"Mama harus pergi sekarang untuk merantau," kata Mamaku, raut wajahnya penuh dengan kesedihan.
Hubungan Mama dengan Bapak memang sedang kacau. Ini berawal dari Mama yang suka meminjam uang untuk membuat warung kecil-kecilan di kampung kami, Kampung Serayu. Bapak tidak setuju jika harus memulai usaha tetapi dengan modal yang didapat dari utang koperasi simpan pinjam.
Di usia yang sekarang, aku berpikir Bapak memang benar. Bunga yang sekian persen itu ternyata memberatkan Mama, sampai Mama harus kembali meminjam uang di tempat lain untuk membayar utang sebelumnya.
Gali lubang, kemudian menutup lubang. Warung bangkrut, utang pun menumpuk. Mama kian kesusahan, Bapak yang kecewa karena istrinya tidak menurut, akhirnya menjadi pisah rumah. Bapak tinggal di rumah adiknya di kabupaten seberang, mendengar Mama yang hendak pergi namun Bapak tidak juga memutuskan pulang untuk menemuiku.
"Ya sudah, Ma, semoga Mama berhasil, ya. Maafkan Leny karena tidak bisa bantu bekerja," sambungku.
Ijazahku memang masih ditahan oleh pihak sekolah karena belum lunas. Situasi saat itu sangat berat, karena berarti aku harus ditinggal seorang diri di rumah. Memang ada Abangku, namun dia mungkin akan menyusul Bapak juga. Itu membuatku menjadi gadis yang anti sosial, aku enggan bercengkrama dengan tetangga sekitar.
Sepele, jika aku bertegur sapa maka mereka akan melontarkan pertanyaan yang menyakitkan. Itulah sebabnya, berdiam di rumah akan lebih aku pilih daripada membual dengan tetangga yang bergosip. Sebuah kunci untuk hidup tenang.
Mama diantar oleh Bang Samir, dia kakak lelakiku yang tertua. Aku memang punya dua saudara. Satu di antaranya lelaki, dan satu kakak perempuan yang merantau ke luar negeri.
Semuanya sudah berumah tangga, jadi tidak ada yang bisa membantu ketika kesulitan menghampiri Mama dan Bapak. Bahkan tidak ada yang bisa melerai pertengkaran mereka.
Aku anak bungsu, pengangguran, dan belum bisa menghidupi diriku sendiri. Saat ini, aku memang menekuni kegiatan tulis-menulis di media sosial, tetapi belum bisa menghasilkan pundi rupiah. Di dunia literasi, orang mengenalku sebagai Leara Peribumi.
Aku ditinggal dengan beras yang hanya cukup untuk hampir satu bulan. Tidak banyak uang yang kupegang. Untungnya, hidup di kampung diberkahi dengan sayur-mayur yang gampang diperoleh. Aku tidak begitu pusing memikirkan bagaimana aku akan makan, karena di sekitar rumah sudah ditumbuhi bayam yang beberapa minggu aku telah menanamnya.
Dengan pikiran yang berkecamuk, sedih tiba-tiba menggelayut di dalam dada. Mataku berkaca ketika mencium tangan Mama. Sekuat tenaga, aku berusaha menahan air mata itu agar tidak tumpah dari bendungannya.
Bayang Mama semakin menjauh bersama suara motor bebek yang diboncenginya. Aku memasuki rumah, menuju kamar sederhana yang menurutku adalah tempat paling nyaman. Tempat yang menjadi saksi bisu ketika aku menangis karena masalah rumah tangga keluarga.
Buliran bening semakin deras melewati pipi, aku tidak menyekanya. Hanya bisa mematung dengan segala rasa. Bingung dengan keadaan ini. Marah karena tidak bisa membantu orangtuaku. Sedih karena hanya bisa menghadapi badai kehidupan, menunggu semua itu agar cepat berlalu.
Rasanya aku ingin gantung diri. Aku tak kuasa pada pilu yang semakin menjerat diri. Sesak terasa."Hal indah apa yang membuatku bisa menyanggupi untuk hidup?"
"Kapan badai hidup ini akan berlalu?"
"Di mana saudara dan teman-temanku? Kenapa mereka tidak bisa membantuku?"
"Andai saja aku tidak terlahir di dunia ini."
"Oh, aku juga tidak berani mati. Aku pengecut!"
"Aku tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan, namun aku terlalu takut untuk merasakan mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Bahagiaku, Tuhan? [Completed || TERBIT]
Fiction généraleDijodohkan oleh orang tua dan ODGJ yang dikira waras, Leara Peribumi terpaksa meninggalkan cita-citanya sebagai penulis. Setianya luar biasa, perjuangannya pun tidak sederhana. Ia sering menangis karena keputusan yang sudah terlanjur diambil, tapi j...