanya menghantui orang yang keluar malam aja, tapi sudah bisa masuk ke dalam rumah." Keluh pak Anton.

"Bahkan pak Pardi yang sudah sembuh karena bantuan kamu saat itu, kemarin sudah meninggal dunia." Tuturnya.

"Innalillahi wa inailaihi roji'un, benar itu Pak?" Kataku.

"Iya. Makanya orang kampang sini menuduh kalian lah pelakunya.
Tapi aku tidak percaya begitu saja, dengan tuduhan mereka. Tapi benar kan, bukan kamu dalang dari semua ini?" Tanya pak Anton serius.

"Astagfirullah, kenapa jadi kami? Saya nggak tahu apa-apa Pak!" Elakku.

"Maaf ya, tapi karena kamu yang tiba-tiba menghilang, menimbulkan banyak prasangka dan kecurigaan. Di tambah lagi, lebih banyak warga berjatuhan jadi kor-ban karena teror itu, Wan.
Jadi mereka mengira, kamu dalang dari semuanya, apalagi ,------------"

"Apalagi apa, Pak?" Desak Tamara.

"Apalagi ada salah satu warga yang mendapati makam Ibumu berantakan. Bahkan j4s4dnya tidak ada,"

Mendengar pengakuan itu, Irawan langsung terkejut.

Bagaimana tidak?

Menjalankan amanah Ibu untuk menguburkan jenazah Bapak saja, belum bisa di laksanakan, karena hilangnya jenazah Bapak di ruangan bawah tanah.
Sekarang aku harus menerima fakta lagi, bahwa j4s4d Ibu juga menghilang? Ya Allah! Apa lagi ini?

"Yang benar, Pak?"

"Ya Allah, astagfirullah. Apalagi ini, Bang?" Kata Tamara dengan mata mengembun.

"Jadi bukan kalian yang membongkarnya kan?"

"Demi Allah, bukan Pak!" Jawabku.

"Kenapa jadi begini ya, Ra?" Kataku tersengal.

"Untuk lebih jelasnya, kalian bisa cek sendiri di pemakaman langsung," Saran Pak Amton.

"Baik, Pak. Terimakasih sudah mau memberitahu dan percaya sama kami, nanti saya usahakan ke rumah pak Kades setelahnya, mau laporan kalau kami sudah pulang, biar nggak ada pemikiran negatif lagi tentang kami." Bijakku.

"Kampung ini sudah nggak punya kepala desa, Wan. Pak Kades sudah meninggal sepekan yang lalu,"

Lagi dan lagi, aku mendengar kabar duka tentang kepergian pak Kades, kepala desa kampung ini.

"Saat itu pak Kades dan Ustadz Saifful memimpin warga untuk menyelidiki rumahmu, Wan.
Karena mereka mencurigai kalian sebagai dalang atas teror di kampung ini."

"Ini semua bukan tanpa alasan, mereka seringkali melihat bapak kalian, Bapak Yahya, selalu menghantui warga kampung dengan menampakan diri ataupun dengan suara mengajinya, sama persis seperti saat beliau masih hidup.
Ketika di ikiti, Bapak Yahya berjalan pulang menuju rumahmu."

"Tapi, sesuatu di luar dugaan terjadi sehingga Pak Kades meninggal di tempat karena mengalami serangan j4ntung, sedangkan Ustadz Saifful yang berusaha melawan muntah d4r4h, sampai ia harus di rawat di rumah sakit beberapa hari,"

"Astagfirullah, Pak. Saya nggak bisa berkata-kata lagi,"

Dadaku terasa sesak sekali mendengar pengakuan pak Anton. Nyaliku semakin menciut seketika.

Bagaimana tidak? Semua warga kampung malah menuduhku sebagai dalang dari permasalahan ini.
Bahkan saat mereka sedang menyelidiki ke rumah kami pun, memakan korban lagi.

Kenapa mahluk itu terus memfitnah aku dan Tamara? Biar seolah kami yang bersalah, padahal kami juga menjadi korban, atas kesalahan Ibu dan Bapak di masalalu.

Apakah semua kesalahan, akan mereka timpakan pada kami, setelah mereka tau kebenarannya?

"Ya sudah, saya pamit dulu ya Wan. Mau cari rumput untuk pakan kambing, sebelum sore.
Kamu yang sabar ya, saya berpesan agar kamu tetap waspada dan berhati-hati. Tengoklah dulu ke makam Ibumu nanti,"

Pak Anton pun berlalu pergi.

•••

Sedangkan dari kejauhan terlihat Rehan berlari dengan nafas ngos-ngosan.

Kenapa dengan Rehan?

•••

BERSAMBUNG.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang