Darmastuti, 1925
Beberapa jam yang lalu..
Darmastuti, sibuk merapikan kebaya dan kain jarik yang setia menempel di tubuhnya setiap hari. Sehabis mendandani anak laki-laki kedua dari Tuan Augustijn yang berusia 6 bulan, Darmastuti melanjutkan membersihkan seisi rumah bergaya Belanda tersebut.
Keluarga Augustijn merupakan keluarga yang cukup sibuk. Penghuni rumah itu jarang sekali berada di rumah. Augustijn yang bekerja di perkantoran Belanda, dan sang istri yang merupakan wanita sosialita yang sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sesama orang Eropanya. Itulah yang menjadi alasan mengapa Darmastuti tak seperti pembantu lain. Jika sesamanya bisa pulang malam atau sampai tinggal di rumah Belanda, Darmastuti hanya cukup bekerja sampai hari mulai terik atau sekitar pukul satu sampai dua siang.
Sebenarnya Darmastuti hanya bertugas membersihkan rumah saja. Namun jika Laurence—istri Augustijn tengah bersiap-siap atau mengurus sang suami. Maka anaknya diambil alih oleh Darmastuti.
Dan hari ini keluarga Eropa tersebut sudah berlalu meninggalkan rumah beberapa menit yang lalu. Darmastuti bersama tukang kebun di rumah tersebut telah diberi kepercayaan oleh keluarga Augustijn. Dan kini ia selesai membersihkan rumah lalu berniat untuk pulang. Sampai suara pintu terbuka membuatnya mengernyit bertanya-tanya. Siapa itu? Nyonya Laurence? Apa beliau tak jadi pergi bersama teman-temannya? —Darmastuti berdialog di dalam hati.
Namun saat wanita ringkih itu berjalan memeriksa, ternyata itu adalah Augustijn. Darmastuti sedikit terhenyak saat tahu siapa yang sekarang tengah duduk di ruang tamu.
Wanita itu bergegas berjalan mendekati, meminta izin untuk pulang. Terduduk sembari menunduk, "Tuan, saya meminta izin. Pekerjaan rumah sudah selesai,"
Darmastuti bergeming dengan posisi yang tak berubah. Pria Eropa itu tak mengeluarkan suara sedikitpun. Darmastuti tak berani mengangkat kepala apalagi beranjak lalu bergegas pergi tanpa adanya persetujuan Tuan Augustijn.
"Kamu belum selesai,"
"Maaf? M-maksud Tuan?" Darmastuti masih menunduk yang kini sudah meremas ujung kebayanya.
Darmastuti merasakan pria itu mendekat. Lalu ia menyentuh dagunya, sampai akhirnya Darmastuti bisa melihat wajah Augustijn yang berkumis cukup tebal itu. Darmastuti membuang muka, berusaha menjauh dari Tuannya.
"M-maaf Tuan, apa saya melakukan kesalahan?" ujarnya bergetar.
"Ya,"
Darmastuti sontak mengangkat kepalanya kembali. Harap-harap cemas menunggu kalimat selanjutnya. "Ke-kesalahan apa yang ss-sudah saya perbuat, Tuan?"
"Kamu tidak melayaniku,"
DEG
Darmastuti membulatkan mata. Jantungnya berdesir, memompa lebih cepat dari biasanya. Rasa takut segera menjalar memenuhi diri. Namun wanita itu masih mencoba berpikir positif. Selama ini Tuan Augustijn cukup baik padanya. Tak melakukan hal-hal aneh padanya, bahkan menyentuhnya pun tidak pernah.
"M-maaf—"
"Layani saya, Nyai." Augustijn mendekat.
Jelas sudah apa yang diinginkan Tuannya itu. Darmastuti tak memikirkan apa itu tatakrama. Ia beranjak, melangkah cepat meninggalkan Augustijn. Namun sialnya, pria Eropa itu cukup cepat untuk meraih tangan Darmastuti. Darmastuti terpojok, air mata sudah membanjiri pipi. Rasa trauma kembali hadir menguasai diri.
Tangannya bergetar. Kepalanya otomatis memutar adegan demi adegan beberapa tahun silam yang menjadi penyebab rasa trauma.
"Tidak! Saya bukan Nyai! Saya tidak akan mengkhianati Nyonya Laurence demi Anda!" Darmastuti memekik panik.

KAMU SEDANG MEMBACA
NERIDA
Fantasi[Hasil mikir sendiri🦀] "𝑨𝒏𝒅𝒂𝒊 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒌𝒊𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊. 𝑴𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒌𝒖 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒖 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊. 𝑺𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒍 𝒍𝒂𝒈𝒊, 𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒂...