Bukan Anak Haram 17

229 66 8
                                    


Tristan mengepalkan tangan, berkali-kali dia memukul tembok ruang kantornya dengan wajah putus asa. Ada penyesalan yang sangat dalam terhadap sang mama soal pertunangan yang akan segera dilangsungkan. Dia merasa tidak pernah diajak bicara soal itu oleh Mayang, tetapi tiba-tiba dirinya disuruh untuk setuju dengan ide tersebut.

"Apa lagi yang kamu cari, Tristan! Usia sudah matang dan kamu sudah bebas sekarang!"

"Ma, Tristan punya hak untuk menentukan bagaimana hidup Tristan selanjutnya. Beri ruang untuk Tristan memikirkan ini semua, Ma!"

"Kamu Mama perhatikan semenjak lepas dari Renjani, semakin tidak terkendali, bagaimana Mama bisa percaya kamu bisa menentukan pilihanmu!"

"Ma, ini terlalu cepat buat Tristan."

"Sudahlah! Lagian ini masih tunangan, jadi ada waktu bagi kamu atau Cilla untuk mengenal lebih dekat satu sama lain."

"Ma."

"Papamu sudah setuju. Cukup! Jangan protes apa pun soal ini. Semuanya demikian kebaikanmu!"

Pembicaraan antara dia dan sang mama kembali terngiang, dan lagi-lagi itu membuat Tristan semakin frustrasi.

Sementara dirinya kini sudah tidak lagi bisa menemui Renjani atas permintaannya. Dia pun tidak lagi bisa menelepon perempuan yangh hingga saat ini memenuhi semestanya tersebut.

Menatap kosong pada langit-langit ruangannya, Tristan teringat pada hadiah yang dia terima dari Renjani melalui Ria pagi tadi. Malas dia bangkit dan mengambil jam tangan yang pernah begitu dia idamkan kala itu. Sekarang semua itu tak lagi berarti karena keinginannya hanya satu yaitu melihat Renjani. Cuma itu.

"Sayang, kamu di mana sekarang? Ini semua membuat aku gila, Renjani," gumam Tristan sembari mengusap kasar wajahnya.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu di mana dan ke mana Renjani, saya hanya diminta untuk memberikan ini kepada Bapak." Ucapan Ria lagi-lagi terngiang. 

"Aku harus ketemu Dia! Nggak mungkin dia nggak tahu keberadaan Renjani saat ini!"

Seakan teringat sesuatu, Tristan bangkit, menatap  arloji, lalu menyambar kunci mobilnya dan bergegas keluar. 

"Axel pasti tahu, aku yakin!"

"Maaf, Pak Tristan, ini ada file yang harus ...."

"Letakkan saja di ruanganku!"

Doni hanya bisa menarik napas dalam-dalam saat lagi-lagi bosnya itu memberi perintah yang sama seperti hari sebelumnya.

Mobil sport putih meluncur cepat menuju kantor Axel, berharap mendapatkan informasi tentang Renjani. Perjalanan yang seharusnya ditempuh dengan waktu tiga puluh menit, menjadi hanya dua puluh menit kurang sedikit. Tristan tak lagi peduli dengan para karyawan yang menatapnya heran.

"Axel, aku yakin kamu tahu di mana Renjani! Katakan padaku di mana dia!" cecarnya saat sudah berada di ruangan sepupunya itu.

"Renjani? Aku nggak tahu. Terakhir dia ke sini waktu mengundurkan diri. Itu aja!"

"Bohong! Kamu pikir aku bodoh?" Tristan meradang.

"Aku tahu apa yang ada di kepalamu, Axel! Aku tahu kamu tahu keberadaan Renjani, kan?" Matanya berkilat memindai pria yang masih duduk di kursinya.

"Tristan, aku minta kamu duduk dulu. Ingat, apa pun yang kamu kerjakan akan menjadi sorotan. Ini perusahaanmu, dan kamu adalah pimpinan tertinggi kami, jadi tahan emosimu!"

"Katakan! Di mana Renjani!" ujarnya sembari duduk. Wajahnya terlihat tidak setegang tadi.

"Kamu minum dulu. Biar bagaimanapun, aku tahu kamu sangat lelah."

Bukan Anak Haram (Mau Update Cepat Bisa Langsung Ke KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang