bagian empat belas (end)

1.1K 64 13
                                    

Di ruangan yang terlihat gelap, hanya bias cahaya bulan saja yang masuk melalui celah-celah jendela.

Seorang pria paruh baya meremat ponselnya setelah memutus panggilanya.

Pria itu Alvin, yang baru saja mendengar kenyataan, jika yang ia tabrak adalah anak Mela,

"Jika benar itu anakku, berarti dia tidak baik baik saja sekarang, hemofilia nya sama sepertiku" ujar pria itu lalu mengusap wajahnya kasar.

.
.

Dokter yang menangani Gibran telah keluar ruangan, membuat semua orang yang menunggu di kursi tunggu berdiri,

"Di sini siapa keluarga pasien"

"Saya dok," ujar mereka serempak termasuk Dika

Dokter itu sedikit mengerutkan dahinya,

"Baiklah saya berbicara di sini saja, kondisi pasien semakin melemah, sama sekali tidak ada perkembangan karena pendarahan di otaknya yang sangat rawan, dengan berat hati saya katakan jika pasien tidak tertolong" ujar sang dokter dengan wajah menyesal.

"Makanya operasi aja dok" ujar Rasya

" Lo gila sya, itu sama aja kita ngebunuh Gibran Rasya" geram Adara

"Lo pikir dengan kita diam aja Gibran bakal balik?" Ujar Rasya membuat Adara terdiam,

"Anak anak, lebih baik kita temui Gibran yuk, kita minta maaf sama dia, bukankah Gibran hanya menunggu kita?,"

"Pah? Papa nyerah?" Tanya Rasya

"Rasya, Gibran sudah cukup menderita, biarkan dia melepaskan rasa sakitnya, ikhlaskan dia Rasya, jangan tahan dia terlalu lama" ujar sang ayah dengan wajah yang memerah menahan air matanya.

"Setidaknya kita harus menemuinya selagi Gibran masih bernafas"

Ayah dan bunda Rasya masuk menemui Gibran yang masih berbaring "Gibran, anak ayah bunda, terimakasih sudah hadir dalam keluarga kami, jika kamu memutuskan ingin pergi, ayah sama Bunda ikhlas, baik baik di sana yah anak bunda" Maya memeluk Gibran sambil mencengkram erat selimut yang di pakai Gibran, untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Setelah ayah dan bunda keluar, kini giliran Adara dan Dika yang masuk menemui Gibran.

"Sayang.. nyaman banget tidurnya, Lo mau pergi gib? Lo gamau bangun sebentar buat pamitan sama gw?"

Dika menghampiri Adara dan mengelus kepala belakangnya

"Kamu sudah janji sama saya Gibran, kamu ngga bakalan bikin Adara nangis, tapi sekarang apa? Dia menangis di depanmu kamu ga mau bangun buat nenangin dia? Saya ambil kembali adaranya yah gib, kamu boleh pergi, Adara akan om jaga, kamu tenang saja,"

"Gamau ayah, jangan ambil Adara dari Gibran, Adara gamau," tangis Adara pecah membuat Dika memeluknya untuk menenangkannya.

"Adara, ikhlas kan Gibran ya sayang, kasian dia, jangan menangis, karena itu hanya akan memberatkan langkahnya"

Adara melihat wajah ayahnya yang di balas anggukkan,

"Ayo sayang, kamu bisa "

Adara mengalihkan perhatiannya kepada gibran

"Gib, gw ikhlas, terimakasih untuk semua kenangannya"

Dika tersenyum walau air matanya tak berhenti terjatuh.

Mela masuk setelah menetapkan hatinya untuk bertemu sang putra, Adara berdiri dari duduknya untuk membiarkan Mela menggantikan tempatnya.

"Anak mama, apa boleh mama memanggilmu seperti itu? Mama minta maaf, mari kita bertemu di kehidupan selanjutnya, jadi anak mama lagi ya gib, mama akan panggil kamu sayang seperti anak-anak lainnya, mama akan menebus semua dosa mama sama kamu, " Mela menggenggam tangan Gibran yang terbebas dari infus,

Different  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang