Chapter 13

917 61 2
                                    


Setelah percakapan dengan Daniel, Rendy terdiam di atas tempat belajarnya, pikirannya tengah mengarah pada percakapan dirinya dan Daniel beberapa saat lalu.

Jari telunjuknya ia ketukan pada meja belajar dengan wajah tengah memikirkan sesuatu.
Sebenarnya Rendy tengah memikirkan keluarga Javier seperti apa, keluarga itu ... seperti mempunyai suatu rahasia.

Rendy berhenti mengetukkan jari telunjuknya seraya mendongak wajah ke atas dengan menghela nafas pertanda ia tengah pusing memikirkan hal tersebut. Masa lalu raga ini saja belum sepenuhnya terkuak di tambah dengan rahasia di balik keluarga ini.

Rendy kemudian menurunkan kepalanya dan melihat ada sebuah novel yang ada di samping meja, karena untuk menghilangkan beban pikiran ia akhirnya memutuskan untuk membaca novel tersebut.

Cukup lama dirinya membaca, sampai di halaman 145, Rendy menutup novel tersebut, bukan karena tidak seru melainkan kepalanya tiba-tiba pusing.

Tangannya memijat pelipis dengan mata terpejam.

"Sekarang pusing. Sial," umpat Rendy pelan.

Ceklek

Suara bukaan pintu terdengar menampilkan sosok lelaki yang lebih muda satu tahun dari dirinya, itu Mahen. Mengapa lelaki itu ada di sini?

Rendy menatap Mahen dengan datar, lelaki yang memasuki kamarnya itu berjalan mendekat.

"Ketuk pintu dulu," kata Rendy membuat Mahen cengengesan.

"Hehehehe maaf tadi aku seneng banget bisa ketemu sama bang Rendy," ucap Mahen membuat Rendy terdiam melihat wajah Mahen.

Sepertinya, Mahen ini berbeda dari Daniel yang bar-bar, dan petakilan, justru ini sebaliknya bahkan Mahen tampak seperti orang polos dan kalem.

Rendy menghela nafas lalu kembali bersuara.

"Kenapa kesini?"

"Ah iya, ayok kita main lego lagi, bang!" balas Mahen tersenyum manis.

Rendy mengerutkan keningnya heran mendengar balasan Mahen.

"Maksudnya?"

"Ih, dulukan kita sering main lego bareng, bang Rendy," kata Mahen.

Rendy terdiam lagi beberapa saat sebelum tangannya di tarik Mahen.

"Ayok, main," ucap Rendy berdiri dari tempat duduknya.

Akhirnya mereka bermain lego di lantai di temani beberapa camilan yang di bawa Mahen saat ingin mengambil lego yang ada di kamarnya.

***

Sedangkan di sisi lain, sepasang suami-istri tengah berdua di dapur lebih tepatnya sang suami yang membuntuti sang istri sendari tadi.

"Pa, mama lagi mau masak," ungkap Airi mulai menyalakan kompor.

Erland tiba-tiba memeluk dari belakang membuat Airi sempat tersentak sebelum menggeleng heran dan kembali melanjutkan acara masaknya.

"Kenapa ga pelayan aja?" tanya Erland. Dirinya juga bingung, kenapa istrinya ini selalu kekeh untuk membuat masak sendiri padahal ada banyak pelayan di mansion.

"Enakkan masakkan pelayan dari pada masakkan mama ya?"

"Bukan gitu, sayang, kamu kan jadi cape masak sendirian," kata Erland semakin memperat pelukannya.

Airi terkekeh pelan.
"Masak itu wajib di lakukan sang istri."

Tiba-tiba saja dagu Erland sudah ada di atas bahu Airi dan ia membisikan sesuatu.

"Dan istri wajib selalu melayani suami."

Tangan besar Erland mematikan kompor, dan kini ia menggendong tubuh Airi. Saat dirinya bertemu salah satu pelayan ia menyuruh pelayan tersebut melanjutkan masak di dapur, sedangkan ia dan Airi berjalan menuju kamar mereka berdua.

"Ih, papa," rengek Airi dalam gendongan.

"Anak mu mirip sekali dengan mu, Nikel," ungkap Erlin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap anaknya yang mirip sekali dengan suaminya.

"Tentu, sayang. Itu hasil olahraga kita untuk pertama kalinya saat itu," ujar Nikel mampu membuat Erlin merasakan pipinya merah merona.

"A-apaan sih." Erlin malah pergi meninggalkan Nikel yang terkekeh kecil.

***

"Jadi lo pasti enak kan?" pertanyaan itu terdengar di kuping telinga Rendy yang kini sedang duduk di bibir ranjang bersama Daniel.

Memang sehabis Mahen pergi karena mengantuk itupun tiba-tiba saja Daniel datang dengan wajah lesunya.

"Ga juga."

Daniel menatap Rendy dari samping.
"Kenapa enggak? Punya keluarga yang sayang sama lo, ga pernah ngerasain kesepian karena pasti ada orang yang terus nemenin lo," ucap Daniel membuat Rendy menoleh dengan pandangan datarnya.

"Rasa kesepian sesungguhnya itu di dalam hati bukan di lingkungan kita," jawab Rendy.

"Jangan cepat nilai kehidupan orang cuman dari depannya doang," lanjut Rendy yang kemudian berdiri untuk membereskan mainan yang tadi ia mainkan bersama Mahen.

***

Vote, follow, komen.

RENAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang