Ulah Mereka

162 5 0
                                    

Pikiran Arkan pun kini mulai gelisah, setelah bertemu dengan laki-laki yang bernama Anggara.

Dalam hatinya bertanya-tanya tentang sosok Anggara ini, karena sikapnya yang sedikit berbeda pada Humaira.

Meskipun tadi sudah dijelaskan oleh Humaira sendiri tentang identitas pria tersebut.

Entah mengapa hati kecilnya seolah tak percaya dengan penjelasan yang diberikan gadis itu.

“Jika benar lelaki itu hanya sebatas ‘paman’ untuknya, lalu kenapa sikapnya begitu protektif padamu Humaira?”

“Apa hubungan mereka sebenarnya, apa dia lebih dari sekedar paman?”

“Tunggu?”

Arkan segera membuka laptopnya, lalu mencari informasi tentang pria itu. Namun yang tak disangka-sangka hasilnya hanya..

‘Tidak diketahui.’

‘Siapa dia?’

Sepertinya ada sesuatu yang aneh tentang jati diri pria yang bernama Anggara ini.

Pria ini begitu misterius, seperti memiliki sebuah rahasia yang sulit untuk diterka.

“Huft..”

Arkan menghela nafas panjang, pikirannya masih melesat ke arah Humaira. Ia menepuk jidatnya sendiri, dirinya mulai tersadar akan tingkahnya sendiri kali ini.

“Kenapa aku memikirkan dia?”

“Humaira,”

“Apa aku sudah gila?”

“Kenapa aku memikirkanmu,”

Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya, memijat pelipisnya yang terasa berat.

“Seharusnya kau sama dengan wanita itu, Mai.”

“Jangan membuatku mulai goyah.”

Arkan mulai berbicara sendiri, pikirannya kini malah tertuju pada Humaira.

Seorang gadis yang baru ia kenal, dan ia seolah terhipnotis oleh gadis tersebut.

“Hu..Mai..Ra..”

“Aku akan mencari tahu kau Anggara,”

Arkan mengambil benda pipih di sampingnya dan mengetikkan sesuatu.

From Brian,
Cari tahu tentang Anggara.

Tak berselang lama ia menerima notifikasi balasan yang bertuliskan ‘ok’.

Dirinya melihat setumpuk berkas diatas mejanya yang sama sekali belum tersentuh olehnya.

“Hah..”

“Berkas ini kapan habisnya?”

Arkan beralih ke pekerjaannya yang masih menumpuk, sambil memegang kepalanya yang terasa berat.

***

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, padahal jalanan saat itu masih begitu ramai.

Anggara merasa kesal dengan sikap Humaira pada pria lumpuh itu.

Tadi ia berusaha sekuat mungkin ingin menonjok wajah pria itu, ditambah dengan sikap Humaira padanya.

Emosinya semakin meningkat setiap mengingat semua itu. Sampai akhirnya emosi itu meledak .

Ia melampiaskan semua kekesalan dan kemarahannya pada jalanan yang kini masih ramai lalu lalang.

Tapi dirinya tak mempermasalahkan jalanan saat ini, matanya menatap ke depan sedang pikirannya menuju ke tempat lain.

Sambil selalu mencaci maki pria yang baru saja di temuinya. Ia tak habis pikir dengan jalan pemikiran Humaira saat ini.

‘Kenapa Ai mau dengannya?’

“Ah..” teriaknya begitu kesal.

“Dia hanya pria lumpuh Ai,”

“Dia tidak berguna,”

“Tidak mungkin kau menyukainya,”

“Awas kau..”

Amarahnya masih belum bisa diatasi olehnya. Tidak mungkin dengan keadaan nya saat ini dia akan menuju ke kantor.

Kemudian ia membanting setirnya ke arah sebuah klub dimana Humaira bekerja. Dengan langkah yang penuh emosi, ia pun masuk ke dalamnya.

Semua karyawan kaget melihat kedatangan bos besarnya kali ini yang sudah lama tak menampakkan batang hidungnya.

Mereka tertunduk ketakutan, hanya satu orang kepercayaannya yang berani menatap dia.

“Selamat datang kembali bos,” ucap Anton menyapa Anggara.

Anton mencoba menyambut kedatangan bosnya, namun hanya sebuah gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya.

Anton bertanya-tanya sendiri dengan kondisi bosnya sekaligus sahabatnya ini.

‘Bukannya dia akan ke kantor terlebih dahulu?’

‘Kenapa dia malah kesini?’

Tak berselang lama sebuah suara memanggilnya, “Anton!!”

“Bawakan aku whisky, segera!!” titahnya pada Anton yang segera di angguki oleh pria yang menyapanya tadi.

Dibawakannya dua botol minuman itu untuk bos besarnya, sesuai pesanan bosnya tadi.

Sesampainya di hadapan Anggara, tanpa menunggu lama lagi. Diraihnya botol itu, dan tanpa bosa basi lagi minuman itu langsung di tenggak olehnya.

“Anggara, kau baru saja pulang dari luar negri. Tapi..”

Anton masih memiliki banyak pertanyaan dengan bos besarnya saat ini.

“Dia mengkhianatiku, Ton.”

Anton pun semakin kebingungan dengan ocehan sahabatnya ini yang sudah mulai hilang kendali.

‘Bukankah ia baru kembali, lalu siapa yang mengkhianati dirinya.’

Anton sangat mengenal sahabatnya ini, sejak SMA mereka selalu bersama. Dan sejak saat itu yang diketahui Anton, Anggara tak memiliki kekasih.

Dia selalu fokus ke bidang studinya. Selain itu, dia begitu perhatian terhadap keponakannya yang saat ini ikut bekerja di klub ini.

‘Lalu siapa lagi yang mengkhianati dirinya?’

Dalam diam Anton hanya mendengarkan semua ocehan sahabatnya yang mulai meracau tak karuan.

“Kenapa kau setega itu?”

“Aku selalu menantikan dirimu..”

Banyak pertanyaan pada diri Anton tentang sosok yang dimaksud Anggara.

“Siapa sosok di balik dirinya?”

“Dia hanya dekat dengan satu wanita,”

“Rasanya tak akan mungkin jika ‘dia’.”

Bukankah Anggara sudah di beri ultimatum oleh kedua orang tua gadis itu. Tapi..

“Aku kembali karena dia, tapi kenapa pilihannya jatuh pada pria lumpuh itu.”

Teriak Anggara sambil mencengkeram botol minuman itu, sampai botol itu pecah dan berantakan di lantai.

Pecahannya sampai mengenai tangan hingga berdarah. Tapi tak sekalipun pria itu meringis atau kesakitan.

Anton hanya menatapnya lalu mengobati luka sahabatnya ini yang sudah mengeluarkan darah segar itu.

“Kau sediakan aku wanita seperti waktu itu Anton,”

“Jika tidak..”

“Kau akan tahu akibatnya,”

Ancam Anggara yang membuat Anton hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Kau jangan gila, Anggara.”

“Bukankah kau sudah tak melakukan itu lagi. Kenapa sekarang..”

Semua penolakan dari Anton membuatnya semakin murka. Tangan yang tadi telah di balut perban, segera melesat mencengkeram leher Anton.

Anton yang menerima serangan tiba-tiba darinya tak bisa menghindar. Lehernya tercekik oleh tangan Anggara, hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Tangannya berusaha melepas cengkeraman tangan Anggara, namun usahanya kali ini gagal.

Ingin berteriak pun ia kesulitan mengeluarkan suara. Sampai...

Sebuah suara pintu terbuka dan menampakkan seorang gadis dengan kacamatanya menatap tajam Anggara.

Tangannya semakin lama semakin melonggar, membuat Anton jatuh terkulai di depannya.

Kali ini Anton selamat, ia berusaha menata nafasnya yang tersengal-sengal. Lalu melihat pahlawan mana yang sudah menolongnya.

“Ai..”

“Aku..”

Anggara yang masih dalam kondisi mabuk, telah kehabisan kata-kata. Apalagi tindakannya tadi sudah diluar batas.

Humaira hanya diam di pintu itu, ia sama sekali tak bergerak ataupun melontarkan kata-kata pada Anggara. Tatapannya hanya ke satu titik, yaitu Anggara yang telah melakukan kesalahan.

Setelah Anggara mulai diam melihat tatapan mata penuh intimidasi dari gadis itu, barulah Humaira mau mendekati keduanya.

“Kau baik-baik saja, Anton?” tanya Humaira pada sahabat Anggara ini lalu beralih pada Anggara, setelah memastikan Anton tidak apa-apa.

“Kau sudah gila ya om?”

“Bukankah seharusnya kau di kantor, kenapa kesini?”

Humaira mulai memarahi om nya yang hanya menunduk, sambil sesekali tubuhnya oleng karena pengaruh minuman.

“Kenapa diam?”

“Sudah tahu kesalahanmu om,”

“Gara-gara dirimu, aku harus ijin ke sini.”

“Kenapa kau bikin ulah disini? Tadi..”

“Hah..”

Omelan Humaira pada Anggara yang hanya diam tak berkutik. Ia tahu ini kesalahan yang dibuatnya. Tapi darimana Humaira tahu?

Terjebak Cinta Duda Lumpuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang