12. Janji

27 2 0
                                    

Beberapa hari yang terasa menyebalkan, bagaimana tidak, hari-hari Juan selalu dibayang-bayangi kehadiran Ellena. Jika bukan gadis itu, giliran kakak tirinya yang menemuinya.

Belum lama ini Sander tiba-tiba mendatangi rumahnya. Tidak sampai masuk, bahkan untuk mengetuk pintu pun Sander enggan melakukannya. Ia berdiri di luar halaman rumah Darmastuti. Sehingga pekerja ayahnya yang selama ini membersihkan rumah Belandanya di Indonesia turun tangan.

Juan keluar rumah, ia berniat untuk pergi ke pantai, menemui Lana. Namun niatnya tersebut seketika diurungkannya. Berganti dengan perasaan kesal hanya dengan melihat wajah Sander muncul tak jauh dari pandangannya.

Laki-laki itu mendengus samar. Memalingkan muka sebelum membuka suara, "Mau apa kau ke sini?" tanyanya dengan bahasa Belanda. Karena tentu saja, Sander tak akan mengerti dengan bahasa Indonesia.

"Aku diminta Papa untuk menjemputmu. Kau sudah terlalu lama pergi, Papa tak mau jika kau lupa akan janjimu," jelasnya.

"Bukannya kau senang aku pergi dari rumah?" Juan menatap Sander.

Kini giliran Sander yang mendengus, "Kau benar, tapi aku tak sejalan dengan Papa. Kembali saja secepatnya, aku sudah muak mendengar Papa selalu membahas dirimu." Sander berkata ketus. Jelas sekali ia tak menyukai hal itu.

Juan menyeringai, "Bilang saja aku tidak akan kembali. Seharusnya kau memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dan lebih memahami apa mau Papa. Pada akhirnya kau akan jadi anak kesayangan Papa, seperti yang kau mau."

"Tak usah banyak bicara! Cepatlah berkemas, kita akan segera kembali ke Netherland!" Nada bicara Sander mulai meninggi.

Juan kembali memasang wajah datar. Dengan tegas ia mengatakan tak akan kembali, namun Sander seolah tak mengerti juga. "Aku tidak akan kembali."

"Tapi bagaimana dengan janjimu? Kau sudah berjanji pada Papa. Jika Papa tahu sikapmu sekarang, dia akan marah!"

"Itu urusanku. Kau tak usah ikut memikirkannya,"

"Tentu saja aku harus ikut ke dalamnya. Dengan sikapmu seperti ini, aku juga yang akan kena imbasnya! Aku yang akan terkena amarah Papa!" Sander semakin dibuat marah. Memang gampang sekali pria Belanda itu tersulut emosi.

"Itu urusanmu! Aku tetap tidak akan kembali!" Juan ikut meninggikan suaranya. Ia berbalik, melangkah menjauhi Sander. Sampai akhirnya ia menutup pintu dengan cukup kencang. Meninggalkan Sander yang tengah menahan amarah yang siap meledak.

Hari berikutnya Sander terus menemuinya. Berusaha membujuknya untuk kembali. Mengingatkan kembali akan janji-janjinya pada Diederik.

Sampai hari ini, siang tadi Sander menemuinya kembali. Kini kakak tirinya itu sudah bersikap lebih sabar. Ia seakan sadar, dengan melibatkan amarah yang meletup-letup, hanya akan membuat Juan semakin kuat dengan keputusannya, dan sampai kapanpun ia tidak akan mendapat hasil yang diinginkan.

Juan masih terpaku dengan perkataan Sander yang terus menghantui isi kepalanya.

"Jika kau tetap tidak mau kembali, dan melupakan semua janjimu pada Papa, itu sama saja kau seorang laki-laki pengecut. Kau tidak bisa memegang ucapanmu sendiri. Janji itu bukanlah sebuah hal kecil untuk dilupakan. Kau berkata asal hanya untuk mendapat izin Papa, tapi berbeda dengan sudut pandang Papa. Dia benar-benar memegang kata-katamu. Ingat itu, Juan."

Juan tertegun menatap Sander, pertama kalinya kakak tirinya itu menyebut nama aslinya. Alih-alih memanggil dengan nama khas Eropanya seperti biasa, ia malah memanggilnya dengan nama yang selama ini sangat Sander benci.

Juan menghela napas kasar, sungguh ia pun tak tahu harus bagaimana. Janjinya bukan hanya pada Papa saja, melainkan pada Lana juga. Sebenarnya ia tak memberi janji itu, namun tetap saja, Juan telah berbicara pada Lana untuk membantunya. Juan tak mau di cap laki-laki pengecut karena berani memberi janji tapi seakan tak peduli untuk melaksanakannya.

NERIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang