5. Perasaan tak berbalas

27 3 1
                                    

Jika segalanya berjalan sesuai keinginan, mungkin hidup akan terasa menyenangkan. Namun kenyataannya, semesta seakan mengajak bermain-main. Harapan yang tertanam di dalam hati, seringkali hanya berakhir menjadi  angan-angan tak berarti.

"Aku tidak mau menerima kalung ini," Perempuan Belanda bermata hijau dengan  pipi yang dipenuhi bintik-bintik coklat alaminya, melempar kalung berwarna putih dengan liontin bulan sabit seenaknya.

"Kenapa?"

"Aku tidak mau menerima barang dari pribumi menjijikan sepertimu,"

"Hanya karena itu kau menolakku?" Juan menatap tak percaya. Dugaannya selama ini terhadap perempuan itu salah besar. Ia menyesal sudah percaya bahwa dia berbeda dari orang Belanda lainnya. Namun ternyata sama saja.

"Kau tahu siapa keluargaku," ujarnya.

Juan menghela napas, "Sejak kapan kau tahu latarbelakangku?"

"Itu tidak penting. Yang pasti, aku mau berteman denganmu karena kau adik Sander. Kukira kau benar-benar keluarga Van de Groot, ternyata hanya seorang anak haram yang keluar dari rahim pribumi menjijikan,"

"HENTIKAN, ELLENA!" Kesabarannya habis sudah. Juan melangkah, mengambil kalung yang sempat Ellena buang dengan sembarang. Juan menggenggamnya dengan erat.

"Sekarang aku mengerti, lebih baik menjadi anak yang terlahir dari rahim seorang pribumi, daripada menjadi seseorang berdarah Netherland yang tak bisa menghargai orang lain. Berbuat seenaknya, merendahkan sesama manusia layaknya hewan—"

Juan maju satu langkah mengikis jarak di antara keduanya. "—Kau lebih menjijikannya dari seorang pribumi." desis Juan penuh penekanan.

Juan tak pernah sebenci itu mengingat di dalam tubuhnya mengalir darah  Netherland. Namun kali ini, bencinya semakin menjadi. Rasa benci itu kini sepenuhnya memenuhi hati. Jika waktu bisa diputar kembali, ia berharap, ibu tak bertemu papa. Ia berharap, ibu bertemu dengan sesama laki-laki pribumi. Juan tak peduli jika dia terlahir kembali menjadi seorang perempuan, atau terlahir cacat, Juan tak peduli. Yang terpenting, di dalam tubuh ini tak ada darah Eropa sedikitpun. Tak sudi bahwa darah itu bercampur, mengotori darah pribumi.

"Hei! Kenapa jadi melamun? Kamu marah? Ini, kukembalikan saja padamu. Sepertinya kamu tidak ikhlas memberikan kalung ini padaku,"

Juan tersadar. Ia beralih menatap Lana yang sudah menyodorkan kalung tadi. Pikirannya mencoba untuk fokus kembali pada saat ini, melupakan masa-masa yang sudah berlalu.

"E-eh? Tidak—Bukan seperti itu...." Juan menggelengkan kepala. "Kamu—Kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi, dengan satu syarat,"

"Syarat?" Lana mengernyit.

Juan pun mengangguk, "Kamu tidak boleh membuangnya,"

"Tapi tadi kamu membuangnya?" Lana bertanya polos. Telunjuknya terangkat ragu menunjuk Juan. Yang detik berikutnya ia turunkan kembali dengan sedikit kikuk.

Juan pun tersenyum, "Karena aku tidak suka dengan kalung itu. Tapi—" katanya menggantung. Mata itu melirik kalung yang ada digenggamannya. Kemudian beralih menatap Lana yang sama-sama menatapnya polos. "Tapi jika kalung ini dipakai olehmu, sepertinya aku akan kembali menyukainya. Mau aku pasangkan?" tawarnya masih tersenyum.

"Kamu bisa?"

Juan terkekeh lalu mengangguk. Detik berikutnya ia memajukan badan. Kini wajah mereka begitu dekat. Juan dengan hati-hati memasangkan kalung itu di leher Lana. Sedangkan gadis itu hanya bisa terdiam, posisi saat ini entah mengapa membuatnya sedikit gugup.

Selang beberapa detik, Juan pun kembali memundurkan badannya. Kembali ke tempat semula. Lana pun menunduk, senyumnya merekah melihat kalung indah tadi telah terpasang di lehernya.

NERIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang