"Jujur saja, wajah Leny ini sangat mirip dengan pacarnya Dimas."
Aku melongo dengan penuturan Om Samsul, begitu juga dengan Bapak. Kami saling menukar pandangan, tidak percaya dengan ungkapan lelaki yang katanya masih saudara dengan keluargaku.
"Omong-omong, nama keponakan saya adalah Dimas. Lengkapnya itu Dimas Syahputra."
"Kalau Dimas sampai tahu tentang Leny, saya yakin dia akan penasaran. Mungkin saja bisa menjadikan Leny ini nyonya di rumahnya."
"Dimas ini masih tujuh belas tahun. Tapi dia sangat kaya. Orangtuanya ada di Korea, punya showroom mobil di sana. Sedangkan di sini, beberapa usaha juga sedang diurus oleh Dimas."
"Kalau Leny mau tahu seperti apa orangnya, wajahnya itu sangat rupawan. Mirip artis. Bahkan dia sempat menjadi peran pengganti sinetron Duyung 2 Dunia."
Dia menghujani aku dan Bapak dengan ucapannya, tidak memberi kesempatan bagi kami untuk membalas satu persatu kalimat yang terlempar. Aku sedikit ilfeel.
Selang beberapa detik, ia menggapai gagang cangkir beling. Jakun di lehernya naik turun mengikuti gerakan peristaltik di kerongkongan. Bibirnya menciptakan suara ketika menyeruput segelas kopi yang masih sedikit mengepulkan uap.
"Paling hanya mirip sekilas saja, Sul. Tidak mungkin sampai sangat mirip," sahut Bapak, terdengar tak percaya.
"Masa, sih, kembar?" tanyaku, yang juga ragu dengan Om Samsul.
Pikiranku mengembara, berusaha menemukan potongan ingatan tentang tokoh pemeran sinetron yang disebutkan olehnya. Feelingku tertuju pada satu aktor muda yang wajahnya sering digadang-gadang mirip idol Korea.
Sangat konyol, jika memang dia orangnya, tidak mungkin rupa kekasihnya itu sepertiku. Wajah pas-pasan yang manis khas perempuan Jawa, tinggi yang hanya seratus lima puluh lima sentimeter, dan warna kulitku pun sawo matang, bukan putih susu dengan kilat kinclong.
Bukankah standar kecantikan di negeri ini adalah putih, hidung mancung, langsing, dan wangi?
Aku yakin jika orang setampan aktor itu, maka seleranya juga akan tinggi. Jika pun tak terlalu ayu, harta dunianya pasti melimpah ruah.
"Sungguh, Kang. Mereka ini kembar. Saya sendiri yang mengenalkan almarhumah Siska kepada Dimas."
Om Samsul terus menegaskan, kadang sampai berdecak kesal karena kami tidak juga kunjung percaya. Jika ceritanya bukanlah fiksi, rasanya ingin kuwariskan ke dalam novel karyaku selanjutnya. Atau, paling tidak kucurahkan kepada mereka yang dengan sukacita menyebut dirinya sebagai sahabatku. Setidaknya demikian.
"Almarhumah? Sudah meninggal, kah? Bagaimana kejadiannya?"
Aku sedikit tersentak, lantas memborong pertanyaan untuk mengobati rasa ingin tahuku.
"Sudah, sekitar setahun yang lalu. Pernah lihat berita di televisi tentang kecelakaan kereta yang saling bertabrakan?"
Om Samsul berbalik tanya, sedangkan Bapak kini memandangku, beliau berusaha menyelidik. Nihil, aku menggedikkan bahu tanda tidak tahu.
"Saya lupa-lupa ingat, Om. Yang mana, ya?" sahutku seraya menggaruk kepala yang sama sekali tidak terasa gatal.
Sedangkan Om Samsul, ia terdiam sejenak seraya menampilkan bola mata yang mengarah lurus ke atas.
"Hmm. Tahun 2016, ada kecelakaan kereta di dekat stasiun Bogor. Dia mau menjenguk Dimas yang saat itu lagi sakit. Na'asnya, malah dia kecelakaan," jawab Om Samsul.
"Lho? Tadi kan katanya sekitar setahun lalu, kok Om Samsul menyebutkannya di tahun 2016? Ini tahun 2019 lho, Om. Jarak waktunya sampai tiga tahun," celetukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Narrativa generaleDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...