Sebuah Pertemuan

933 19 0
                                    


"Arkan,"

"Arkan,"

"Dimana kamu sayang?"

"Coba lihat, apa yang mama bawa buat kamu?"

Arkan keluar dari kamarnya, dan melihat ibunya yang menghampiri dia dengan membawa banyak foto.

Arkan hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Apalagi melihat tingkah ibunya yang begitu antusias ingin menjodohkan anaknya, dengan beberapa wanita yang ada di dalam foto yang di pegang ibunya itu.

Setelah berhadapan dengan anaknya, perempuan paruh baya itu menyodorkan beberapa foto padanya.

"Lihatlah Arkan," ucap perempuan paruh baya itu dengan lembut. Sambil mengelus pundak Arkan. Lalu meminta Arkan memilih beberapa untuk dijadikan teman kencan buta nya.

"Coba kamu lihat dulu, mana yang kamu suka? Nanti mama yang akan menghubungi wanita yang telah kamu pilih." Ucap perempuan itu yang mencoba membujuk anaknya.

Arkan hanya bisa menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.

Agar ia bisa tenang dengan tingkah ibunya yang kini mulai bertindak seenaknya sendiri. bagi Arkan masa lalu yang begitu menyakitkan sudah cukup untuknya, dan ia tak mau mengulanginya lagi untuk kedua kalinya.

Tapi tidak bagi ibunya, ia selalu berusaha memberikan foto para gadis cantik. Harapannya hanya satu, ia ingin anaknya mau menikah lagi. Lalu bangkit lagi setelah keterpurukan.

Dulu ia pernah menikah, lalu pernah dikhianati,  dan yang paling menyakitkan lagi adalah sahabat yang begitu ia percaya justru yang menusuk ia dari belakang.

Semua itu masih begitu membekas di dalam relung hatinya, sehingga ia masih begitu enggan untuk menjalin sebuah hubungan lagi.

"Ma, sudahlah.."

"Aku tidak ingin menikah untuk saat ini,"

"Apalagi dengan kondisi aku yang seperti ini,"

"Tidak akan ada wanita yang mau dengan orang cacat seperti diriku,"

"Berhentilah ma.."

Ungkapannya adalah sebuah kenyataan pahit yang harus ia terima. Menjadi lumpuh dan tak dapat berbuat apa-apa, merupakan keterbatasan dirinya saat ini. Hampir semua wanita yang ia temui, semua selalu menghina dirinya.

"Ayolah Arkan, kita coba lagi! Jangan menyerah begitu saja." Bujuk ibunya yang selalu memberikan semangat untuk putranya itu.

"Ma, bukankah aku sudah pernah menikah. Kenapa masih tetap menyuruhku menikah lagi?"

"Saat ini aku ingin sendiri, tanpa gangguan para wanita. Please ma.. " mohon  Arkan pada ibunya yang masih menyodorkan foto-foto itu padanya.

Sebisa mungkin ia menolak ibunya dengan perkataan yang halus agar tak menyakiti hati ibunya.

"Maaf ma, pekerjaanku masih banyak."

Lanjutnya, lalu ia segera mendorong kursi rodanya meninggalkan sang ibu yang masih diam mematung menatap kepergian anaknya dengan membawa semua foto-foto tersebut.

Ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya yang kekeh tak mau menikah lagi.

"Hhh.. Arkan.. Arkan kenapa kamu malah marah sama mama, padahal mama hanya ingin kamu berubah."

"Tapi tenang, mama akan berusaha membuat kamu melupakan jalang murahan itu. Kita lihat saja nanti Arkan."

Sambil tersenyum, ia pun meninggalkan kamar Arkan dan menuju kekamarnya sendiri.

Setelah sampai dikamar, Ibunya melihat satu per satu foto yang sempat ia tunjukkan pada putranya tadi.

Lalu pada akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada salah satu gadis di dalam foto tersebut.

Dengan segera ia segera menghubungi gadis itu dan membuat janji bertemu dengan gadis cantik yang berada di foto tersebut.

Ibunya juga telah menyiapkan tempat pertemuan untuk keduanya. Lalu ia menjatuhkan pilihannya di sebuah restoran yang terbaik dikota itu. Sampai waktu yang ditentukan telah tiba.

***

Saat ini ibunya menghubungi Arkan, dan mengatakan jika dirinya kini telah berada disebuah restoran western dan berkata jika, dirinya lupa tidak membawa dompetnya.

"Semoga Arkan mau datang kemari," ucapnya penuh harap sambil menunggu gadis yang dimaksud tiba.

Arkan membatalkan semua meetingnya hari ini, setelah mendapat telepon dari ibunya.

Dengan tergesa-gesa ia meminta asisten pribadinya untuk mengantarkan dirinya pergi menuju tempat yang dimaksud ibunya ini.

Sesampainya ia disebuah restoran yang dimaksud sang ibu, matanya pun kini mulai mencari keberadaan ibunya yang tak terlihat sama sekali.

Lalu saat ia melihat kearah balkon restoran itu, ia melihat seorang gadis cantik duduk tepat didepan ibunya. Ternyata ibunya kini sedang asyik bercengkrama dengan seorang gadis. Tampak keduanya terlihat begitu dekat satu sama lain.

Arkan diam menatap keduanya dari jauh. Lalu ia mendorong kursi rodanya yang telah dibantu asisten pribadinya mendekati mereka.

Tampak dengan jelas gadis tersebut terkejut akan kedatangan Arkan, ia melihat ke arah kursi roda Arkan yang didorong oleh Andre. Asisten pribadi Arkan dikantor.

"Aku fikir mama sendirian disini, ternyata mama sudah punya teman ngobrol."

Arkan mulai berkata, seolah-olah menyindir mamanya. Mamanya hanya tersenyum simpul sebagai jawaban atas semua ucapan anaknya.

"Sayang kamu sudah datang, sini.."

Ibunya berdiri dan meminta asisten Arkan pergi, ibunya menggantikan posisi Andre yang sudah keluar dari tempat itu.

Arkan lalu didorong oleh ibunya agar ikut bergabung dengannya, lebih tepatnya dengan gadis yang menjadi pilihan ibunya.

"Kenalin sayang, ini namanya Gladys. Dan Gladys, ini anak tante yang tadi kita bicarakan, Arkan."

Gladys terlihat menatap pria yang berada didepannya. Arkan mengulurkan tangannya dengan maksud berjabat tangan.

Namun seseorang yang bernama Gladys ini malah tak menyambutnya ramah. Ia terlihat diam tak menyambut uluran tangan Arkan.

Mungkin ia terpaku akan ketampanan Arkan.. atau mungkin sebaliknya. Ia akan ilfil dengan keadaan Arkan yang menggunakan kursi roda.

Dengan keterpaksaan gadis itu mau menjabat tangan Arkan setelah lama mempertimbangkan perkenalan itu.

Tampak tergambar jelas ada segurat penyesalan jauh dimata gadis itu.

Arkan tahu, jika wanita pilihan ibunya ini tak sedikitpun terpesona dengan ketampanan yang dimilikinya.

Melainkan cacat ditubuhnya adalah suatu kendala bagi para gadis untuk menolak dirinya.

Ia tahu pasti, jika gadis ini juga sama dengan para gadis yang lain. Ia pun memutuskan untuk segera menghindar dari tempat itu.

Namun sebelum ia meninggalkan tempat tersebut, terlebih dahulu ia harus membuat alasan untuk pergi dari tempat ini, kemudian pamit pada ibunya.

Saat ini yang terpikir olehnya hanyalah alasan kantor yang akan menjadi alasan utamanya kali ini.

'Semoga mama mengijinkan aku', batin Arkan mulai berharap.

"Ma, aku masih ada rapat di kantor. Aku pikir urusan disini akan cepat tapi ternyata.." ucapnya mencoba beralasan.

Namun Arkan salah terka. Belum juga ia menyelesaikan perkataannya, ibunya sudah memotong ucapannya.

"Kamu ini kenapa sih Arkan? Kan di kantor ada Andre, dia bisa handle semua urusan kantor. Kamu jangan coba-coba membohongi mama. Ya?"

Mamanya sudah naik pitam dengan semua alasan yang diberikan Arkan selama ini.

"Ma.." ucapnya berusaha memohon pada ibunya, tapi sama sekali tak digubris ibunya.

"Mama yang masih ada urusan penting, kamu temani Gladys sebentar. Mama juga udah memesan beberapa menu andalan disini. Sayang kan jika tidak termakan."

Mendengar titah ibunya, Arkan hanya bisa pasrah dengan omelan sang ibu yang sudah bersiap-siap akan meninggalkan keduanya. Apalagi disini masih ada Gladys yang masih memperhatikan tingkah keduanya yang saling beradu argumen.

"Gladys tante pergi dulu ya? Kalian ngobrol aja dulu."

Ibunya pun segera pergi keluar dari restoran yang di pesannya, membuat Arkan bisa bernafas lega. Sedang Gladys tampak tersenyum sinis menatapnya.

"Hhh.. aku pikir, aku bakalan dijodohkan sama duda tajir dan ganteng seantero. Eh.. gak taunya malah.." ia menjeda ucapannya, "dapatnya orang cacat." Lanjutnya dengan menekankan kata 'cacat'.

Hinaan yang dikatakan Gladys barusan memang benar adanya. 'Ia orang cacat'.

Semua itu sudah biasa didengar oleh Arkan. Setiap wanita yang ingin dijodohkan dengannya pasti berakhir dengan sebuah penghinaan yang menyakitkan hatinya.

Arkan hanya tersenyum menanggapi sikap Gladys, ia tidak akan mempermasalahkan hal itu lagi.

Karena semua itu adalah suatu kenyataan yang tak bisa ia pungkiri, mau tidak mau.. ia harus menerima semua kenyataan pahit di dalam kehidupannya.

"Kau sudah tahu kalau aku cacat kenapa tetap saja mau datang dan mau menemui ku?" Balas Arkan yang merasa kesal dengan sikap wanita didepannya.

"Ibumu menyerahkan foto dengan dirimu yang berdiri tegak dengan penuh kewibawaan, sangat jauh berbeda dengan dirimu yang sekarang." Debat Gladys yang juga tak terima karena tertipu dengan sebuah foto.

'Pasti ibu memberikan foto saat aku masih normal.'

"Sudahlah, mungkin ibuku salah ambil foto. Sekarang kamu bisa pergi, karena ibuku saat ini juga sudah pergi."

"Oh...tidak Arkan, tadi ibumu memesankan aku banyak makanan favorite aku. Dan aku sudah lama disini, sekarang aku lapar." Ucapnya setelah perdebatan itu.

Arkan hanya menghela nafas, kemudian dia  tersenyum sinis melihat gadis didepannya ini yang sudah mulai mencoba semua makanan didepannya, "Dasar perempuan."

Tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat seorang gadis di dorong seseorang hingga ia jatuh tersungkur dilantai dengan beberapa pecahan gelas yang berserakan didepan nya.

Gadis itu pun diminta segera memunguti pecahan gelas itu dengan tangannya, yang tanpa mengenakan alas apapun.

Membuat tangan itu mulai tergores hingga mengeluarkan darah. Karena saking  banyaknya pecahan yang menancap di tangannya.

Tapi semua itu tidak menghentikan dirinya untuk tetap mengambil sisa-sisa pecahan gelas itu.

"Gadis bodoh," ucap Arkan tanpa sadar ia pun tersenyum menatap gadis berkaca mata itu.

Gladys menatap kearah Arkan lalu beralih pada gadis yang dilihat Arkan sejak tadi. Ia pun tersenyum sinis melihat kencan butanya yang justru memperhatikan gadis lain.

"Humaira,"

Arkan terkejut mendengar Gladys bicara. Gladys menyebutkan nama gadis itu, sambil terus menguyah makanan yang masih ada di mulutnya.

"Oh.." balas Arkan dingin.

"Kok cuma oh? Bukankah kamu memperhatikan dia sejak tadi." Tukas Gladys yang sedikit memprotes pria itu.

"Lalu?" Tanya Arkan yang melempar pertanyaan pada gadis di depannya ini.

"Aku memberitahu kamu Arkan, namanya 'Humaira' sering dipanggil 'Mai'. Kamu suka ya sama dia?" Ledek Gladys pada akhirnya.

"Aku?" Arkan menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa pelan. "Tidak, aku hanya melihatnya karena dia seperti gadis bodoh saja." lanjutnya.

"Kau tidak tahu saja tentang dia, kau belum mengenal dia dengan baik."

Ucapan Gladys barusan membuat Arkan penasaran dengan gadis yang bernama 'Mai' ini. Tatapan Arkan masih tetap setia tertuju pada gadis tersebut.

Lain halnya dengan gadis itu sendiri, ia masih sibuk dengan pecahan gelas yang entah mengapa sejak tadi ia punguti tak ada habisnya. Sampai-sampai luka pada tangannya menganga dan bertambah banyak.

Seorang lelaki yang duduk diatas gadis itu tampak menyeringai puas, tatapan nakal pada gadis itu sejak tadi tak luput dari perhatian Arkan.

Sejak tadi lelaki itu menggoda gadis berkaca mata itu, tapi si gadis berusaha mengelaknya. Membuat lelaki ini geram dan menjatuhkan gelas yang disuguhkan gadis ini.

"Kau tahu Mai gelas ini mahal, gaji kamu tak cukup untuk membeli gelas ini." Omel manajer restoran itu setelah dia membawa pecahan itu kedalam.

Ia hanya menundukkan kepalanya, ia merasa takut jika ia akan dipecat dari pekerjaan ini.

"Sudahlah, saya akan potong gaji kamu. Tapi jika kamu mengulanginya lagi.. awas ya!" Bentak manajernya lagi, lalu meninggalkan Mai yang masih diam seperti patung.

'Hhh..potong gaji lagi? Bagaimana dengan nasib adik-adikku nanti.' Batinnya memikirkan adik-adiknya.

Humaira seorang gadis yatim piatu. Sejak dirinya SMA ia telah  ditinggalkan ibunya. Kepergian sang ibu membuat ayahnya sedih,dan menyusul istrinya setahun kemudian.

Ia juga memiliki dua adik laki-laki Zaen dan Akbar. Mereka putus sekolah, karena Mai tidak bisa membiayai mereka.

Uang yang selalu Mai  kumpulkan hanya bisa ia gunakan untuk makan dan melunasi hutang ayahnya.

Hingga ia harus bekerja siang dan malam agar kebutuhan mereka tetap tercukupi.

Ada kalanya ia merasa lelah menghadapi hidup yang seperti itu. Namun apalah daya ia.. Jika ia berhenti, bagaimana dengan nasib adiknya.

Sebuah tangan menepuknya dari belakang, "Sudahlah Mai jangan dipikirkan lagi," ucap Lala, sahabat Mai di resto itu.

"Tangan kamu terluka, kita obati dulu yuk. Atau kita ke dokter saja Mai, tangan kamu terlihat parah sekali." Ajak Lala lembut.

"Tidak usah La, aku baik-baik saja. Cukup dikasih obat merah saja nanti juga sembuh." Jawab Humaira yang tak mau merepotkan orang.

"Ya sudah, yuk aku bantu obati. Sebentar lagi juga waktunya kita ganti shift, kita harus beres-beres buat pulang." Ucap Lala lagi dan hanya ditanggapinya dengan anggukan.

Mai pulang dengan sepeda mininya, ia mengayuh sepeda tuanya yang sudah hampir reyot. Memang itu peninggalan ayahnya, sejak ia masih sekolah sepeda itulah yang menemaninya.

Ia menaruh sepedanya dipojok rumahnya, terlihat kedua adiknya menyambut kepulangannya. Membuatnya tersenyum, rasa lelah dan sakit di tangannya seolah hilang melihat adik-adiknya menyambutnya dengan gembira.

"Kalian sudah makan?" Ucapnya sambil mengacak-acak rambut kedua adiknya.

"Belum," jawab mereka begitu kompak.

"Ayo masuk, kakak masakin telur mau?" Ucap Mai sambil menenteng satu plastik kresek hitam, dan menuju dapur.

"Asyik," mendengar suara kedua adiknya yang girang membuat Mai melupakan masalah yang baru saja terjadi.

“Tangan kakak kenapa?” tanya Zaen melihat telapak tangan kakaknya penuh dengan luka.

“Oh.. ini tidak apa-apa. Tadi kena pecahan gelas, nanti juga sembuh.” Balas Humaira berusaha menutupi rasa sakit di tangannya.

Adiknya adalah semangat untuknya, lelahnya terasa terbayar saat adiknya tersenyum dengan girang padanya.

Kali ini ia membuatkan kedua adiknya telur ceplok yang siap disajikan untuk mereka makan bersama. Lalu tiba-tiba..

Tok tok tok

Terjebak Cinta Duda Lumpuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang