T e r o r [3] Sosok itu? ☑️

174 18 1
                                    


"Ba--pak?!"

Aku mengucek kedua mata, berfikir apa yang sedang ku lihat itu salah, ada Bapak sedang duduk di sana, suara merdu mengaji Bapak masih terngiang di telinga.
Dengan cepat, aku membuka pintu berharap itu memanglah Bapak. namun saat pintu terbuka, Bapak menghilang.

"Astagfirullah, Irawan sadar! Bapak sudah meninggal." Lirihku menghela nafas panjang.

Aku kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu seperti semula. Aku tidak menyadari kalau ada Ibu dan Tamara yang sudah berdiri di balik pintu.

"Kamu tidak bisa di bilangin, ya! Ngeyel!" Kata Ibu dengan emosi meledak.

Sementara Tamara hanya bisa diam, melihat kemarahan Ibu pada ku.

"M....maaf, Bu." Jawabku terbata-bata.

"Ngapain malam-malam kamu di luar rumah, haa?!" Bentaknya.

"Irawan nggak sengaja, Bu. Tadi Irawan dengar, ----------"

Belum sempat melanjutkan perkataan, Ibu sudah memotongnya.

"Mau alasan apa lagi?!

Spontan aku langsung terdiam. Sebaiknya memang aku tak memberitahu masalah ini kepada Ibu, karena Ibu pasti akan sedih mendengar nya.

"Ini terakhir kalinya Ibu ingatkan kamu ya Wan! Kalau kamu tetap seperti itu, lebih baik kamu pergi dari rumah ini secepatnya, tinggal saja di kota, tidak usah pulang ke kampung ini!"

Saat mendengar kata-kata Ibu, tak terasa bulir airmata menetes, luka hati yang lalu belum bisa di lupakan, sekarang harus di tambah lagi dengan perkataan Ibu yang mengiris hati, perih sekali rasanya.

"Ingat ya, Irawan! Kalau kamu mengulanginya lagi, jangan harap Ibu mau memaafkan kamu! Ibu tak segan-segan mengusirmu secara paksa dari rumah ini! Mengerti kamu?!" Teriak Ibu dengan amarah membara.

Hanya karena masalah sepele, Ibu semurka ini.
Namun, jelas sekali ku lihat butir air mata Ibu tertahan di kelopak matanya.
Sepandai-pandainya Ibu membohongiku dengan kemarahan nya, aku tau betul ada kesedihan yang tersimpan pada dirinya. Ibu masih menyayangiku! Tapi kenapa Ibu harus bersikap begitu?

"Sabar, Bang!" Ucap Tamara, kala Ibu sudah berbalik masuk ke dalam kamar.

"Ibu begitu karena mencemaskan mu, Bang! Ibu tidak mau kamu bernasib sama seperti yang lain. Wajar saja, Ibu semarah itu." Jelas Tamara, aku mengangguk.

"Aku tau, tadi bang Ir lihat Bapak, kan?" Tebaknya.

Aku langsung menatap Tamara dalam-dalam, bagaimana dia bisa tau?

"Ka-mu tau, Ra?"

Tamara mengangguk.

"I-bu tau?"

Tamara menggeleng.

"Tadi aku lihat Bapak mengaji di luar kehujanan, tapi setelah keluar rumah, Bapak tidak ada, Ra!" Tuturku.

"Itu masih mending, Bang!"

"Aku sudah pernah lihat Bapak di luar rumah tiga kali. Pertama, saat Bapak sedang mengaji, sama persis dengan cerita kamu, Bang.
Untuk yang ke dua kalinya, Bapak meminta aku untuk mengikutinya, tapi di tengah jalan, Bapak menghilang begitu saja."

"Terus yang ke tiga kalinya, Bapak berubah wujud menjadi mahluk menakutkan. Nyaris, Bapak mau membunuhku, Bang. Untung nya malam itu, Ibu memergoki aku yang berjalan sampai ke surau ujung, dekat sungai.
Akhirnya Bapak menghilang," Jelas Tamara.

"Itu bukan Bapak, Ra! Tapi jin Qorin yang menyerupai Bapak!"

"Iya,"

"Tapi kenapa dia mengganggu kita ya? Bahkan sampai mau mencelakai kamu,"

TERORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang