Tak Biasanya

80 3 0
                                    


Tepat di depan sebuah restoran western, tempat dimana Humaira bekerja.

Tampak seorang pria dengan kursi rodanya serta asisten pribadi yang setia mendampingi dia, berdiam diri di depan pintu  masuk restoran tersebut.

Tatapan pria di kursi roda itu berfokus ke arah jalanan, seolah menanti kedatangan seseorang.

Rasanya ia sudah satu jam lebih mereka berdiam diri di sana, tapi keduanya tak kunjung menemukan orang yang dicari.

“Tuan, mungkin nona Mai tidak kembali lagi kesini,” bujuk Andre agar bosnya ini tak menunggu lama lagi. Ia sudah merasakan kakinya yang mulai kesemutan.

“Tidak Dre, aku sangat yakin ia akan kembali kesini.”

Elaknya yang masih mencari seseorang, berharap dari kesekian banyak orang yang lewat satu diantaranya adalah sosok yang dicarinya.

“Jika kau lelah pergilah, Dre! Aku akan tetap menunggu dia. Sampai dia kembali,” jelas Arkan penuh harapan, ia masih duduk setia disana menantikan kedatangan Maira.

“Saya akan tunggu di mobil bos, disana saya juga bisa melihat anda.”

“Jika anda butuh sesuatu, anda bisa memanggil saya.”

Pamit Andre yang segera melangkahkan kakinya karena sudah merasa lelah. Sedangkan Arkan hanya bisa mengangguk, sebagai tanda menyetujui.

Mobilnya terparkir tak jauh dari tempatnya menunggu Maira, masih terlihat begitu jelas sebenarnya.

Bisa saja tadi mereka menunggu didalam mobil. Tapi Arkan sendirilah yang ingin menunggu Maira diluar.

Lama sekali Arkan disana, ia merasa lelah juga melihat orang-orang yang hanya melewatinya. Tak ada satu pun dari mereka untuk sekedar menyapa dirinya.

Semua itu tak jadi masalah baginya, karena yang paling utama dia hanya menantikan seorang Maira saja.

Entah mengapa sampai saat ini, yang di tunggu-tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya sama sekali.

Ia juga tak habis pikir dengan pemikirannya sendiri, mengapa kali ini ia tiba-tiba saja mengharapkan kedatangan gadis itu.

Apa mungkin dia sudah jatuh cinta pada Maira??

***

Tak lama kemudian, sebuah taxi berhenti tepat di parkiran mobil restoran tersebut.

Seorang gadis keluar dari taxi, dengan langkah yang gontai ia berjalan mendekati Arkan yang terbengong melihatnya.

Arkan mulai mengenali gadis didepannya yang tampak kusut serta murung.

Tatapannya kosong, arah pandangannya pun hanya tertuju ke arah depan.

Memang di depan gadis itu ada Arkan, tapi yang di lihat Maira bukanlah pria ini.

Arkan mencoba melambaikan tangan. Tapi, ia bahkan tak merespon lambaian tangannya.

Tak hanya itu saja ia juga mencoba memanggil Maira berulang-ulang kali. Tapi tetap saja..

“Mai,”

“Mai,”

Dua kali Arkan mencoba memanggilnya dengan pelan, tapi tetap saja tak ada sahutan darinya.

“Maira!!”

Arkan mencoba meninggikan suaranya seolah membentak Maira.

Gadis ini masih diam, ia tetap melanjutkan perjalanannya melewati Arkan begitu saja.

Hingga Arkan mulai geram, ia pun segera memegang tangan gadis itu. Berharap agar ia berhenti berjalan.

Benar saja. Gadis itu memang berhenti melangkah, seolah kaget melihat pria didepannya ini.

“Ar..kan..!” ucapnya kaget dengan kedatangan pria itu yang tiba-tiba sudah berada di depannya.

Ia pun menatap pria di depannya ini, lalu beralih ke tangannya yang masih berada di genggaman lelaki ini.

“Mai,”

“Apa yang terjadi kepadamu?” ucapnya lembut sambil mengelus punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.

Gadis itu masih tak percaya, jika yang berada di depannya ini memang benar Arkan. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya.

Yang terlihat hanyalah sepasang  mata yang tampak menampung beberapa titik air yang hampir jatuh mengenai pipinya.

Setelah meyakinkan dirinya jika benar di hadapannya ini benar-benar Arkan, ia pun tersadar dari lamunannya.

“Arkan...!”

Bibirnya tampak bergetar menahan tangis yang hampir pecah itu, raut wajah yang penuh kesedihan begitu jelas terlihat dimatanya.

Hiks.. hiks..

Terdengar suara tangisan yang tampak samar. Dia butuh sebuah kekuatan agar tetap bisa berdiri tegak.

“Kenapa kau bersedih? Apa ada masalah? Cerita lah, agar berkurang kesedihanmu.”

“Jika kau ingin menangis, maka menangislah! Bahuku siap menopang air matamu itu.”

Arkan merasa cemas melihat Humaira seperti itu, rasanya Arkan ingin segera memeluk gadis itu dan menenangkannya. 

Mendengar ucapan Arkan, entah mengapa Humaira tanpa sadar tangannya meraih tengkuk leher Arkan.

Seolah gadis ini butuh tempat bersandar, ia memeluk pria itu dengan begitu erat.

Saat berada di pelukan Arkan, air matanya dengan mudah dapat menetes.

Tubuhnya gemetar, awalnya tangisnya tertahan. Namun saat tangan Arkan membelai punggungnya, suara isakan itu mulai terdengar di pundak Arkan.

“Aku akan menemanimu dan mendengar semua keluh kesahmu, Mai.” Bisik Arkan disela-sela anak rambut Humaira yang berada di wajah pria itu.

Entah mengapa, saat ini Humaira merasakan hatinya begitu terluka. Tapi saat ia didalam pelukan Arkan, luka itu seolah terobati dengan sendirinya.

Ada sebuah perasaan yang tak dapat diungkapkan, Arkan seolah dapat membuatnya tenang.

Didalam pelukan Arkan dia menemukan rasa aman, nyaman, dan ketentraman di dalam hatinya yang kalut.

Humaira pun tersadar, setelah beberapa saat dirinya yang terbuai oleh pelukan itu.

Rasa nyaman yang dirasakan menjadi suatu kecanggungan antara dirinya dan Arkan.

Kemudian ia mulai meregangkan tangannya yang sempat memeluk tubuh pria cacat di depannya tersebut.

Arkan yang merasakan pelukan itu mulai mengendur, membuatnya  diam. Lalu mengikuti apa yang diinginkan gadis itu.

“Arkan maaf..” mohonnya yang hanya ditanggapi Arkan dengan senyuman.

“Kau sudah mereda? Kau sudah baik-baik saja?” tanya Arkan masih memegang tangan Humaira.

Rasanya Arkan tak ingin melepas pelukan itu, hingga ia tetap memegang tangannya. Agar Humaira tak jauh darinya.

“Kenapa kau datang kemari?” tanya Humaira yang sibuk  menghapus air matanya.

Ia malu didepan seorang pria, dirinya malah menangis sesegukan sampai keluar ingusnya.

‘Memalukan, hih...’ batinnya.

Arkan lalu memberikan kode pada Andre, supaya mengambilkan tissu di dalam mobilnya.

“Mai, ini ada tissu. Jangan pakai bajumu, nanti kotor!!” ujar Arkan yang memberikan tissu itu pada Humaira.

Humaira menerima tissu itu, lalu mengelap semua air mata itu serta ingusnya yang masih tak mau berhenti.

“Kau mau lanjut kerja atau kau mau menenangkan diri dulu.” Tutur Arkan memberi pilihan pada Humaira yang tampak berantakan.

“Aku mau kerja, Arkan. Sudah lama aku meninggalkan pekerjaan ini.” Tegasnya yang membuat Arkan tercengang dengan keputusan Humaira.

“Ya sudah masuklah, aku mau pulang dulu ya??” ucapnya lalu memegang kendali kursi rodanya menjauhi Humaira.

“Arkan..”

Baru beberapa langkah Humaira memanggil kembali pria itu. Rasanya Humaira tak ingin Arkan menjauh darinya.

Arkan berhenti sejenak lalu berkata, “jika pekerjaanmu sudah selesai, hubungi aku.”

“Biar Andre menjemput dirimu.”

Perkataan Arkan membuat senyum di bibirnya kembali merekah.

Ia mendapatkan semangat baru setelah ucapan Arkan barusan.

Tanpa pikir panjang ia pun mengejar Arkan yang baru beberapa langkah itu.

Ia memeluk lagi tubuh Arkan yang berada diatas kursi roda itu dari belakang, lalu mengecup pipinya.

“Terima kasih sudah menghiburku, Arkan.” Bisiknya tepat ditelinga Arkan, lalu ia berbalik dan lari masuk ke dalam restoran.

Arkan yang masih kaget dengan sikap Humaira hanya tersenyum menanggapinya.

Entah mengapa hatinya yang telah kosong seolah terisi kembali dengan seseorang yang telah di cap olehnya.

Sampai Andre sendiri terheran-heran melihat kelakuan Arkan yang sudah lama tak tersenyum.

Hanya sikap dingin yang ada di diri Arkan seperti gunung es. Ia juga tak tersentuh oleh wanita manapun.

Namun kali ini..

“Bos, kita kemana?” Tanya Andre memecah keheningan di mobil tersebut.

Pikiran Arkan yang masih tertuju pada Humaira, masih tersenyum-senyum sendiri. Sehingga ia tak begitu menanggapi pertanyaan Andre.

“Ndre, kau tadi juga melihatnya kan?” ungkap Arkan masih senyum-senyum sendiri memegang pipinya.

Andre tak bicara, rasanya bosnya ini mulai gila. Senyumnya tak pernah hilang sejak tadi.

“Andre, kita kembali ke kantor. Nanti kau jemput Maira dan bawa ia ke kantor juga.”

Perintah Arkan yang segera Andre menuju ke tempat tujuan mereka.

Setibanya di kantor, semua karyawan tampak terheran-heran melihat kelakuan bosnya kali ini.

“Pak Andre, bos kenapa?”

“Apa ada yang salah?”

“Dia tersenyum?”

Banyak karyawan mengerubuti Andre karena penasaran dengan sikap Arkan yang tidak biasa.

“Jangan terlalu kepo dengan bos,”

“Biarkan saja seperti itu,”

“Mau kena marah dia?”

Ancam Andre pada para karyawan yang terlalu ingin tahu dengan bos nya ini.

“Kembalilah bekerja,”





Terjebak Cinta Duda Lumpuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang