2. Hindia Belanda

34 7 1
                                    

Seorang laki-laki berusia 22 tahun masih setia terduduk tegap sembari menatap pria dihadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang laki-laki berusia 22 tahun masih setia terduduk tegap sembari menatap pria dihadapannya. Sesekali ia mengepalkan tangan untuk meredam amarah yang bisa saja meledak tiba-tiba.

"Aku tetap mau pulang," tegasnya dengan bahasa Belanda.

"Kamu memang sudah pulang. Ini adalah rumahmu," jawab papa-pria berkumis cukup tebal itu menatap anaknya.

"Ini bukan rumahku. Ini rumah Papa," Dirinya tak mau kalah. Jika saja ia masih anak-anak, ia akan sedikit merengek pada papa agar keinginannya dituruti. Namun itu tak lagi berlaku untuknya yang sudah menginjak dewasa.

"Aku akan tetap pulang. Aku ingin bertemu Ibu."

Papa hanya menghela napas. Sebisa mungkin amarahnya ia tahan. Mendengar kata 'ibu' keluar dari mulut sang anak, membuat kadar amarahnya meningkat.

Laki-laki itu beranjak, mengambil sepucuk surat di atas lemari kayu setinggi pinggangnya. "Papa tak membaca isi surat ini? Hindia Belanda berbahaya, Ibu akan celaka jika hidup sendiri!" Suaranya sedikit meninggi. Ia benar-benar sudah muak dengan papanya yang selalu mengekang. Melarang dirinya untuk berhubungan dengan sang ibu.

Beberapa jam yang lalu sebuah pos berisi surat dengan alamat pengirim tertulis, Batavia, Hindia Belanda-sampai di rumah keluarga Van de Groot. Kebetulan, saat itu ia tengah menyirami tanaman di halaman rumahnya. Laki-laki itu begitu girang saat mengetahui siapa pengirim surat tersebut. Tapi saat selesai membaca isi suratnya, seketika hatinya tak tenang. Tentara-tentara berkulit putih itu semakin semena-mena pada pribumi di sana. Ia begitu cemas, takut jika ibu dilukai juga.

Walau dibait akhir ibu menulis kalimat penenang bahwa ia akan baik-baik saja, namun tetap, dirinya merasa cemas. Mengingat ibu hanya tinggal sendiri di sebuah gubuk anyaman bambu. Tak ada pelindung, hanya seorang diri yang sembunyi sembari memeluk rindu.

Tulisan tangan ibu yang lebih mirip seperti kaki ayam itu tak lepas akan pesan di dalamnya. Maklum, ibu baru belajar mengenal huruf, membaca dan menulis saat dirinya memasuki usia 30-an. Saat pada akhirnya Indonesia mulai membangun sekolah-sekolah khusus perempuan. Ajaibnya, tulisan itu seakan mentransfer berbagai perasaan ibu padanya.

"Kamu tahu di sana berbahaya, tapi kenapa selalu memaksa ingin pergi?! Itu sama berbahayanya untukmu!"

"Aku tidak akan celaka! Jika aku terlahir sebagai pribumi tulen barulah aku akan celaka!" Ia menarik napas sejenak. "Aku pikir, jauh lebih baik untuk menjadi pribumi saja. Jadi aku bisa dekat dengan Ibu. Daripada seperti sekarang, aku menderita."

"RUDOLF!"

"JANGAN SEBUT NAMA ITU! NAMAKU JUAN!"

Diederik van de Groot-pria berkumis tebal itu ikut beranjak. Melangkah lebar mendekati Juan lalu dengan cepat ia menamparnya keras.

Juan hanya diam. Hal biasa yang sering ia dapatkan ketika mencoba membangkang perkataan papa. Ya, ini bukanlah kali pertama laki-laki itu melawan papa. Saat itu ia juga pernah berbicara ingin pergi ke Hindia Belanda atau nama lainnya Indonesia. Tapi papa malah membentaknya dengan keras.

NERIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang