Pelarian #3

138 20 9
                                    

Lia berlari dengan tetap menggenggam erat salah satu tangan Lucia, melarikan diri keluar dari benteng kerajaan, menuju ke arah hutan. Tidak ada tujuan yang jelas akan ke mana mereka pergi, namun yang jelas Lia akan membawa Putri Lucia pergi sejauh mungkin. Melalui hutan hujan yang sangat lebat tersebut, kedua perempuan itu terus berlari menjauhi Kerajaan Istvan.

"Aku melihat ada yang melarikan diri!"

"Ke arah sini!"

Dua prajurit berkuda tiba-tiba saja melihat dan mengejar mereka, mengarah ke tengah hutan. Mereka menunggangi kuda, sedangkan Lia dan Lucia hanya memanfaatkan kedua kaki mereka. Pelarian terus saja berlanjut tanpa henti, bahkan hingga Lia dan Lucia benar-benar merasa lelah, kedua kaki mereka terasa sangat lemas, namun mereka terus berlari.

"Ke arah sini, Yang Mulia!" pinta Lia, menarik tangan Lucia, berbelok masuk di antara lebatnya pepohonan.

Langkah kaki Lia berhenti ketika sampai di sebuah semak belukar yang sangat amat lebat, segera menarik Lucia untuk bersembunyi di dalam semak-semak yang sangat amat lebat tersebut. Kedua kuda yang mengejar berhenti tidak jauh dari mereka berdua, Lucia dan Lia bisa melihat bagaimana ciri-ciri kedua pria yang menunggangi dua kuda berwarna hitam itu. Kedua pria tersebut tampak seperti seorang prajurit dengan menggunakan zirah besi berwarna hitam, dan dua buah tombak berwarna hitam juga, semuanya serba hitam

"Berapa orang yang kau lihat?"

"Aku tidak yakin, namun aku hanya melihat satu, ciri-ciri fisik gadis rambut panjang berwarna hitam, pakaian dayang istana."

Tak berselang lama ketika dua prajurit itu saling berbicara, rupanya datang lima prajurit berkuda lagi menghampiri kedua prajurit yang mengejar. Mereka tampak sempat berbincang sebentar entah memperbincangkan apa, sebelum kemudian kelima prajurit berkuda itu berpencar. Tampaknya Lia dan Lucia masih dicari-cari oleh mereka.

Lia menatap Tuan Putrinya dengan tatapan serius, kemudian pandangannya turun perlahan melihat gaun putih yang sudah kotor dipakai oleh Putri Lucia. Dayang istana itu tiba-tiba saja meraih ujung bawah dari gaun yang dikenakan oleh Lucia dan berkata, "maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia," sebelum kemudian merobek sedikit gaun tersebut ke atas agar Lucia bisa lebih leluasa melangkahkan kakinya.

"Ini kesempatan kita untuk lari," ucap Lia dengan berbisik, setelah melihat para prajurit yang mengejar tampak lengah. Ia perlahan mundur bersama Lucia yang selalu berada di sampingnya, dan kemudian lanjut melarikan diri.

Ketika melanjutkan pelariannya, salah satu dari para prajurit berkuda itu mendengar pergerakan mereka dari balik dedaunan, dan langsung berteriak, "ke arah sini!!"

"Mengapa mereka bisa mengetahui kita?!" cetus Lucia, tetap berlari bersama Lia di sampingnya, melewati vegetasi hutan yang sangat amat lebat.

"Entahlah, yang penting kita tidak boleh berhenti!" sahut Lia.

Para prajurit berkuda itu terus mengejar tanpa henti, melewati sela-sela pepohonan dengan sangat cepat, bahkan langkah kuda-kuda perang mereka lebih cepat dibandingkan langkah kaki Lia dan Lucia. Ketika terus melalui lebatnya pepohonan dan semak belukar, Lia dan Lucia terpaksa harus menghentikan langkahnya ketika menyadari bahwa yang ada di depannya adalah sebuah tebing yang curam.

Lia memeriksa dasar dari tebing tersebut yang rupanya adalah aliran sungai yang dalam, sangat besar dengan arus yang juga cukup deras. Ia kemudian menatap tajam dan serius Lucia dengan berkata, "Yang Mulia, lompatlah ke sungai itu dan selamatkanlah diri anda! Saya akan mengalihkan perhatian mereka."

"Apa kau sudah gila?! Tidak! Aku tidak ingin kita berpisah di sini!" sahut Lucia, menolak ide gila tersebut dan lanjut berkata, "jika ingin melompat, maka kita harus lompat bersama!"

"Tidak bisa, Yang Mulia. Mereka tidak mengetahui bahwa saya membawa anda, yang mereka lihat hanyalah saya. Jika saya ikut terjun, mereka akan menyusuri sungai dan terus mengejar saya sekaligus menemukan anda," sahut Lia dengan tatapan seriusnya menatap kedua iris mata berwarna biru muda indah milik Putri Lucia.

"Namun bagaimana dengan dirimu?! Apakah kita bisa bertemu lagi?" tanya Lucia, menatap getir Lia dengan kedua mata berkaca-kaca.

Lia tersenyum getir mendengar kedua pertanyaan tersebut. Ia menatap lembut sosok Tuan Putri yang hampir selalu ia kagumi itu dan kemudian berkata, "saya tidak tahu pasti, namun pastikan bahwa anda akan selamat, Yang Mulia."

Air mata Lucia tampak menetes perlahan tanpa ia sadari ketika Lia berbicara seperti itu padanya. Hatinya menolak untuk pergi tanpa Lia, dirinya enggan untuk melompat ke sungai dari tebing tersebut. Namun keputusan harus segera dibuat.

"Aku tidak bisa pergi tanpamu," ucap Lucia, gemetaran.

"Yang Mulia, lihat dan dengarkan saya ...!" tegas Lia dengan intonasi bicara sedikit gemetar, meraih dan menggenggam kedua tangan milik Lucia.

Lucia hanya bisa terdiam menatap Lia yang tampak perlahan ikut meneteskan air mata dan membuat kedua pipinya basah. Lia kembali berbicara kepadanya dengan mengatakan, "Yang Mulia Ratu telah memberikan amanatnya kepada saya untuk melindungi serta memastikan anda berhasil melarikan diri, dan saya siap melakukan apapun untuk itu!"

"Yang Mulia, kumohon tetaplah hidup untuk kami, dan untuk Kerajaan Istvan ...!" lanjut Lia, tidak dapat membendung air matanya lagi.

Tidak sempat berbicara lebih lagi, derap langkah kaki dari kuda-kuda milik para prajurit pasukan pemberontak semakin terdengar dari balik pepohonan. Lia menatap Lucia dengan tatapan berkaca-kaca dan senyuman perpisahan yang terukir sembari berkata, "maafkan saya, Yang Mulia. Saya harus melakukan ini demi anda dan demi Kerajaan Istvan."

SET!

Dengan sigap dan cepat, Lia secara sengaja mendorong Lucia dari atas tebing tersebut, hingga jatuh ke bawah. Lucia terkejut dengan tatapan tidak percaya ketika melihat untuk terakhir kalinya paras cantik Lia yang tampak dibanjiri air mata ketika mendorongnya, sebelum kemudian semua pengelihatan itu hilang ketika tubuhnya menghantam air dan tenggelam terbawa arus.

Byuurrr ...!!!

Arus deras sungai tersebut menelan tubuh Lucia, menghilang dan hanyut terbawa arus hanya dalam hitungan detik.

***

Seorang pangeran bermahkota hitam tampak berjalan masuk melalui gerbang utama benteng Kerajaan Istvan, bersama lebih dari sepuluh ribu pasukan miliknya, dan pasukan pemberontak dari Kerajaan Istvan. Ibu kota kerajaan itu tampak sangat kacau, kebakaran di mana-mana, dan banyak sekali jasad berserakan.

Laki-laki dengan mahkota hitam itu hanya berjalan santai di antara mayat-mayat yang berserakan, mendekati benteng istana yang sudah berhasil dihancurkan. Seorang pria berjubah hitam pekat tampak berjalan di sampingnya dan berkata, "semuanya sesuai rencana, Yang Mulia. Apa perintah anda selanjutnya?"

"Apakah kalian membunuh Raja dan Ratu Kerajaan Istvan?" tanya pangeran bermahkota hitam itu.

"Tidak, Yang Mulia. Kami tidak ingin mengambil target anda," jawab pria tersebut.

"Bagaimana dengan putri mereka?" tanya kembali pangeran bermahkota hitam itu.

Mendengar pertanyaan tersebut, pria berjubah hitam itu hanya terdiam. Ia tidak tahu-menahu soal putri yang dimaksud oleh pangerannya. Melihat kebingungan untuk menjawab pertanyaannya, pangeran bermahkota hitam itu tampak melirik tajam pria tersebut dan berkata, "cepat cari dia, atau kau yang ku bunuh!" dengan intonasi rendah namun tegas, disusul oleh aura gelap yang tiba-tiba saja muncul di sekitar tubuhnya.

"Ba-baik, Yang Mulia!" sahut pria itu, menundukkan kepalanya, takut, sebelum kemudian secara tiba-tiba tubuh milik pria tersebut berubah menjadi asap hitam dan terbang menghilang begitu saja.

Sang LokawignaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang