Mencoba Mengirim Pesan #19

5 4 0
                                    

Menjelang sore hari dengan langit berwarna jingga indah. Julian tampak berantakan, wajah tampannya tampak kotor akan abu berwarna hitam, begitu pula dengan baju abu-abu yang ia kenakan, penuh dengan abu berwarna hitam. Kedua tangannya tampak membawa seekor burung dengan bulu berwarna kemerahan, corak berwarna jingga di jambul, sayap, dan ujung ekor, serta bercahaya ketika tersorot oleh sinar matahari, sangat cantik dan indah sekali. Ukuran dari makhluk tersebut sudah memenuhi kedua telapak tangannya, meski beberapa jam yang lalu ia ditemukan baru saja terlahir dari balik abu.

Laki-laki itu berjalan dengan sedikit tertatih-tatih karena kelelahan, melalui hutan, dan menuju ke arah Tenggara. Ia tentu saja berharap bisa bertemu dengan Lucia yang dirinya sendiri tidak tahu di mana keberadaan gadis itu sekarang.

Lelah tentu dirasakan olehnya, terlebih setelah pertarungan hebat yang sangat menguras energinya. Tidak percaya akan selamat, namun itulah keajaiban yang terjadi pada dirinya. Semua berkat mahkluk ajaib yang rela mengorbankan diri untuk keselamatan nyawa Julian, sebelum kemudian makhluk tersebut terlahir kembali dari abu kematiannya sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan? Jujur saja saat ini aku bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi," ujar Julian, berbicara dengan sendirinya kepada seekor Phoenix yang duduk manis di atas kedua telapak tangannya.

Makhluk cantik itu tampak menoleh, sedikit menengadahkan kepalanya, menatap wajah Julian dengan kedua iris mata berwarna jingga kemerahan. Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan serta dibicarakan oleh manusia tersebut. Makhluk indah itu melebarkan kedua sayapnya sejenak dan meregangkan otot-ototnya.

Julian tersenyum melihat kelakukan dari Phoenix kecil yang saat ini ada di kedua tangannya, benar-benar menggemaskan, sedikit mengurangi rasa lelah dan menghibur dirinya.

Di tengah berjalan melewati pepohonan, tanpa perbekalan karena tas ransel miliknya ia berikan kepada Lucia, dan tanpa senjata sama sekali. Mahkluk kecil yang terus ia bawa dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja mengepakkan kedua sayapnya hingga terbang. Tentu hal tersebut sangat mengejutkan bagi Julian, karena ini pertama kali baginya melihat Phoenix yang saja lahir berjam-jam yang lalu, kini dapat mengepakkan kedua sayapnya untuk terbang.

Keajaiban yang sungguh mengejutkan, bahkan berhasil membuat Julian terdiam. Burung dengan dominasi warna merah itu terbang mengelilingi dirinya, dan berkicau merdu layaknya burung-burung kecil pada umumnya.

"Aku hampir lupa kalau kau memang makhluk ajaib!" cetus Julian, tersenyum senang memandangi mahkluk itu terbang mengelilingi dirinya.

Phoenix kecil itu kemudian hinggap di salah satu bahu milik Julian, sebelum kemudian laki-laki tersebut kembali melanjutkan perjalanannya. Tidak merasa sendirian, karena beberapa kali Julian tampak mengajak berbicara unggas cantik yang hinggap manis di salah satu pundaknya.

"Apakah kau tidak ingin kembali ke sarangmu?" tanya Julian, melirik seekor Phoenix yang tampak anteng di bahu kirinya, "setahuku Phoenix akan mati membakar diri, terlahir kembali dari abu kematian tersebut, dan kemudian kembali ke sarang atau tempat asal jika mengalami siklus kematian serta kelahiran di tempat yang jauh. Bukankah begitu?" lanjutnya, bertanya, namun berbicara sendiri.

Phoenix itu tidak dapat berbicara, hanya memperlihatkan gerak-gerik layaknya burung pelihara yang nurut dengan tuannya. Julian juga tidak mengharapkan adanya jawaban dari hewan tersebut. Ia merasa beruntung karena dirinya saat ini berada di dalam hutan, tidak ada orang lain yang melihat serta mendengar dirinya berbicara sendiri, karena sudah dipastikan dirinya akan dicap sebagai orang gila.

Julian menghentikan langkahnya sejenak, mengambil serta menggendong tubuh Phoenix tersebut, kemudian meletakkannya di atas sebuah batu yang terletak tepat di sebelah salah satu pohon di hutan tersebut. Laki-laki itu tampak menatap serius, sebelum kemudian ia berkata, "jika kau sudah bisa terbang, maka terbanglah yang jauh keluar dari Benua Tengah ini. Apakah kau bisa melakukannya untukku?"

Tidak berkata, tentu saja karena tidak bisa berbicara layaknya manusia. Namun Phoenix kecil itu tampak mengerti dengan perkataan manusia di hadapannya, dan hanya memperlihatkan gerak-gerik mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Ku anggap itu sebagai jawaban 'baik' atau 'iya'," sahut Julian setelah melihat gerak-gerik tersebut.

"Namun sebelum itu, bisakah aku memohon satu hal padamu?" lanjut Julian dengan tatapan seriusnya.

"Kembalilah ke Naira, dan sampaikan pesan darurat kepada Ratu Anastasia bahwa keadaan Benua sedang tidak baik-baik saja. Apakah bisa?" Julian berbicara, menyampaikan pesan yang ingin ia sampaikan melalui Phoenix di hadapannya.

Namun situasinya hening seketika. Julian menghela napas, mengerutkan dahinya, dan melirik ke arah pepohonan di sekitarnya. Laki-laki tampak sedang berpikir, sebelum akhirnya ia beranjak dari tempatnya saat ini.

Julian mengambil sebuah ranting pohon yang berbentuk runcing, dan mengambil sebuah daun dari salah satu semak yang memiliki ukuran satu telapak tangannya, cukup lebar. Laki-laki itu kemudian mendekat kembali pada hewan kecil berwarna merah yang tampak anteng berdiri di atas batu, dan mulai mengukir tulisan pada sehelai daun yang ia ambil menggunakan ranting kayu yang runcing tersebut.

Setelah selesai, Julian menggulung daun miliknya, dan kemudian memberikannya pada Phoenix kecil itu sembari berkata, "berikan ini kepada Ratu Anastasia, apakah kamu mengerti?"

Hening sejenak, tidak menjawab. Julian masih mengulurkan tangannya, dan meletakkan daun yang telah ia gulung di atas telapak tangannya. Setelah satu menit berlalu, dan Julian masih mengulurkan tangannya, diam menunggu. Phoenix kecil itu langsung mematuk dan mengambil gulungan daun milik Julian menggunakan paruhnya yang kuat, tanpa merusaknya sedikitpun.

Tanpa berselang lama dan menunjukkan gerak-gerik lain lagi. Phoenix kecil itu merentangkan kedua sayapnya, dan kemudian terbang hingga menghilang dari jangkauan pandangan begitu saja dengan membawa gulungan daun di paruhnya. Julian menghela napas lega menatap mahkluk berwarna merah itu terbang tinggi menjauh ke arah Tenggara, "ku harap kau mengerti apa yang ku maksudkan," ujarnya dengan senyuman pasrah, sebelum kemudian ia harus segera melanjutkan perjalanannya.

Sang LokawignaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang