*****
Musim penghujan.
Salah satu musim dari sekian banyaknya musim lain yang aku suka. Cuaca yang dingin dan nyaman memberikan sejuta ketenangan untuk aku yang menggemari kesendirian.
Cuaca dimana harumnya tanah yang basah serta gemericik air yang khas menjadi satu-satunya teman di antara riuhnya manusia, dan cuaca dimana aku bisa merasa tenang di sepanjang harinya.
Meski memang hujan merupakan salah satu cuaca yang merepotkan, aku tetap menggemarinya.
Hari ini, hujan kembali turun membasahi bumi seperti kemarin. Tepat saat waktunya pulang dari kampus, jalanan yang penuh itu kini disiram oleh air hujan hingga membuat banyak orang meruntuk di kejauhan.
Aku terkekeh, merasa geli dengan manusia yang tak pernah bersyukur atas rahmat dari Tuhan yang diturunkan lewat air hujan. Padahal, tanpa hujan, bumi akan mengering dan pepohonan akan layu.
Dasar manusia.
***
Di antara hiruk pikuknya manusia yang tengah berjalan terburu-buru, aku terjebak di bawah halte bus selagi menunggu mobil Papa datang menjemputku.
Di usiaku yang tak lagi muda, aku masih manja pada Papa. Menggelikan memang, tapi aku menggemari kegiatan bersama dengan Papa.
Beliau menyenangkan untuk di ajak bertukar pikiran, meski kadang Papa menyebalkan, aku tetap senang bersama dengannya.
"Vey?" seseorang memanggilku dari jarak yang cukup jauh. Sambil memicingkan mata, aku melirik ke sana. Tepat pada sosok seseorang yang tampak tinggi dengan mantel menutupi seluruh tubuhnya yang terbasahi air hujan.
Aku terkekeh saat mendapati June Ashley memamerkan giginya yang rapi ketika ia sampai di tudung halte. Temanku yang keturunan China-Indonesia --atau yang kerap disebut Cindo, itu memiliki kulit putih yang bersih. Matanya sedikit sipit dan rambutnya tampak lurus meski kini itu terlihat berantakan karena teracak oleh mantel yang ia kenakan.
"Nunggu Papa?" ujarnya seolah sudah hafal kegiatan sehari-hariku.
Aku mengangguk seraya terkekeh. June Ashley, atau yang kerap aku panggil Jun membuka mantelnya lantas duduk di sebelahku. Rambutnya yang hanya sebahu dan berwarna hitam kecoklatan sedikit basah di bagian depan.
Perempuan yang tingginya menjulang disertai tubuh yang tampak semampai itu selalu saja tampak ceria ketika berada di hadapanku "Sudah ditelepon?" ujar Jun, mengingatkan aku untuk menghubungi Papa yang memang sedikit teledor ketika diminta untuk menjemput.
Aku terkekeh kecil guna menjawab pertanyaannya yang seolah tahu betul sifat Papa seperti apa."Sebentar lagi sampai. Pulang saja lebih dulu. Kamu tak harus menungguku. Kamu tahu itu kan?"
Dengan cengiran khasnya, Jun kembali mengenakan mantel lantas membungkuk di hadapanku bak seorang pangeran terhadap putrinya "See you in a bit, princess Fiona Vey"
"Shut up! Pegi sana!"
Jun tertawa lepas setelahnya. Perempuan cantik berambut pendek itu kemudian berlari kecil di antara gemericik hujan yang masih turun ke bumi.
Rumah Jun yang tidak terlalu jauh dari kampus membuat gadis itu lebih memilih untuk jalan kaki atau membawa sepeda ketika ia pergi berkuliah. Beda halnya dengan aku yang harus menunggu Papa berjam-jam lamanya ketika ingin pulang seperti sekarang.
"Shit!" cipratan besar dengan disertai umpatan datang secara bersamaan. Aku melirik ke arah samping, ada seorang perempuan tomboy yang tampak begitu manly dengan pakaiannya yang basah di sana-sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan (Short Story)
Short Story"Rembulan terlihat cantik jika dilihat denganmu" -Fiona Vey. "Tapi kamu lebih cantik daripada rembulan" -Aruna Miguel