Suasana senyap menyelimuti keadaan kamar Alvaro. Pemuda yang saat ini sedang berbaring di tempat tidurnya dengan kedua tangan berada di belakang kepala sebagai bantalan.
Waktu sangat cepat berlalu, sekarang sudah malam hari lagi. Alvaro mengedipkan monolid eyes nya beberapa kali. Pikirannya terpaku pada cerita Daren tadi pagi. Daren yang bercerita kalau dirinya mendapatkan mimpi aneh. Mimpi yang menuju ke arah teror si lelaki berjaket hitam.
"Gue harus percaya sama Daren? Tapi bisa aja dia mengada-ngada, 'kan? Dia bikin ceritanya sendiri buat nakutin gue, secara kan gue emang parnoan." Alvaro mencoba untuk terus berfikir positif.
"Tapi kalau beneran, siapa tuh laki-laki? Mungkin nggak sih kalau itu emang roh Narel yang gentayangan, terus minta bantuan untuk mencari siapa pembunuhnya? Aduh, pusing banget gue mikirin masalah yang beginian. Gue butuh healing, makan angin sampai kembung." ujarnya lalu mengambil posisi duduk dengan kaki menjuntai ke bawah tempat tidur. Alvaro menggosok matanya lalu ia mengambil ponsel di atas meja tidur.
Dia membuka aplikasi WhatsApp lalu mencari grup Star Us yang beranggotakan mereka bertujuh. Iya, bertujuh. Nomor Narel dan Rafka tidak mereka kick dari grup karena ingin mengenang.
Di grup itu, Alvaro mengetik sesuatu untuk meluapkan isi hatinya.
Alvaro : "Ayok kita ngumpul di rumah biasanya. Gue pengap banget, pengen cari angin."
Nampaklah akan ada balasan dari pesannya itu karena Alvaro melihat jika Renan sedang mengetik.
Renan : "Maaf, Al, gue gak bisa. Lagi pusing, jadinya pengen istirahat di kamar aja."
Daren : "Nggak seru lo, Ren!"
Seno : "Udah, kita harus adil! Oh ya, Renan, kalau kami aja langsung berkunjung ke rumah lo, apa keberatan? Langsung mau jenguk lo juga."
Seno melerai keduanya dengan memberi saran.
Renan : Oke, datang aja. Pintu rumah gue selalu terbuka buat kalian semua."
Pesan terakhir dari Renan membuat mereka bernafas lega.
Alvaro bergegas mengenakan hoodie bergambarkan seekor kucing untuk melapisi T-shirt putih yang sedang dikenakannya, karena hawa angin malam jelas akan menusuk permukaan kulitnya yang terbuka. Alvaro keluar dari kamar, menuju ruang tamu.
"Bi, Al mau ke rumah temen!" Pekiknya kepada seorang pembantu di rumah itu. Alvaro mempunyai seorang pembantu di rumahnya. Walau hanya seorang pelajar yang hidup tanpa kedua orang tua, Alvaro tetap bisa memberikan upah kepada pembantunya dengan menggunakan uang saku yang selalu di transfer oleh ayahnya.
"Ini udah pukul delapan malam, Den," ucap Bibi pada si tuan rumah.
"Bentar aja, kok!"
"Ya udah, hati-hati ya, Den! Jangan ngebut di jalanan!"
Alvaro mendengar itu tidak menjawab dan langsung menuju motornya. Sebelum berangkat, Alvaro membuka satu bungkusan permen batang rasa vanilla itu dan mengulumnya. Dia menunggangi motor dengan kecepatan sedang, bukan karena Bibi memperingatinya, melainkan karena dia memang tidak suka ngebut-ngebutan di jalanan apalagi pada malam hari seperti ini. Ia takut jikalau akan terjadi apa-apa di tengah jalan.
Bukan hanya Alvaro, tetapi kelima temannya juga memiliki pikiran yang sama tentang berkendara, kecuali Kenzie. Ya, anak itu memang bandel dan suka sekali mendapat teguran. Bahkan, Kenzie juga sering mengajak Daren untuk balapan liar tetapi Daren selalu menolaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
Rastgele[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...