Rembulan tengah berpendar dengan pelangi dari cahaya yang mengitarinya, menjadikan ia primadona di antara rasi-rasi bintang.
Kepada riuh langit semesta yang begitu sunyi, aku ingin setidaknya saingilah gemuruh perasaan di poros hatiku. Sebab tak kukenal pasti apa nama perasaan itu, tetapi begitu hebat mengguncangkan sanubari.
Aku bermonolog dengan kalimat yang sama, sejak perbincangan dengan Kurma terputus, "Apa ini yang disebut-sebut sebagai cinta?"
Sebuah perasaan yang membingungkan, bahkan kata-kata mungkin terlalu sederhana untuk menyimpulkannya. Sesakral itukah, sehingga para pengidapnya tampak terlalu bodoh untuk mengutarakan arti?
Aku menatap waktu pada jam yang menempel di dinding kamar, ternyata sudah melampaui 21.00. Terlalu sungkan untuk kembali berkirim pesan kepada Kurma. Ponsel di genggaman pun akhirnya merelakan diri untuk ditancap kabel pengisi daya, yang berarti aku harus menunggu hari berganti untuk mengetahui apakah lelaki itu sudah mencermati pertanyaan terakhirku tadi.
Rasa maluku berharap Kurma belum menerima pesan itu. Berbeda dengan lubuk hati, terus berseteru untuk mengikuti hasrat, ingin meredam gejolak penasaran terkait jawaban lelaki itu.
Andai Kurma tahu ketertarikanku padanya, lalu kami saling mengikat perasaan, aku sesungguhnya bingung bagaimana menjalani hubungan jarak jauh. Memang seharusnya aku lebih merenungi fakta, tentang diriku yang buta cinta. Tetapi, siapa yang sangka bila cinta mampu hadir setergesa-gesa itu?
Sekali pun aku tak pernah menjalani hari-hari manis dengan seseorang yang menyatakan rasa padaku. Entah mengapa, dari sekian banyak teman yang kukenal, hanyalah aku yang menyandang status single.
Jika masa kini masih tersisa penyihir yang selalu menanyai cermin ajaibnya, "Siapakah wanita tercantik dan siapakah wanita paling jelek di muka bumi ini?" Aku yakin, namaku tidak akan pernah disebut.
Bila dicermati, wajahku terbilang manis khas perempuan Jawa, tak akan membuat lelaki malu bila bersanding bersamaku. Jika mereka takut untuk memadu kasih, mungkin hanya takut meminta izin kepada orangtua.
Memang, aku hanya ingin menyerahkan cinta kepada ia yang menebusku dengan mahar, dengan ijab, sebagaimana Bapak meminang Mama. Bila Kurma jatuh hati padaku, aku ingin setidaknya kami berta'aruf.
Ada betulnya mengikuti jejak-jejak wanita shalihah, di mana mereka terlihat begitu amatir, namun begitu ikhlas menjalani hubungan. Tentu saja mereka tak akan bermain-main dengan hubungan, sebagaimana hubungan antar orangtua dan anaknya.
Aku ingin selaras dengan pikiran wanita-wanita shalih itu, yang menganggap buta cinta lebih baik daripada menjadi penyandang cinta buta. Jatuh cinta memang bisa dirasakan oleh siapa saja dan tak tentu waktu. Semoga, aku tak akan terjebak oleh cinta yang menjatuhkan.
***
Pagi sudah menyapa melalui hawa-hawa dingin yang menembus kulit. Aku bangun karena adzan subuh yang sedang lantang berkumandang, alarm terbaik yang dimiliki setiap muslim.
Aku mengucek mata yang terlihat sedikit merah, masih sepat. Cahaya lampu yang menembus retina mata membuatku semakin menyipit karena silau. Aku melirik waktu, di jam dinding bulat berwarna merah jambu itu terpampang angka 04.25, pantaslah ayam jago sudah berisik.
Mereka sudah melakukan aktivitas harian yang disebut ritme sirkadian, di mana para jago mempunyai kebiasaan berkokok ketika pagi. Penelitinya bilang, itu untuk mempertahankan wilayahnya. Atau, mungkin hewan itu hanya menyaingi Cindelaras dalam legenda.
Lain dalam agama kita, pejantan yang berkokok adalah pertanda baik, sebab telah melihat malaikat-malaikat Allah yang turun ke bumi untuk mendoakan hamba dari Tuhannya yang bersimpuh dalam ibadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Ficción GeneralDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...