10. Tentang Masa Lalu

23 2 0
                                    

Flashback, 𝟏𝟗𝟐𝟎.

Seorang gadis tengah sibuk celingak-celinguk memperhatikan sekitar diambang pintu kayu yang di beberapa titik terlihat telah termakan rayap.

Rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu itu dihuni oleh tiga orang. Bapak, Ibu, dan Lana.

Lana sudah memakai dress berwarna putih polos sebawah lutut. Dress itu sebenarnya hadiah dari Bapak pada hari ulang tahunnya yang ke-16 di tahun lalu. Harga baju itu memang tak begitu mahal. Bapak membelinya dari pasar dengan uang pas-pasan. Namun yang membuat mahal dan begitu spesial bagi Lana adalah karena perjuangan dibaliknya. Dibeli dengan hasil keringat seorang bapak untuk anaknya. Sampai kini baju itu menjadi baju kesayangan Lana. Walau Ibu hanya membolehkan memakai baju itu di hari-hari tertentu saja. Untuk sehari-hari Lana selalu memakai kebaya dengan kain selutut.

Lana mengendap-ngendap keluar rumah. Memperhatikan sekitar, takut jika Ibu ataupun Bapak tiba-tiba muncul dan memergokinya.


Merasa sudah aman, ia melepas sandal jepit yang terlihat mulai lusuh itu, yang kemudian ia tenteng. Berjalan berjinjit namun cepat, takut jika langkahnya menimbulkan suara. Padahal disekitarnya cukup sepi.

"Semoga tidak papasan sama Ibu atau Bapak," gumamnya masih menenteng sandal. Tangan yang satunya ia gunakan untuk sedikit mengangkat dress yang dikenakannya.

Lana memang tak meminta izin pada orang tuanya. Jika gadis itu meminta izin, yang ada dia hanya akan mendapat omelan ibu.

"Maafkan Lana, Pak, Bu."

Lana berjalan lebih cepat lagi karena biasanya petang menjelang malam seperti ini Ibu sudah diperjalanan pulang. Ibunya biasa bekerja di beberapa rumah tetangga yang status sosialnya cukup terpandang di Desa. Seperti mengerjakan pekerjaan rumah. Dari satu rumah ke rumah yang lain, Ibu biasa menerima tawaran untuk mencuci baju dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Bapak, beliau bekerja menjadi tukang kebun sekaligus kepercayaan di sebuah rumah Tuan Belanda yang cukup memiliki status penting di Desa. Tanahnya tersebar di seluruh Desa. Beliau juga dikenal karena kebaikannya. Salah satunya ia bersedia membayar uang pendidikan Lana.

Ya, satu tahun yang lalu Lana masuk sekolah. Tak seperti sekolah di Nusantara lainnya yang dipenuhi gadis pribumi, Lana masuk di sekolah yang siswanya dipenuhi gadis keturunan Eropa. Jangan ditanya jika Lana nyaman atau tidak mengemban ilmu di sekolah tersebut. Bagi Lana, nyaman atau tidaknya, bukanlah hal penting. Yang pasti ia menjalani itu semua sedikitnya  karena terpaksa—melihat kedua orang tuanya yang telah bekerja keras untuk memberikan yang terbaik untuknya.

Dirinya sempat menolak, Lana pikir tak apa tak mengemban ilmu, toh, teman-teman sesamanya pun masih banyak yang tidak bersekolah. Namun jika bapak dan ibunya tetap memaksa untuk mengenyam pendidikan, setidaknya Lana bersedia bersekolah di tempat sederhana yang di dalamnya hanya terdapat perempuan-perempuan pribumi dengan status sosial setara dengannya saja. Bukan seperti ini, ia terpaksa harus berbaur dengan orang-orang berstatus sosial tinggi di Desa, sekaligus anak-anak Tuan Belanda.

Namun Bapak menggeleng. Justru ini kesempatan emas untuknya agar bisa mengemban pendidikan satu langkah lebih maju. Gadis itu bisa belajar bahasa asing sekaligus. Itu sangat bagus untuk masa depannya kelak. Lagipula, sekolah pribumi memiliki jarak yang cukup jauh dari rumahnya. Berbahaya, Bapak tak mau mengambil resiko. Bisa saja diperjalanan anak gadisnya itu celaka, contohnya diculik serdadu Belanda. Tidak! Bapak tidak mau hal itu terjadi.

Apa boleh buat, Lana hanya bisa menurut.

Ini pula salah satu alasan mengapa Lana tak meminta izin pada orang tuanya. Kedua orang tua Lana sudah mewanti-wanti, walaupun anak gadisnya bersekolah di tempat yang sama, namun jangan sampai ikut campur dengan urusan mereka. Berteman boleh, tapi harus tahu batas. Lana hanyalah orang kecil sangat berbeda dengan orang-orang tinggi itu.

NERIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang