Bisik-Bisik Tetangga

332 213 74
                                    

Hilir angin menyibak lembaran jilbab yang sedang aku kenakan. Kepalaku terasa akan meledak akibat permasalahan yang disebabkan Bang Imron dan Pak Danu.

"Apakah aku cukup tahan banting sehingga Kau uji kesabaranku begitu berat, ya Tuhan?"

Batinku bersuara, sementara indra perabaku mengusap dada. Rasanya bak terhunus belati yang baru saja dicelupkan ke bara.

Manik cokelatku berkilau, genangannya sudah tak mampu lagi ditahan. Buliran kesedihan saat ini telah menyentuh bulu mataku yang lentik. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis tanpa suara.

"Makanya, kecil-kecil jangan sok kecentilan."

"Iya. Kata Bibimu, kamu menerima dua lelaki di malam hari."

"Ketahuan sama Paman sendiri malah jadi kesetanan, marah-marah seperti orang kerasukan."

"Dasar murahan!"

Mereka bersahutan, lontaran kalimat itu seakan menghadirkan secuil kekuatan untuk bangkit dan pergi dari neraka dunia itu. Untungnya, kemudian si penjual sayur menghentikan laju pembicaraan yang tak pantas untuk diterima oleh diriku.

Aku ingin berteriak, meraung atas kepedihan hidup ini. Tapi jiwaku terasa mati, tidak ada ekspresi yang tercipta. Aku tak bisa menguatkan diriku.

"Hus! Istighfar, Ibu-Ibu. Jangan menghakimi jika kita tidak tahu pasti bagaimana peristiwanya," ucap tukang sayur lantas menghampiri tempatku duduk dengan kepala yang menunduk.

Lelaki setengah abad itu mengulurkan tangan. Melihatnya melakukan hal terpuji malah membuat derai air mata semakin deras mengalir.

Mungkin aku terlihat sangat cengeng. Tetapi yang kurasakan saat itu adalah keharuan yang menyeruak, dia yang bukanlah siapa-siapa bagiku malah mengulurkan empati. Tidak seperti Bibi Sari yang hilang belas kasihnya karena diterkam kesalahpahaman.

Kenapa orang asing malah terkadang lebih peduli padaku? Apakah gelar keluarga, kerabat, dan sahabat tidaklah berarti apa-apa? Andai saja aku bisa memilih siapa saja yang menjadi keluarga, aku ingin orang-orang berempati tinggi seperti tukang sayur ini menjadi salah satu anggota keluarga.

"Sini, Nak. Biar saya bantu."

Aku mengelap pipiku yang basah, kemudian meraih uluran tangan Pak Sutejo. Raut wajahnya tampak kasihan.

"Terima kasih, Pak. Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah," kataku seraya memaksakan seulas senyum di bibir keringku.

"Tidak masalah. Pulanglah, tenangkan dirimu. Jika ada masalah, sebaiknya kamu ceritakan ke keluargamu. Jangan dipendam sendiri."

"Sebaik-baiknya orang lain, masih lebih baik keluargamu sendiri. Dan sejahat-jahatnya perlakuan orang lain padamu, ingatlah bahwa pertolongan Allah itu dekat. Sesungguhnya di dalam kesulitan itu akan ada kemudahan," kata Pak Sutejo. Nasihatnya menampar pikiranku.

Aku manggut, setuju dengan kata-katanya yang menenangkan. Sanubariku terasa damai meski hanya sebentar. Kali ini aku melirik segerombolan Ibu-Ibu yang bermulut jahat, aku ingin mengklarifikasi atas apa yang terjadi semalam.

"Jika kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, jangan sesekali mengeluarkan kalimat tidak pantas begitu. Anggapan kalian yang berpikir bahwa aku penggoda hidung belang adalah salah besar!" celetukku.

"Alah, mana ada maling yang mau ngaku, bukan? Benar apa tidak, Ibu-Ibu?"

Wanita bergincu merah cabai itu masih keras kepala. Beberapa di antaranya mengiyakan, sementara satu-dua orang diam tanpa sepatah kata. Namun sayang, yang lainnya masih ingin berseteru.

"Iya, betul itu! Kalau mau uang itu kerja yang halal dong. Jangan malah jadi wanita penghibur," seru salah satu wanita tua yang mengenakan daster bermotif batik.

Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang