Putri yang Malang #6

85 21 13
                                    

Malam hari yang gelap, sangat gelap dan kelam, tidak ada angin dan semuanya terasa sunyi, sepi. Kerajaan Istvan dipaksa takluk di bawah kekuasaan seorang pangeran bermahkota hitam dari Kerajaan Utara. Seketika tanah dari kekuasaan Kerajaan Istvan berubah menjadi dingin, langit juga tampak gelap dengan petir yang hampir selalu menyambar, namun tidak meneteskan air sedikitpun. Semuanya tampak beku, setiap tumbuhan yang hidup di Kerajaan Istvan langsung mati membeku hanya dalam hitungan detik.

Pangeran bermahkota hitam itu tampak berdiri tepat di depan pintu besar istana, mengulurkan salah satu tangannya, dan dalam sekejap sihir penghalang yang ada untuk melindungi istana langsung hilang kurang dari satu detik. Pandangannya kemudian melirik ke arah samping bawahnya, dan melihat sosok Raja Maximus yang terlihat sudah tidak bisa berdiri, dalam kondisi bersimbah darah sangat banyak dengan salah satu tangan memegangi perutnya. Tepat di sebelah Raja Maximus, terlihat Ratu Celestia yang sudah tergeletak tak bernyawa, dalam kondisi yang sangat mengenaskan, kehilangan salah satu tangannya.

"Diamlah ...!" ucap pangeran bermahkota hitam itu dengan intonasi yang terdengar rendah, dan dingin. Salah satu tangannya terulur ke arah Raja Maximus yang tampak berusaha bangkit, namun tidak bisa karena kedua kakinya yang sudah lumpuh dan berdarah, terluka sangat parah.

Raja Maximus seketika terlihat seperti tercekik, sebelum kemudian sebuah aura yang sangat gelap datang, dan menyelimuti dirinya, membuatnya tenggelam dalam kegelapan sebelum akhirnya terkulai lemah tak berdaya. Tidak peduli lagi dengan nyawa dari Raja dan Ratu itu. Pangeran bermahkota hitam itu melangkahkan kakinya, menghancurkan pintu besar yang terbuat dari keramik perak itu, merubahnya menjadi tumpukan debu dan menghilang.

"Raja dan Ratu kalian sudah mati, dan Tuan Putri yang kalian hormati itu hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, dia melarikan diri meninggalkan kalian di sini. Namun jangan khawatir, aku ada di sini untuk menggantikan mereka." Berjalan ke aula utama istana, di hadapan para rakyat wanita dan anak-anak yang berkumpul di tengah-tengah aula tersebut, pangeran bermahkota hitam itu tampak berbicara dengan intonasi yang tidak terlalu meninggi atau lantang, namun dapat didengar oleh mereka semua.

Rakyat Kerajaan Istvan yang tersisa, mereka hanya bisa terduduk di atas dinginnya lantai aula dengan wajah-wajah putus asa, dipenuhi ketakutan. Kebanyakan dari mereka hanya bisa pasrah, namun juga ada beberapa yang terlintas pada pikiran mereka untuk mengakhiri hidup, apalagi melihat betapa mengerikannya sosok laki-laki berpakaian zirah serba hitam dan mahkota berwarna hitam itu. Kedua iris matanya berwarna merah, menyorot tajam, dan tubuhnya dikelilingi oleh kekuatan sihir yang sangat amat gelap mengerikan.

Tanah Istvan kini dikuasai oleh pasukan kegelapan dari Kerajaan Utara. Semua orang yang membangkang akan langsung dieksekusi ditempat, dan Kerajaan Istvan juga tidak menerima pendatang. Siapapun dan sebanyak apapun pendatang yang datang ke kerajaan tersebut, semuanya akan dianggap deklarasi perang, dan dihabisi oleh pasukan kegelapan di bawah kepemimpinan sang pangeran bermahkota hitam.

Kabar menggemparkan tentang jatuhnya kedaulatan Kerajaan Istvan di tangan atau dalam genggaman kekuasaan Kerajaan Utara tentu menyebar dengan sangat cepat di seluruh Benua. Mereka kerajaan tetangga yang berjarak tidak terlalu jauh dari Kerajaan Istvan langsung mengumumkan darurat siaga di malam itu juga, dan melapisi penjagaan perbatasan yang dekat dengan Tanah Istvan.

***

Lucia berjalan di tengah hutan, antah berantah, tidak tahu di wilayah mana dirinya berada saat ini. Sudah sejak petang tadi ia terus berlari, dan berlari, tidak menghentikan langkahnya sama sekali hingga malam menjelang. Di tengah malam, dan di tengah hutan yang sangat amat gelap, ditambah dirinya tidak begitu mengenal hutan tersebut. Tentu ketakutan selalu menyelimuti hati Lucia, namun itu tidak membuatnya menghentikan langkahnya untuk terus berjalan, sejauh-jauhnya entah ke mana kedua langkah kaki miliknya akan membawa dirinya.

Benar-benar di tengah hutan yang sangat lebat dengan pohon-pohon yang cukup tinggi menjulang. Tenggorokan kering perlahan semakin terasa, haus. Perutnya juga beberapa kali berbunyi, meminta jatah untuk diisi. Namun Lucia pergi dari istana dan kerajaan tercintanya hanya dengan membawa diri dan gaun putih yang saat ini ia pakai, tidak membawa bekal apapun, hanya tangan kosong. Baju yang sebelumnya basah juga sudah mulai kering. Angin malam terasa sangat dingin, tetapi beruntung ada Chasuble pemberian Charlotte yang masih ia bawa dan pakai hingga saat ini, sedikit membantu serta membuatnya merasa sedikit lebih hangat. Meski begitu, tetap saja, dingin.

Berkali-kali pandangannya memeriksa setiap semak dan tumbuhan yang ia lalui, berharap ada beri atau buah-buahan, namun sejauh mata memandang dan selama berjam-jam ia terus berjalan, apa yang dirinya harapkan tidak terwujud.

Beberapa langkah terus ia jalani, kedua iris mata berwarna biru indah itu terbuka lebar, melihat adanya sebuah desa kecil tidak jauh dari hutan tersebut. Seperti melihat adanya harapan serta kesempatan baginya untuk terus melanjutkan hidup, Lucia terlihat sedikit lega. Ia menghentikan langkahnya sejenak, bersembunyi di balik semak-semak, dan melihat situasi gerbang depan desa yang tampak dijaga oleh beberapa prajurit lokal, mereka hanya mengenakan zirah biasa dan membawa tombak.

Lucia tampak sedang berpikir, melirik melihat rambutnya yang berwarna perak tergerai melewati bahu hingga ke dadanya. Pasti sangat mencolok dengan penampilannya saat ini. Gadis itu kemudian menoleh ke arah lain, dan melihat adanya lumpur serta genangan air yang kotor, tidak jauh darinya berada.

Perempuan itu segera mendekati genangan air yang kotor serta berlumpur itu, dan langsung mengambil lumpur tersebut dengan kedua tangannya, melumuri rambutnya yang berwarna perak cantik hingga sedikit merubah warnanya menjadi cokelat kotor. Tak hanya rambut, dirinya juga melumuri gaunnya yang sebenarnya sudah kotor dengan lumpur, dan juga memanfaatkan genangan air yang bercampur lumpur itu untuk mengotori kulit wajahnya yang putih dan halus.

Kini tampilan Lucia benar-benar sangat kotor dan bau, layaknya gelandangan yang tidak memiliki rumah. Dengan penampilan tersebut, dirinya memberanikan diri untuk keluar dari semak dan hutan tersebut, mendekati gerbang desa yang dijaga oleh dua orang prajurit.

"Hei, mengapa akhir-akhir ini ada banyak sekali gelandangan yang berkeliaran?" cetus penjaga pertama kepada rekannya ketika melihat sosok Lucia yang perlahan mendekat.

"Entahlah, kemarin aku ketemu dengan orang gila," sahut penjaga kedua.

"Permisi," ucap Lucia dengan sopan, sedikit menundukkan pandangan dan kepalanya.

"Maaf, Nona. Kami tidak menerima gelandangan atau orang gila, silakan pergi!" sahut penjaga pertama dengan tegas, menolak mentah-mentah kehadiran Lucia.

Hati Lucia sebenarnya terasa sangat pedih, sakit tak berdarah, namun mau bagaimana lagi, penampilannya saat ini memang pantas mendapatkan kata-kata serta perlakuan menyakitkan itu.

"Saya lapar dan haus, apakah tuan-tuan bisa memberikan sedikit makanan? Saya mohon ...! Setengah roti saja sudah cukup," ujar Lucia, memohon-mohon kepada dua penjaga tersebut.

Kedua penjaga itu tampak sangat enggan untuk dekat-dekat dengan Lucia, mereka memberikan jarak minimal satu meter, bahkan wajah-wajah mereka tampak sedang menahan napas.

"Lebih baik kau beri saja dia sedikit, biar dia segera pergi! Cepat!" cetus penjaga kedua.

Penjaga pertama tampak menghela napas berat, tidak ikhlas dan senang dengan ide dari temannya, namun ide tersebut ada benarnya. Ia mengambil setengah roti dari dalam kantong makanan yang bergelantung di bagian belakang ikat pinggangnya, dan segera memberikan roti gandum tersebut kepada Lucia lalu berkata, "cepat pergi sana!"

"Terima kasih, Tuan," ucap Lucia menerima setengah roti yang ukuranya hanya segenggam saja, dan segera beranjak pergi.

Jelas Lucia tidak akan bisa beristirahat di desa tersebut, dan ia kembali melanjutkan pelariannya entah ke mana, memasuki lebatnya hutan yang sangat asing baginya. Kedua iris mata berwarna biru itu tampak berkaca-kaca, rasanya ingin menangis, namun sengaja ditahan-tahan. Akan tetapi sekuat apapun ditahan, air mata tersebut tidak dapat terbendung, dan akhirnya menetes membasahi pipinya tanpa ia sadari.

Letih. Lucia duduk sejenak di bawah sebuah pohon ketika sudah jauh dari desa dan kembali berada di tengah hutan, memandangi setengah roti gandum yang ada di tangannya yang kotor, dan tiba-tiba dirinya terisak. Menangis dalam diam, dengan air mata yang tidak dapat terbendung lagi. Bingung bercampur takut, perasaan itu tentu menyelimuti dan menghantui dirinya saat ini. Tidak ada tempat yang aman baginya, dan tidak ada keluarga ataupun teman, lagi. Tuan Putri yang malang itu kini sudahlah bukan seorang putri raja.

Sang LokawignaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang