Rutinitas Hati

56 25 16
                                    

Kalimantan, paru-paru dunia yang mulai terkikis oleh ladang-ladang sawit. Aku masih tak menyangka bila keluarga akan pindah ke tempat di mana prasasti yupa ditemukan.

Meskipun di sana adalah tanah dari Kerajaan Kutai berdiri, namun aku masih enggan bila harus menetap. Yang kupikirkan adalah kisah kasihku bersama Dimas. Hubungan dengannya tak mungkin berjalan bila aku pindah ke Kalimantan, bukan? Jika bisa, pasti terasa sulit.

Aku bahkan belum memberitahu Bapak dan Bang Samir alasan Dimas tak datang di hari pertunangan kemarin. Aku berharap bahwa mereka akan membatalkan rencana gilanya itu setelah tahu aku akan melanjutkan hubungan dengan Dimas.

"Siapa itu?"

Bibi Sari menghampiri, tak kusangka pendengarannya masih awas menyelidik. Aku memang sempat bersuara ketika menuai pedih di pipi, tentu saja akibat dari tamparanku sendiri.

Saat mendapati keponakannya seperti orang linglung, ia langsung menyuruhku ikut berbincang di dalam rumahnya.
Aku tak menjawab, namun tetap mengekori langkah Bibi Sari. Ia menggeleng-gelengkan kepala, kemungkinan wanita itu berpikir bahwa aku masih sepolos anak kecil yang mencari bapaknya.

"Apa kita akan ikut pindah, Pak?"

Tanpa berbasa-basi, sebuah tanda tanya langsung kulempar kepada Bapak. Ia malah tertawa, membuat kebingungan menyeruak di dalam diri.

"Uang dari mana kalau kita ikut, Nak?" sahutnya, malah berbalik tanya. Alisku menaut dengan kelopak mata yang mengedip heran.

"Abangmu yang akan ikut bekerja. Kita di rumah saja," imbuhnya.

Kali ini, Bapak yang memasang ekspresi bingung karena aku begitu kencang mengembuskan napas kelegaan. Aku meringis, sebab raut wajahnya menular kepada wajah-wajah lain di ruangan itu.

"Kenapa, Len?" tanya Bang Samir.

"Leny akan melanjutkan hubungan dengan Dimas."

Tebak, menurutmu bagaimana ekspresi wajah mereka? Lihat saja, mereka saling melebarkan mata, seakan-akan tak takut korneanya menggelinding. Setelah itu kecemasan menjalar di dalam diriku. Bang Samir bangkit dari duduknya, wajahnya sarat akan emosi.

Aku paham, itu salah satu bentuk kepedulian seorang abang. Ia pastilah tak akan rela bila adiknya menjadi permainan belaka. Sebelum lelaki itu mencercaku dengan nada-nada kesalnya, aku buru-buru menambahkan penjelasan.

"Dimas di rumah sakit. Dimas tak datang karena dirawat di rumah sakit sejak dua hari sebelum hari pertunangan."

"Eyangnya tak mengizinkan dirinya memegang ponsel sampai kondisinya stabil."

"Itu penyakit bawaan sejak ia kecil. Kalau terlalu banyak pikiran, Dimas mimisan. Ia pingsan," jelasku bertubi-tubi.

Bang Samir duduk dengan tampilan slow motion, bak adegan di dalam film. Emosinya tampak mereda, mungkin ia menemukan secercah ilham dari penuturanku. Syukurlah, itu membuat hatiku lega.

"Lalu, mengapa eyangnya tak mengabari kita?" tanya Bang Samir, orang di sekelilingnya pun mengangguk setuju.

"Eyangnya mungkin saja sedang khawatir dengan kondisi Dimas, kan?"

Lontaran kalimatku berhasil membuat mereka bungkam, sebab dugaan itu juga terdengar masuk akal. Secara realistis, Bibi Sari menjejaliku nasihat untuk berhati-hati menjalani hubungan dengan Dimas. Memang, acara yang gagal itu telah menorehkan luka dan malu di relung hati. Namun aku tak suka kesia-siaan, saat itu kesabaranku masih cukup luas untuk memperbaiki hubungan.

Meskipun Bang Samir masih ragu atas keputusanku, tetapi tak mengapa. Aku akan menghapus keraguan itu. Suatu saat, ketika Dimas datang membawa pembuktian cinta.

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang