"Lo bohong kan soal proyek UMKM itu?"
Taufan yang lagi jongkok depan kopernya, langsung berhenti. Dengan ekspresi datar dia menatap Gopal yang berdiri di pintu kamar, seperti intel menyamar yang gagal—gaya sok misterius, tapi bawa gorengan plastik berembun di tangan kiri.
"Apa?" Taufan pura-pura bego.
Gopal menatapnya dengan tatapan serius. "Proyek. UMKM. Gue." Dia mengeja setiap kata kayak lagi ngajarin bayi ngomong.
"Ah, UMKM? Itu... penting banget tuh." Taufan nyengir kaku, pura-pura sibuk membongkar koper.
Saat ini, mereka hanya berdua—tidak—bertiga jika ditambah Solar yang sedang istirahat total di rumah. Halilintar sudah kembali ke rutinitasnya yang sibuk sebagai anak kuliahan, dan Gempa kembali berkutat dengan segunung laporan praktikum yang tidak ada habisnya. Untungnya lagi, pembicaraan yang lebih mirip interogasi sepihak itu benar-benar sudah selesai setelah Gempa memutuskan untuk percaya dengan yang semua Taufan katakan. Sebenarnya, masih ada kecurigaan yang tersisa di mata Halilintar, tapi Taufan memilih untuk tidak terlalu peduli dan khawatir bahwa Halilintar akan koar-koar dengan motif tersembunyinya.
"Penting ya, Fan? Proyek lo itu fiktif atau real? Kok gue gak pernah denger?" Gopal mendekat, menyentuh dagunya kayak detektif di film noir yang kebanyakan nonton Netflix. "Jangan bilang lo cuma pake itu buat ngibulin abang dan adek lo?"
Taufan menghela napas, menutup kopernya, lalu berdiri. Walau jantungnya ketar-ketir, herannya ekspresinya penuh akting dan masih berlagak seolah bodoh. Peduli setan tentang kejadian sebelumnya. Taufan memang sudah susah payah mengakhiri interogasi Halilintar dan Gempa yang hampir saja jadi adegan pencoretan namanya dari kartu keluarga. Seharusnya sih begitu, tapi Taufan lupa lagi dengan sosok bertubuh gempal yang mengikutinya jauh-jauh dari Kota Hilir alias Gopal.
"Pal, gue nggak ngerti apa yang lo omongin. Sumpah."
"Bener kan, lo bohong!" Gopal menudingnya. "Lo jangan nipu gue ya, gue tau semuanya. Terus gimana? Lo beneran punya proyek apa kagak sebenernya? Kok gak bilang? Segitu aja pertemanan kita Fan? Setelah gue korbanin diri gue buat bela-belain bohong ke bokap gue, bilang gue lagi kursus bela negara di gunung! Dan lo malah..." Gopal mulai drama, memasang tangan di dada seakan nyawanya melayang. "...lo malah nyembunyiin sesuatu dari gue?"
"Jadi gara-gara itu lo diusir bapak lo?" Taufan bertanya dengan agak tidak percaya.
"Iya. Aneh gak alasannya?" Gopal nyengir. "Gue bilang gue lagi ngapain di gunung? Latihan nari bambu!"
Taufan lantas mengerutkan dahi. "Goblok banget anjir! Gue jadi bapak lo udah gue kulitin lu." Taufan menghardik.
"Hehehehe..." sedetik kemudian, Gopal mengguncang bahu Taufan. "EH JADI BENER APA KAGAK?" Gopal lantas tersadar setelah nyengir. Suaranya yang naik satu oktaf dihadiah tendangan pedas dari Taufan.
"Jangan ribut, adek gue lagi tidur ya kocak." Ujarnya sedikit kesal. "Lagian, soal itu gue gak sepenuhnya bohong. Gue emang ada proyek, ditawarin sama kenalan gue."
Gopal memincingkan matanya. "Siapa tuh? Lo gak lagi deket sama tante-tante kan, Fan?" Selidiknya penuh prasangka.
Taufan mendelik. "Tante-tante dari mana? Lo kira gue cowok apaan!"
"Biduan?"
"Anjing." Taufan mengumpat, kali ini emosi betulan.
"Guk guk."
Ya Allah, Taufan mau resign jadi temennya Gopal.
"Udahlah, daripada bahas gue mulu, mending lo bantuin gue beres-beresin rumah." Taufan berdiri setelah dia merapikan tumpukan baju-bajunya di atas koper.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Ke Rumah (Boboiboy Elemental)
Fanfiction"Kata siapa beban jadi anak laki-laki cuma kerja dan cari uang? Lo juga harus tau kalo jadi anak sulung laki-laki dan menghidupi enam orang pemberontak adalah kiamat." Menjadi anak sulung yang dipaksa harus tegar dan dewasa, Halilintar sudah lebih d...