Sang fajar menyuguhkan kehangatan, ialah melalui sekotak jendela yang tirainya disibak oleh Monic. Ini sudah pukul 07.30, waktu yang tepat untuk memanen pasokan vitamin D.
Kami akhirnya memilih keluar dari ruangan, paling jauh hanya sampai di pelataran klinik. Padahal, di samping bangunan itu terhampar pemandangan sawah yang padinya sudah mulai kuning.
Monic memegangi botol infus yang tersisa separuh. Sementara aku, berdiri memandangi seekor monyet di bawah pohon mangga.
Badan hewan cerdas itu dilingkari ikatan yang terbuat dari besi berantai. Meski terlihat baik-baik saja, aku iba melihatnya. Pikiranku berkelana, membayangkan suatu masa ketika ia merindukan kawanannya.
Aku terheran, mengapa klinik ini memiliki hewan yang dijinakan begitu?
Terlebih, hewan jinakan itu adalah monyet. Tahukah kamu? Monyet adalah salah satu hewan primata yang bisa membawa parasit. Penyakit yang dibawa bernama zoonosis, tentu saja itu berbahaya.
Di hadapanku dan Monic, monyet itu memang tampak sehat. Tapi, jika mereka sudah mencakar apa lagi menggigit, sangat mungkin untuk menularkan penyakit. Aku jadi ketar ketir saat melihat anak kecil memberinya selembar keripik tempe.
Bukannya aku tak berperasaan ke hewan, hanya saja meminimalisir risiko menurutku jauh lebih baik. Kesehatan itu nomer satu. Setidaknya, itulah yang saat ini kupikirkan juga.
"Len, lucu kayak kamu!" ucap Monic.
Alis Monic terangkat sekejap, bola matanya mengarah kepada monyet. Sedikit kurang ajar, lantas ia melirikku seraya meringis dalam ejekan.
"Arigatou, watashi no tomodachi."
"Widiihh, sudah menyaingiku yang kuliah sastra Jepang, nih," canda Monic.
"Aku jadi teringat dengan monyetnya Mbok Yem."
"Siapa itu?"
"Pemilik warung di gunung Lawu. Barang dagangan di gunung lebih mahal. Pasti Mbok Yem cepat kaya, apa lagi Temon ahli mencuri. Hihihi!"
"Temon? Siapa itu?"
"Tuyul peliharaannya," jawab Monic.
Mendengarnya, alisku menaut heran.
"Tuyul?"
"Astaga, aku bercanda, Leny! maksudku si monyet. Hahaha!"
Monic terkikik geli ketika ingatannya menjelajah sampai ke jalur gunung di pulau Jawa.
Dialog tak tentu arah itu terasa amat cepat berlalu. Kami sudah kembali ke ruang rawat inap yang kuhuni. Dokter dan perawat kembali mengunjungi, memastikan keadaanku yang semakin tampak bugar.
Kantung mataku sudah tak terlalu kelabu, bibirku juga mulai merona. Bak kelopak mawar merah jambu yang mekar di pagi hari. Segar.
"Sarapannya dihabiskan, ya, Mbak Leny. Obatnya jangan lupa diminum," titah dokter.
"Kira-kira, kapan saya bisa pulang, ya, dok?" tanyaku setelah manggut-manggut.
"Sore nanti tampaknya sudah boleh pulang."
Dokter bernama Rindita itu tersenyum, tampak tulus dengan keramahannya.
"Cepat pulih, ya. Saya ke ruangan lain dulu," sambungnya.
Ia berlalu dengan langkah sigap seraya mengalungkan stetoskop ke lehernya. Seolah dokter itu penganut garis keras dari pepatah 'waktu adalah uang'.
Setelah kepergian dokter, Monic sigap menggapai wadah berisi nasi lembek dengan lauk telur rebus dan sayur bening bayam. Perempuan baik itu sabar menyuapiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
قصص عامةDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...