Sedamai Pyrenees, Sekacau Krakatau

54 19 10
                                    

Cakrawala di Hari Senin teramat cerah. Gumpalan awan jenis kumulus berderak pelan, seolah berpatroli di atas bumi. Tampaknya cuaca pun berpihak kepadaku, sebab ia melukiskan perasaan di hati.
Aku senang dengan pernyataan Kurma tadi malam, namun aku terlalu bingung meresponnya.

Jika langsung menerima lelaki itu, aku takut mengundang amarah Bapak. Fisikku sudah cukup kenyang menerima tamparan. Kadang aku berpikir, apa aku semenyebalkan itu hingga bapak tega?

Aku tak seperti anak gadis lainnya yang menuntut pulsa setiap kuota internet lenyap, apalagi mengemis skincare selayaknya anak gadis lain. Sungguh, aku selalu berusaha mengerti keadaan.

Kali ini, kebimbangan kubawa kepada Bang Samir. Mengharapkan saran dari abangku sepertinya tak buruk, sebab ia jauh lebih berpengalaman mengenai romansa kisah kasih.

Aku mengayunkan kaki menuju ruang tamu. Semerbak aroma kopi hitam pun telah mengitari. Dengan segenap rasa malu, aku duduk di sampingnya.

Tatapannya lurus, menembus ambang pintu rumah yang terbuka. Aku pun mengikuti pandangan Bang Samir. Tak ada apa pun, hanya sebatas pepohonan kelapa yang daunnya melambai. Sebuah pemandangan yang mengajak netra menjelajah lamunan.

"Bang," panggilku.

Tak ada sambutan dari mulutnya. Benar saja, ia pasti telah menelusuri lorong waktu dengan lamunannya. Raut wajahnya datar, namun sedikit tersirat lelah. Aku yang terlanjur mengumpulkan keberanian untuk seberkas nasihat, akhirnya mengguncang pundaknya. Ia menoleh dengan gerakan leher pelan, seluwes burung hantu memutar kepalanya. Tak ada keterkejutan yang khas dari wajah para pelamun.

"Apa? Minta uang jajan?" tanya Bang Samir.

Tanpa mendengar balasan dariku, ia merogoh saku celana pendeknya. Bang Samir menyodorkan selembar uang dua puluhan ribu kepadaku. Itu adalah pemandangan yang biasa ketika ia memiliki uang. Sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Mbak Susi, kakak perempuanku yang bekerja di luar negeri.

"Beli batagor nih," katanya seraya menyesap kopi.

Ia malah menyuruhku membeli jajajan asal Bandung yang pertama kali dibuat pada tahun 1975. Aku mengerucutkan bibir, menandakan lembaran uang itu bukan hal sebenarnya yang kuincar. Bang Samir pun memandangi ekspresi wajahku yang berbanding terbalik dari ekspektasinya.

"Tak mau uang?" tanyanya.

"Mau saran, Bang," jawabku seraya mengantongi uang pemberiannya.

"Saran?"

"Soal Dimas."

"Lalu?"

"Ada hal lain juga, Bang," imbuhku.

"Apa?"

Aku menghela napas lalu mengembuskannya pelan-pelan. Deretan tanda tanya singkat dari Bang Samir justru membuat niatku maju-mundur. Lidah rasanya mendadak kelu, sebab ini pertama kalinya aku hendak mengulas perasaan. Malu.

"Leny suka sama laki-laki, Bang!" kataku, berterus-terang.

"Normal."

Sangat singkat, terlalu padat, dan dikatakan salah pun tidak benar. Kupikir, ia pasti tak percaya bila aku menyukai seseorang, mengingat aku yang terlalu menarik diri dari laki-laki di dunia nyata.

"Leny sayang ke orang itu, Bang. Namanya Kurma," ungkapku. Bang Samir tersedak ketika telinganya tak percaya dengan kalimatku.

"Ke warung jika ada gerombolan lelaki di pos ronda saja kamu langsung kembali ke rumah."

"Dan ... Kurma? Itu betulan nama asli?" tanya Bang Samir. Aku pun menggeleng, menyesuaikan fakta bahwa nama itu hanyalah samaran.

"Menjalin cinta hanyalah buang-buang waktu jika main-main saja. Kamu boleh menjalin hubungan dengan ia yang mengajakmu menikah."

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang