"Aku akan tetap terjaga," Julian menjawab, dan tetap memberikan kantung tidur miliknya untuk digunakan oleh Lucia, "kita tidak tahu apa bahaya yang mendiami hutan ini, jadi akan lebih berbahaya jika tidak ada yang berjaga," lanjutnya.
Julian menatap santai kepada Lucia yang masih diam, tampak takut serta cemas untuk menerima serta memakai kantung tidur tersebut dan beristirahat, "aku berani bersumpah tidak akan berbuat hal-hal yang kau cemaskan di dalam pikiranmu," ucapnya, menerka-nerka apa yang membuat perempuan itu tampak gelisah.
Sepasang iris mata indah berwarna biru muda itu kemudian menatap kepada Julian, tepatnya menatap ke arah kedua iris mata hitam pekat milik laki-laki itu. Tidak terlihat adanya tanda-tanda atau gerak-gerik yang menunjukkan bahwa laki-laki itu sedang berbohong atau berdusta atas kata-katanya.
Hatinya tergerak, dan gadis berambut perak itu perlahan menerima kantung tidur yang diberikan oleh Julian untuk digunakannya malam ini, "terima kasih," ucapnya kemudian setelah menerima benda yang mirip selimut dan menghangatkan.
Tidak jauh-jauh dari posisinya berada, Lucia mencoba untuk tidur dengan tubuh terselimuti oleh kantung tidur milik Julian. Udara malam sangatlah dingin, dan akhirnya kini Lucia dapat merasa hangat, tubuhnya terasa nyaman seperti di dalam selimut, namun tidak mudah membuat kedua iris matanya terpejam. Kehangatan tersebut tiba-tiba malah membuat hatinya terasa sesak, dan rasanya ingin menangis. Secara tidak langsung Lucia teringat bagaimana nyamannya kehidupan istananya yang saat ini tinggal kenangan.
Gadis berambut perak itu beranjak, dan duduk di atas sebuah batang kayu, tepat di sebelah Julian yang duduk di kayu yang sama, "ada apa?" cetus Julian menyadari kehadiran Lucia di sampingnya.
Ekspresi Lucia tampak murung dan gelisah, sulit tidur. Pandangannya cenderung ke bawah, membiarkan rambutnya terurai menutupi bagian kanan dan kiri wajahnya, menyembunyikan kedua matanya yang tampak sedang membendung air mata.
"Meski aku tidak mengetahui secara jelas apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Istvan, namun yang jelas tidak ada yang menginginkan itu terjadi." Julian menoleh, menatap gadis berambut indah itu dan lanjut berbicara, "aku turut prihatin dengan apa yang sedang menimpa dirimu dan negerimu, Lucia."
Air mata Lucia perlahan menetes ke tanah dengan pandangan tertunduk, "aku meninggalkan mereka semua," ujarnya dengan intonasi getir bercampur tangis yang tak bisa ia bendung, "aku pergi meninggalkan mereka," lanjutnya, terlihat merasa sangat bersalah.
Tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, permasalahan apa yang sedang menimpa Kerajaan Istvan. Julian hanya bisa terdiam, dan beberapa kali melirik melihat sosok Lucia yang terisak dalam diamnya. Gadis itu terus menundukkan kepalanya, membiarkan rambut peraknya terurai ke samping serta depan, menutupi ekspresi wajahnya yang sedang bersedih.
"Namun kau masih hidup, kau masih ada di sini," ujar Julian dengan pandangan memandang ke arah api unggun di hadapannya, "dan menurutku, masih ada kesempatan untukmu dan masa depan Istvan," lanjutnya.
Lucia mengangkat kepalanya, kedua matanya sembab dan pipi mulusnya yang basah, menatap Julian dan bertanya, "kesempatan? Kesempatan seperti apa yang kamu maksud?"
"Justru yang ada aku akan tambah melihat orang-orang terbunuh karena bersamaku," lanjut gadis itu, kembali menundukkan pandangannya.
Julian seketika menoleh, "kau bertemu orang lain sebelum dengan diriku?" tanyanya.
Lucia menganggukkan kepalanya perlahan dan berkata, "namun ... mereka ... terbunuh karena menyelamatkanku," dengan intonasi gemetaran, karena harus mengingat kembali kejadian keji yang terjadi di depan kedua matanya, "aku tidak tahu harus bagaimana lagi?" lanjutnya terdengar putus asa.
Diam sejenak, itu yang dilakukan oleh Julian saat ini, membiarkan hingga Lucia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya yang tampak sering terisak. Beberapa detik kemudian ia berkata, "istirahatlah, Lucia. Tubuh, pikiran, dan perasaanmu membutuhkan istirahat, dan sekarang sudah sangat larut."
Lucia hanya mengangguk sembari menenangkan dirinya, kembali beranjak dan menghangatkan tubuhnya di balik kantung tidur yang berada tidak jauh dari batang kayu tempat ia dan Julian duduk. Melihat gadis itu mulai berbaring di balik hangatnya kantung tidur itu, Julian tampak membiarkannya, dan kembali memandang ke arah api unggun.
"Aku tidak percaya ini akan terjadi padaku," ujar Julian di dalam hatinya sehingga tidak bisa didengar oleh Lucia. Laki-laki berbaju abu-abu itu kembali menoleh, memandang ke arah gadis yang kini sudah tertidur, "apa yang harus aku lakukan?" gumamnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, menatap bingung tentang keputusan apa yang harus ia ambil.
Di dalam hati terdalam Julian merasa ikut sedih dan kasihan ketika menatap ke arah sosok Lucia. Apalagi melihat gadis berambut perak itu yang tampaknya benar-benar sangat lelah, tidak membutuhkan satu menit baginya untuk bisa tertidur, meski pikiran dan perasaannya dalam keadaan kacau.
Pengembara laki-laki itu menghela napas panjang, beranjak sejenak dari posisi duduknya, dan perlahan mematikan perapian tersebut agar tidak terlalu mencolok untuk hewan buas atau bahkan bandit yang tidak sengaja lewat.
Ketika selesai mematikan perapian tersebut, sebuah burung hantu berwarna putih tiba-tiba saja terbang dengan senyap mendekatinya, dan sempat membuatnya terkejut karena burung hantu itu langsung hinggap di salah satu lengannya. Hendak mengusir karena ia kira dia adalah hewan liar, namun niatnya langsung batal ketika melihat sebuah surat kecil yang bergelantung di kepala burung hantu tersebut.
"Pengantar surat?"
Julian mengambil surat yang dikalungkan pada kepala burung hantu itu. Ketika surat tersebut terambil, burung itu langsung terbang pergi begitu saja, menghilang di balik lebatnya pepohonan hutan.
"Naira?" gumam Julian ketika membaca bagian depan surat sebelum ia membukanya. Dirinya melihat cap resmi Kerajaan Naira yang berlogo elang berwarna putih, "tumben sekali menggunakan burung hantu sebagai pengantar surat?" tanyanya, mengerutkan dahi, menatap curiga surat yang kini berada di tangannya.
***
Seorang pria berjubah serba hitam tiba-tiba saja muncul dari sebuah asap hitam yang pekat, tiba di dalam sebuah ruang singgasana, dan kemudian tunduk di hadapan seorang pangeran berpakaian serba hitam dan bermahkota hitam.
"Kami kehilangan jejak Lucia, Yang Mulia."
Laporan yang terdengar pertama kali di kedua telinga pangeran tersebut, dan berhasil membuat laki-laki bermahkota hitam itu tampak geram, murka. Tatapannya tiba-tiba saja tajam, menyorot berwarna merah menatap pria di hadapannya. Salah satu tangannya terulur seperti hendak meraih sesuatu, dan hanya dalam hitungan detik, sebuah sihir kegelapan muncul dari tangannya mengelilingi tubuh pria tersebut.
"A-ampun, Yang Mulia! Berikan saya kesempatan lagi!" rintih pria tersebut, tubuhnya tiba-tiba saja terangkat beberapa meter dari lantai.
Sorot mata berwarna merah tajam menatapnya, dan tergambar jelas hasrat ingin membunuh. Pangeran Kegelapan itu kemudian berbicara, "aku akan memberimu kesempatan terakhir, cari gadis berambut perak bernama Lucia Anna Celestia sampai dapat, dan bawa dia kepadaku dalam keadaan hidup-hidup!" titahnya dengan intonasi rendah, namun terkesan mengerikan dan mengancam.
"Ba-baik, Yang Mulia. Saya tidak akan kembali ke hadapan anda sebelum membawa gadis itu!" sahut pria tersebut, merintih kesakitan seolah sedang ada yang mencekiknya.
BRUUKKK!!!
Pria itu dijatuhkan begitu saja dari atas sana ketika sihir gelap yang membuatnya terangkat secara tiba-tiba menghilang setelah pangeran bermahkota hitam itu menurunkan tangannya. Sesaat setelah itu, pria berjubah hitam itu langsung menghilang bak tertelan ke dimensi lain dengan cara merubah tubuhnya mencari kepulan asap hitam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Lokawigna
Fantasy-Fantasy- [⚠️] The story contains adult scenes including violence, murder, harsh words. Seorang putri raja harus mengalami kejadian yang sungguh menyakitkan, yang mengharuskan dirinya untuk bisa menjadi lebih kuat. Melarikan diri dari tanah kelahira...