11. Sebuah Pilihan

22 3 0
                                    

Setelah perbincangannya dengan Juan tempo hari, laki-laki itu tak memanggilnya seperti biasa, bahkan kehadirannya di pantai itu sama sekali tak terlihat.

Berkali-kali Lana berenang ke daratan untuk mencari sosok Juan, namun selalu berakhir kekecewaan. Tak biasanya, bahkan wanita paruh baya yang biasa Lana lihat bersama Juan—hanya untuk memasang atau melepas jaring untuk menangkap ikan, sama halnya tak terlihat.

Kemana mereka? Lana hanya bisa bertanya-tanya pada diri sendiri. Berbagai dugaan muncul di kepala, salah satunya, Apa Juan telah berbohong padaku? Atau jangan-jangan Juan celaka karena ingin membantuku bertemu ibu? —Lana menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak mau berpikiran yang tidak-tidak menyangkut keselamatan Juan.

Aku harap kamu baik-baik saja.

Pada akhirnya Lana memutuskan untuk tidak berenang ke daratan. Ia merasa sudah tak seasik dulu. Jika biasanya Lana berenang ke darat hanya untuk melihat para nelayan atau orang-orang yang berlalu-lalang melewati kawasan pantai setiap pagi. Dengan melihat kehidupan manusia seperti itu, cukup mengobati rasa rindunya pada orang-orang yang sering ia temui bahkan bercanda ria kala dirinya masih menjadi manusia.

Kini, rasa penasaran itu sudah lenyap. Berenang ke daratan hanya membuat hatinya ngilu, mengingat sosok laki-laki yang belum lama ini menjadi penawar rasa sepi. Berhasil mendobrak kegelapan, lantas membawanya pergi dari ruang sempit dan sunyi.

Namun beberapa hari ini Lana seakan kembali tersedot ke ruangan gelap yang terasa sempit itu. Rasanya sudah lama Lana tak merasakan kesepian seperti ini lagi. Untungnya Lana sudah terbiasa menghadapi rasa sepi yang seolah-olah menggerogoti hatinya dari waktu ke waktu. Lana cepat beradaptasi. Namun kali ini rasanya sedikit berbeda. Tentu saja karena sesosok pria peranakan Belanda yang belum lama ini mengisi kekosongan hatinya.

Lana berenang tak tentu arah. Sesekali ia membantu beberapa ikan yang terjebak di himpitan terumbu karang. Kura-kura yang terlilit oleh jaring-jaring bekas penangkapan ikan sampai mengarahkan segerombolan ikan tuna agar menjauh dari kapal nelayan.

Semakin lama, Lana merasa bosan juga. Seakan ada tarikan yang menyuruhnya untuk terus berenang sampai dasar. Akhirnya Lana memutuskan mengikuti kata hatinya itu. Semakin dalam, keadaan laut semakin gelap. Ikan-ikan indah itu berganti dengan ikan-ikan berukuran besar yang tampak lebih menyeramkan. Bentuk ikan-ikan itu terlihat aneh, sangat jauh berbeda dengan ikan-ikan yang biasa Lana temui.

Anehnya, Lana tak merasa takut sedikitpun. Ia justru semakin semangat menembus gelapnya laut dalam.

Sampailah ia di atas sebuah pasir, yang Lana rasa itu adalah akhir dari petualangannya. Sebetulnya Lana sadar jika posisinya saat ini bukanlah akhir dari dalamnya lautan. Namun Lana memutuskan berhenti. Terlalu jauh dirinya berenang, ia tak mau sesuatu terjadi padanya yang bisa saja mengancam keselamatannya sendiri.

Setelah cukup puas bermain dan mencari tahu, Lana memutuskan untuk kembali ke atas. Namun pandangannya teralihkan pada sebuah kuas kayu berukir yang terlihat sedikit menyembul dari balutan pasir.

Lana mengernyit sejenak, benda itu terasa tidak asing baginya. Lantas ia mendekat, lalu tangannya terulur untuk mengambil kuas tersebut. Mengusapnya untuk membersihkannya dari sisa-sisa pasir dan lumut yang mulai tumbuh.

Seiring dengan sentuhannya pada kuas tersebut, kepala Lana tiba-tiba terasa pusing. Lana memegang kepalanya, matanya mengerjap beberapa kali. Namun semakin lama kepalanya malah semakin berat, telinganya berdenging lalu— diam. Lana tak mendengar apapun, ia seakan kehilangan indera pendengarannya. Matanya kini terpejam sempurna namun kesadarannya masih terjaga.

Detik itu juga seakan ada mesin proyektor yang menampilkan adegan demi adegan di dalam kepalanya. Lana seolah-olah tertarik ke dalam adegan tersebut. Namun di dalam sana Lana hanya berdiri di sisi lain, melihat dirinya yang tengah di permalukan dan berakhir tersiksa.

NERIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang