Bang Imron bangkit dari duduknya, sebelah tangan berkacak pinggang, sementara tangan lainnya memijat dahi yang berkerut.
"Okay, baiklah. Tolong maafkan aku, aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku. Leny, tolong jangan memperpanjang hal ini."
Kali ini lelaki itu berada di hadapanku, berlutut dengan tangan yang menyentuh indra perabaku. Aku langsung menarik diri dari jamahan tangan pendosa itu, tidak sudi bersentuhan dengannya.
"Tidak. Kau harus tetap dihukum atas perbuatanmu bersama dengan Pakde Danumu itu!" ujarku seraya mengacungkan jari telunjuk tepat di depan hidungnya.
"Leny, sekarang waktunya semakin larut. Pelankan suaramu, atau mentalmu akan lelah menghadapi masalah ini jika banyak orang yang tahu," perintah Paman Carito, suaranya seakan menggema di gendang telingaku.
"Tapi, Paman..."
"Tidak ada tapi-tapi. Bukannya Paman mau membela Imron, tapi menahan diri juga akan lebih baik. Jangan suka melebih-lebihkan permasalahan," potong Paman Carito. Bang Imron menganggukkan kepala, sedikit terkekeh mendengarnya.
"Dia mau menodaiku, Paman! Aku tidak percaya jika dia akan menepati janjinya. Tahukah, Paman? Dia sempat mengancamku untuk meneruskan aksinya di waktu mendatang jika aku berani mengadu!" pungkasku.
Baik Paman dan lelaki yang tidak tahu malu itu mengembuskan napas kasar, tak ada kelegaan yang terpancar di raut mereka.
"Lihat saja, kau akan mendapatkan hukumannya. Aku akan mengadukannya ke Pak RT!" ancamku dengan volume yang meninggi pada Bang Imron.
"Paman, aku sangat kecewa. Kau lebih tua, seharusnya kau bisa memberi keadilan dengan bijak. Apalagi korbannya adalah keponakanmu sendiri," cercaku.
Ada air mata yang mengucur dari sudut kelopak mata, aku merasa saat itu pilu begitu menyayat hati.
"Jangan keras kepala, Leny," ucap Paman, suara itu seketika menambah kadar api amarah di dalam diri.
"Pergi saja kalian! Pergi!"
"Tidak ada gunanya kalian di sini. Aku sama sekali tak mendapat keadilan sebagai korban."
Aku bangkit dari kursi kayu jati bermotif ukiran daun waru. Kemarahan membuatku mengusir mereka dengan paksa. Ini sama sekali tidak adil.
Apa kau setuju dengan apa yang kukatakan? Bukankah kau akan maklum atas kemarahanku pada mereka? Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku saat itu? Kumohon, jika kau tidak memiliki saran menenangkan apapun, jangan hakimi aku. Dengarkan saja curahan hatiku ini. Itu saja, sudah sangat cukup untukku.
Aku menangis tersedu sedan, tanganku mendorong mereka dengan kekuatan penuh menuju teras. Aku meledak dalam amarah, hingga menyebabkan mereka sedikit terpelanting.
Ada sedikit kepuasan ketika melihat Bang Imron tersungkur di tanah becek bekas genangan hujan. Namun, aku merasa bersalah ketika berlaku tidak sopan pada Paman Carito, bagaimanapun dia adalah adik ipar Mama. Sudahlah, aku tidak mau bertele-tele dengan ketidak-adilan itu.
Paman menanting tangan Bang Imron, menyaksikannya malah terasa semakin sesak dada ini. Aku ingin dia berkubang atau sekalian tenggelam di lubang penderitaan, sebagai karma atas apa yang dia perbuat.
Tetapi, jika karma memang benar ada, seharusnya orang-orang yang berlaku nyeleneh padaku sudah bernasib buruk. Ah, sial! Ini hanya perkara hari-hariku yang buruk.
"Mana keadilan untuk Leny, Tuhan?"
"Kapan episode bahagia akan muncul, Tuhan?" batinku, merasa tersiksa.
Brak!
Aku membanting pintu dengan kencang, tidak peduli pada kaca yang mungkin bisa retak dihantam kekesalanku.
Di antara pekatnya malam, aku menangis seorang diri. Suaraku lirih memanggil keluarga yang kurindukan, aku butuh peran penting mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
General FictionDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...