2

189 25 0
                                    

Siang hari ini di istana Altaric, semua sibuk pada kegiatannya masing-masing. Para pekerja istana yang berkutat ada kumpulan dokumen istana, para pembantu yang sibuk membersihkan seisi istana, para juru masak dengan kuali mereka, dan jajaran tinggi istana termasuk sang raja yang sedang rapat di aula istana.

Wendy sendiri sedang senggang. Selesai dengan urusan akademik, ia langsung bersiap-siap untuk kelas pertama pianonya. Sebenarnya sampai pagi ini ia tak mengetahui siapa gurunya, tetapi pelayan istana memberitahu ketika ia bertanya bahwa yang akan mengajarinya seni piano adalah Shaw.

Shaw. Pemuda yang ia jumpai di tangga istana kemarin malam, pemuda yang sekonyong-konyong menghentikan langkahnya, pemuda yang menyerahkan sebelah gelang kaki padanya, dan pemuda yang tulus memujinya.

Kedua sudut bibir Wendy perlahan terangkat begitu ia mengingat Shaw, namun sesaat kemudian ia tersadar. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan cepat seraya menepuk kedua pipinya pelan.

"Astaga! Kenapa tiba-tiba aku tersenyum memikirkannya?" cetus Wendy. "Tidak boleh, Wendy. Dia hanya bersikap sopan terhadap tuan rumah," lanjutnya seraya memandangi dirinya di cermin.

Setelan yang Wendy kenakan untuk menghadiri kelas cukup sederhana, tetapi masih terkesan anggun. Baju tanpa lengan kuning setara lutut terbalut pas di tubuhnya, juga perhiasan perak yang mengitari leher dan pergelangan tangan kirinya.

Sungguh rasanya ia teramat bersemangat untuk kelas piano itu. Bagaimana tidak? Meskipun sudah lama putus untuk mendalami teknik bermain piano, Wendy berharap latihannya kini akan menghasilkan hasil yang memuaskan sebelum kompetisi musik dimulai.

Perempuan itu bergegas menuju ruang musik yang berada di lantai dua untuk bertemu Shaw. Saat kakinya memijaki tangga-tangga, ia melihat Shaw duduk di bawah tangga bersama anak laki-laki. Wendy melihat Shaw mengusap surai si anak lembut lalu membaluti lututnya dengan secarik kain, terlihat pula kedua bahu sang anak bergetar seolah sedang menangis.

"Tidak perlu menangis lagi, lukamu sudah aku balut dengan kain." Samar-samar Wendy mendengar percakapan mereka. "Kamu akan segera sembuh, aku akan minta tabib memberi lukamu obat herbal."

Kepala anak laki-laki itu mengangguk. "Terima kasih," katanya lantas berdiri meninggalkan Shaw yang masih khawatir dengan langkahnya yang pincang.

Kepala Shaw menoleh lalu berdiri ketika mendengar derap kaki Wendy menuruni tangga.

"Ada apa?" tanya Wendy penasaran setelah mensejajarkan dirinya di hadapan Shaw.

"Aku melihatnya jatuh dari tangga. Kurasa dia tidak memperhatikan langkahnya, tapi aku sudah menahan lukanya dengan kain dan akan ku hubungi tabib setelah ini," jelas Shaw. "Beri aku waktu, Putri, aku akan segera menemuimu di ruang latihan setelah menemui tabib istana."

"Tidak perlu." Wendy tersenyum kecil kemudian menoleh pada penjaga istana. "Penjaga!"

Pria kekar yang membawa pedang dan sedang berpatroli segera membungkuk hampiri Wendy.

"Temui tabib dan minta dia untuk mengobati anak dari pengurus kuda istana, dia baru saja terluka. Bisa kau mengerti?"

"Mengerti, Putri. Saya akan melaksanakan perintah anda."

Tanpa berlama-lama lagi, penjaga istana berbalik arah dan berjalan untuk menemui tabib sesuai perintah Wendy.

"Kamu tidak perlu khawatir lagi sekarang," katanya melihat pada Shaw.

"Terima kasih, Putri." Pemuda itu membalas senyumannya. "Baiklah, ayo kita ke ruang latihan sekarang."

Wendy mengangguk singkat lalu mereka berjalan beriringan menuju sebuah ruangan yang berada di ujung dekat dengan balkon utama istana dan kamar Shaw.

Ruang latihan musik yang dimiliki istana Altaric begitu luas, sisi ruangannya ditaruh lemari-lemari besar dengan berbagai macam buku lagu dan perkembangan sejarah musik di istana Altaric kemudian di sisi lainnya dijejerkan hiasan antik nan mengilap. Piano cokelat kayu diletakkan tak jauh dari jendela besar yang menghadap ke taman istana, di tengah-tengah ruangan ada pijakan bundar kecil yang biasa digunakan penyanyi tatkala sang pianis memulai aksinya.

Wendy segera duduk di kursi piano, merasakan sensasi mendebarkan itu kembali. Maniknya tak bisa berhenti memandangi tuts-tuts piano di depannya, sesekali ia mengusap tuts tersebut dengan lembut bagai beritahu bahwa ia rindu menekan-nekan alat musik itu dengan piawai.

"Kenapa kamu hanya berdiri di sana?"

Shaw tersentak, matanya bertemu dengan milik Wendy yang memandanginya heran. Tubuhnya berdiri cukup jauh dari jangkauan Wendy, ia sendiri tak berani mendekat bagai ada sesuatu yang menahannya.

"Ada apa, Shaw?" tanya Wendy lagi. "Mendekat lah, ada beberapa tuts yang aku lupa."

Pemuda itu termangu. Mendadak keringat dingin hadir di pelipisnya, jantungnya berdetak kencang, dan tungkai jenjangnya ragu untuk mengambil satu langkah ke depan. Shaw melirik pada sinar mentereng matahari yang menembus masuk melalui jendela, begitu mencolok hingga buat dirinya ketakutan.

Melihat Shaw tak bergerak sedikitpun, Wendy menghampiri lalu menarik tangan si pemuda untuk mendekat ke sebelah kursi tempat ia duduk. Shaw masih terdiam, sinar matahari dengan berani menyengat lengan kirinya dan buat bagian itu terasa panas bagai terbakar.

"Menurutmu, sekarang pelajaranku harus dimulai dari mana?" Wendy bertanya seraya mendongakkan kepala ke arah Shaw.

Pemuda itu lagi-lagi tak mengindahkan perkataan Wendy, tubuhnya hanya diam kaku bagai dibelenggu rantai. Bibirnya bagai terjahit, pelipisnya sudah penuh oleh peluh yang hadir, dan badannya bergetar.

Melihat Shaw bergelagat aneh, Wendy mengernyit. "Ada apa, Shaw?"

"Ti-tidak ada apa-apa, Putri." Shaw terbata-bata berucap. "Tunjukkan padaku sa-sampai mana ingatanmu tentang tuts-tuts itu."

Wendy mengangguk kemudian mulai menekan tuts-tuts piano, meski kedengarannya masih sumbang tetapi ia berusaha keras mengingat pelajaran terakhir piano dengan guru sebelumnya.

Shaw lagi-lagi tak memerhatikan Wendy. Bola matanya sudah berair menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh, lalu ia melirik ke sisi kirinya.

Shaw membelalak, punggung tangan yang tak terhalang sehelai kain melepuh diterpa sinar matahari. Kepalanya menggeleng pelan seraya batinnya berkata ini tak boleh terjadi. Belum ada dua hari menjejaki istana ini, ia tak boleh menjadi satu-satunya alasan misi yang telah dibuat gagal begitu saja.

"Bergeraklah, Shaw!" batinnya menjerit. "Ada misi yang harus dijalani, ada janji yang harus ditepati, dan ada keadilan yang harus kamu dapatkan!"



- to be continued

Sacrifice | Jangkku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang