Setumpuk masalah dan segelintir kejadian yang sudah menimpaku, sama sekali tidak menyurutkan keinginan untuk beribadah. Seperti sekarang, aku tengah duduk di atas sajadah, masih menengadah seraya merapalkan harapan-harapan baik untuk aku dan orangtua.
Lubang telingaku menangkap bunyi berderit-derit. Apa lagi jika bukan suara getaran ponsel menerobos setiap ruang di rumah, mengusik kekhusukan doa yang tengah kupanjatkan ke langit-langit semesta. Seseorang sedari pagi memang rutin mengirimiku pesan, mungkin hatinya terlalu luas hanya demi mendapatkan satu balasan pesan dariku.
Tetapi, yang terpikir olehku adalah pesan dari Kurma. Ia pasti mengabari bahwa ia sudah menuntaskan kewajiban shalat dzuhurnya. Sebelum shalat, kami memang saling berkirim kabar.
Segala perbincangan meluncur lancar dengan topik-topik yang terdengar menarik. Kami saling bertukar izin mengakhiri obrolan ketika hendak shalat. Lucu, ini tampak seperti aku dengan lelaki asal Demak itu memiliki sebuah ikatan special.
Jika orang iseng tadi pagi meraih satu informasi yang menyatakan bahwa aku condong kasih kepada Kurma, mungkin ia akan berkoar-koar, "Sama rata, sama rasa!"
Ia pasti menginginkan aku berbuat adil dengan membalas SMSnya juga.Itu seperti Marco Kartodikromo, seorang penulis dan wartawan yang menumpahkan isi hatinya puluhan tahun silam. Meskipun berbeda kepentingan dengan orang yang mengaku sebagai Dimas. Sebuah pengibaratan yang konyol, memang, menyandingkan si cakar ayam dengan penulis mumpuni legendaris.
Entah apa isi kepala orang asing itu, mengapa ia begitu membesarkan hati demi sebuah balasan SMS dariku? Padahal, tabiatnya sudah kuperkirakan bahwa ia hanya ingin menipu. Tidak akan meleset, pikirku.
Setelah selesai shalat, aku melangkah melewati udara panas di dalam kamar untuk meraih ponsel yang sedari tadi bergetar. Di sana sama sekali tak ada sunyi, berbeda dengan keadaan real life, aku menjadi sebatang kara sampai Bapak dan Bang Samir kembali ke rumah ini. Mungkin dalam waktu seminggu, sebulan, atau entah kapan.
Deretan pesan telah mengendap cukup banyak di dalamnya, terutama dari grup kepenulisan yang kupimpin, dan dari grup pengurus Andwrite. Aku terkejut, tetapi begitu senang menerima kabar dari Seanja Wandara, ialah manager penerbit yang menaungi karyaku.
"Selamat siang. Kakak ada kabar baik untuk kamu, Leara. Novelmu sudah selesai proses cetak. Selamat, ya!"
Sejenak, pesan-pesan lain tidak kuhiraukan. Pesan dari Seanja Wandara begitu menyita perhatianku, sama halnya seperti sastra yang begitu memikat. Di bawah pesan itu, ia menyematkan beberapa foto novel pertamaku.
"Alhamdulillah. Terima kasih atas kabar baiknya, Kak. Leara senang sekali."
Tidak ada balasan lagi setelah itu, kemungkinan ia disibukkan dengan segala aktivitas. Fokusku pun masih tersita pada foto-foto novel hasil dari imajinasiku. Lantas, aku berbagi kabar baik itu dengan Kurma. Ia adalah orang yang pertama kuingat ketika hatiku dipenuhi bunga-bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Ficção GeralDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...