Ting! Ting! Ting!
Penjual bubur ayam telah mengitari seisi Kampung Serayu. Ia menjajakan dagangan, tepat ketika aku dihinggapi demam. Bunyi mangkuk yang dipukul-pukul itu adalah nada khas untuk penjual keliling di sini.
Begitu berbunyi, calon pembeli berhamburan. Begitu pula dengan Mama yang sudah sigap meraih satu mangkuk dan lembaran uang tiga ribu rupiah.
Ia tergopoh membelah angin di pelataran rumah, tampak begitu takut ditinggal pedagang. Padahal tidak mungkin penjual bubur meninggalkan Ratu-Ratunya.
Pembeli adalah Raja memang julukan normalnya, tetapi aku pikir tidak salah jika menyebut pembeli adalah Ratu. Sebab gelar Raja hanya dipikul oleh lelaki, sedangkan Mama adalah wanita tulen yang gemar memakai daster atau dres model potong payung.
Demam ialah masa-masa yang begitu menyiksa, tetapi sekaligus kutunggu-tunggu. Sebab, Mama lebih melonjakkan perhatiannya padaku. Selain dimanjakan, aku juga boleh meminta apa pun yang kuinginkan. Setidaknya, itu adalah kebahagiaan sederhana seorang anak kecil sepertiku.
Sepertinya Mama sedikit berjuang dalam barisan antri, pasti ada beberapa orang yang ikut berburu makanan lembek tersebut. Maklum, itulah satu-satunya penjual bubur yang melewati komplek perumahan kami, di Jalan Manggar Glugu, Kampung Serayu. Apalagi hanya dengan tiga ribu rupiah, pembeli mendapat porsi yang cukup mengenyangkan untuk anak-anak seusiaku, yaitu lima tahunan.
Mataku yang berbinar kala sakit tiba, selalu berhasil mengubur rona-rona pucat di bibirku. Kupikir, jadi anak kecil memang ajaib, semua hal yang tak disukai orang dewasa justru menjadi kepingan hal yang menyenangkan.
Orang-orang dewasa tak suka berlarian karena melelahkan, membuat perut bak disarangi tusukan jarum. Anak-anak malah menjadikannya bahan perlombaan tanpa piala dengan kawannya. Luar biasa menyenangkan, bahkan sampai lupa waktu. Pulang hanya untuk minum dua gelas air, lalu bergegas berlari lagi menuju area bermain.
Tangkas, seperti keturunan Gatot Kaca, otot kawat dan bertulangkan besi. Tetapi, yang namanya manusia tetaplah manusia, apalagi anak kecil. Kita tetap memiliki batas meskipun punya angan yang melejit, tak bisa menjauhi ambang-ambang kebatasan. Mustahil selalu bugar.
Begitu juga diri ini, sekarang aku terkapar di atas kasur berbahan kapuk dari buah-buah randu yang mengering. Kesabaran tak sia-sia, Mamaku sudah kembali dengan semangkuk kecil berisi bubur ayam.
"Bapak di mana, Ma? Leny ingin disuapi Bapak," kataku.
Lirih, namun cempreng layaknya anak kecil pada umumnya, ucapanku dipenuhi permohonan.
Mama mengatupkan mulut rapat-rapat, walaupun sebelumnya ia sempat menyebut alfabet pertama ketika tangan kanannya melayangkan satu sendok bubur ke mulutku. Mama membisu.
Wanita tabah di samping ranjang itu terus terpaku. Matanya seolah menyimpan sejuta sendu, sedangkan aku terlalu buta untuk mengintip perasaan dalam lubuk hatinya.
"Mama, Bapak, Bang Samir, dan Mbak Susi kenapa tak kunjung pulang? Leny sangat kesepian, Leny takut di rumah sendirian."
"Kenapa Mama di sini? Bukannya Mama juga sedang merantau, ya?"
"Apa yang terjadi? Tadi kepalaku sangat pusing. Leny harus beli obat."
Aku tersentak dengan ucapanku sendiri, telah mendapati ingatan bahwa aku sudah dewasa. Namun yang kulihat adalah raga mungil yang akhir-akhir ini kurindukan. Sinyal-sinyal logika mengirim pasukan kesadaran, bahwa yang ada di depan netra adalah bunga tidur semata.
Kepalaku mendongak, namun begitu payah untuk kulakukan. Mama yang tadi mematung tetap pada posisinya. Aku menggapai ujung tangannya, dan entah bagaimana indera perabaku sama sekali tak mampu untuk menyentuh Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Fiksi UmumDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...