Satu deham dari pita suara Monic berhasil memecah sunyi. Sementara aku, merasuk ke dalam arti tatapan sahabatku yang merambah di setiap sudut ruang. Tampak seolah ia begitu mempertimbangkan jawaban untuk sebuah pertanyaan klenik dari mulutku.
Itu laksana konduktor pemercik ketegangan di antara kami, dan rasanya ia akan meledak dalam amarah jika saja persahabatan ini baru seumur jagung tertumbuh.
Netranya menyiratkan kejenuhan, bak jutaan manusia menyerbunya dengan kalimat yang sama, tentang apa yang kutanyakan kepada Monic.
"Sejujurnya aku kesal sekesal-kesalnya kalau ada yang tanya begitu."
Monic menyangga wajah dengan kedua tangan yang sikunya ia biarkan bertengger di ranjang tempat rebahku. Bibirnya melengkung ke bawah.
Perempuan baik itu bermuram durja, namun wajahnya masih menampakkan ayu sebab dihiasi rambut yang elok bak sungai tinta. Lurus, panjang, hitam pekat, dan berkilau. Mirip bintang iklan sampo.
"Ke aku juga kesal?" tanyaku spontan.
Aku antusias menjadi rumah bagi dirinya untuk sebuah keluh kesah. Pertanyaanku kepadanya memang terdengar tak sepatutnya diutarakan. Mungkin dalam inti otak Monic menerka bahwa pertanyaan itu kurang ajar.
Aku tak keberatan jika ia betul-betul menganggapnya demikian. Tetapi, aku ingin kami sama-sama luwes menyuguhkan segala yang mengendap di perasaan. Kuharap kamu tahu apa maksudku. Tak lain adalah tentang kejujuran.
"Tanpa terkecuali. Untung kamu sahabat," tuturnya seraya mendengus.
"Jadi, apa jawabanmu?" tanyaku lagi.
"Begini saja, kalau muslim sepertimu kutanyai hal serupa, apa yang akan kamu jawab?"
"Lagi pula semua agama itu mengajarkan kebaikan, bukan?"
Monic berbalik tanya. Kini aku tersenyum di dalam kemantapan hati, namun kebingungan dalam menyampaikan. Mungkin Monic merasakan hal yang sama ketika dihunus pertanyaan serupa.
Manusia di penghujung zaman seperti hewan yang tersesat jika tanpa pengetahuan tentang mengapa dirinya sendiri dan semesta tercipta.
Tanpa tahu bagaimana pastinya asal-usul segala sesuatu yang telah ada, masing-masing hanya mengikuti nurani untuk memilih jalan mana yang menurutnya benar. Bukankah tak mudah berjalan di tengah kegelapan?
"Bagiku, agama yang kuyakini adalah benar. Murni, tanpa perombakan sejak diturunkan sampai sekarang. Memang benar bahwa agama mengajarkan kebaikan, tak melulu islam. Tetapi alquran turun sebagai penyempurna kitab yang lainnya."
"Orang-orang harusnya memilih apa yang kupilih. Sebab aku kasihan kepada mereka yang tak searah denganku dalam agama, bagiku mereka seperti hilang arah. Mereka butuh peta untuk memilih jalurnya, ialah alquran dalam islam," tuturku pelan.
"Bagiku pula, Leny. Kita semua tak ubahnya seperti domba-domba yang tersesat, aku pun kasihan padamu sebab kamu tidak seiman denganku. Kamu tahu? Bagi kami, hanya dengan mengakui Tuhankulah maka kita akan selamat."
"Apakah semudah itu untuk menggapai surga, Monic?" tanyaku kini.
"Lantas, apakah Tuhan sejahat itu membiarkan hamba-hambanya kesusahan hanya untuk berpulang kepada-Nya?" Monic berbalik tanya, ia melempar senyum.
"Aku tak akan mengikuti jalan lain, Leny. Aku tak akan mungkin meninggalkan Tuhan hanya demi seorang ciptaan."
Mendengar Monic, aku manggut-manggut karena mendapat satu inti dari percakapan. Benar kata alquran di dalam surat Al Kafirun ayat ke enam, "Untukmu agamamu, untukkulah agamaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Fiksi UmumDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...