Sosok Lain Darinya

253 9 0
                                    


“Maira,”

Panggil seseorang kemudian menghampiri Humaira, yang kini menuju ke area dapur restoran. Langkahnya pun segera berhenti mendengar Lala yang ingin mengatakan sesuatu.

“Ponselmu sejak tadi berbunyi terus,”

“Mungkin ada hal penting,” ucap Lala, sahabat satu-satunya di restoran itu.

Humaira melihat layar di ponselnya yang masih bergetar menandakan ada panggilan masuk.

Ia pun melihat layar itu. “Jessi” ucapnya lirih, “makasih ya La,” kata Humaira yang masih melihat ke arah layar ponsel itu.

Awalnya dia tidak memiliki pemikiran apapun tentang Jessi yang tiba-tiba menghubungi dirinya. Namun.. saat ia  mengingat tentang kedatangan Anggara, ia pun mulai tersadar.

Pasti ada sesuatu yang tidak beres di klub, ia pun mencari tempat yang lebih sepi untuk menerima panggilan telepon tersebut.

“Ada apa Jessi?”

Perkataannya terpenggal dengan semua perkataan Jessi yang tampak ketakutan.

“Ai..”

“Bos besar telah kembali, dia datang ke klub Ai, dan dia.. dia tiba-tiba marah pada Anton.”

“Lalu..” Jessi menjeda ucapannya, suaranya terdengar gemetaran.

‘Ada apa ini?’ dalam hati Humaira bertanya-tanya, ‘mungkinkah..’

“Tangan bos Ai..”

“I.. itu..”

Nada bicara Jessi tampak terputus-putus, sampai membuat Humaira semakin penasaran dibuatnya.

Awalnya ia menenangkan Jessi yang tampak panik disana, “Jessi, tenangkan dirimu dulu, baru bicara padaku.”

Namun, saat ia tersadar jika sesuatu telah terjadi ia pun mulai panik. “Tunggu Jes, tangannya kenapa?” 

Humaira terdengar kaget, yang  disertai rasa penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Namun ia tak menunjukkannya pada Jessi, ia tetap berusaha untuk bersikap tenang.

“Itu.. Ai.. tangannya.. ba..nyak darah,”

“Dan.. dia juga berteriak-teriak, seperti orang kesetanan Ai..”

“Kita semua disini ketakutan Ai..”

Tiba-tiba Jessi terdiam lagi di sebrang sana, tampaknya gadis ini  lebih berfokus dengan kejadian di sana.

“Jes, Jessi..” Humaira mencoba memanggil-manggil Jessi yang tak bersuara sama sekali di sebrang sana.

Namun bukan suara Jessi yang muncul, melainkan samar-samar ia mendengar suara keributan dari ponselnya. Dengan seksama Humaira mendengarkan suara gaduh tersebut.

Suaranya masih terdengar lirih diawal, tapi semakin lama suara itu kian terdengar jelas di telinga Humaira.

‘Suara om Anggara, ada apa ini?’ batin Humaira yang kini semakin gelisah dengan kondisi di sana. Kemungkinan terbesarnya kali ini Anggara membuat keonaran yang tak wajar.

“Jessi, kamu tenang dulu ya. Aku segera ke sana.” Balas Humaira yang menenangkan Jessi, meskipun sama sekali tak mendengar jawaban dari Jessi sendiri. Dengan cepat ia menutup panggilan seluler tersebut.

Ia segera bergegas menuju ke sana, namun sebelumnya dirinya harus meminta ijin dulu kepada atasannya saat ini.

“Saya mohon pak, ini om saya sedang dalam kondisi urgent.” Bujuk Humaira pada Pak Jo atasan di restoran itu.

“Humaira, kemarin kamu sudah bikin ulah. Sekarang kamu minta ijin, maksudnya bagaimana ini?”

“Kamu mau dipecat dari pekerjaan ini?” omel Pak Jo yang mulai kesal pada Humaira.

“Tapi Pak, saya harus kesana.. tolong Pak!!” Sebisa mungkin Humaira membujuk Pak Jo yang mulai menampakkan tanduknya.

“Hanya sebentar Pak, satu jam Pak..” sambil menyatukan telapak tangannya, Humaira memohon pada atasannya kali ini.

“Baiklah Humaira, tapi ini untuk terakhir kalinya. Dan jangan lupa, satu jam.”

Pak Jo merasa tak tega dengan Humaira yang memohon-mohon padanya. Ia juga seorang atasan, ia harus bertindak sesuai aturan di restoran tersebut.

“Terima kasih Pak, saya janji satu jam. Saya akan segera kembali kemari.” Ungkap Humaira, lalu dengan segera meninggalkan tempat itu menuju ke klub.

Ia memanggil taxi dan menuju ke sana dengan tergesa-gesa. Ia tak mau Anggara akan berbuat lebih nekat lagi jika dirinya sampai terlambat.

Benar juga, sesampainya dirinya di klub itu. Apa yang dilihatnya sudah diluar kendali. Dimana saat itu Anggara sudah mencekik leher Anton, sampai Anton kesulitan bernafas.

Humaira tercengang melihat tindakan Anggara kali ini. Ia bahkan tak mengenali sosok yang didepannya ini. ‘Benarkah kau Om Anggara yang aku kenal?’

‘Iblis mana yang merasuki dirimu sampai kau seperti ini, om.’

Hatinya bertanya-tanya saat melihat dengan matanya sendiri tingkah Anggara yang seperti ini.

Di telapak tangannya ada luka yang tampak dibalut dengan perban, tapi luka itu masih tampak mengeluarkan darah. Terlihat dari perban itu yang sudah berubah warna menjadi merah.

Humaira hanya diam melihat posisi Anggara yang begitu mendominasi Anton. Sorot mata yang menyala-nyala bagai kobaran amarah yang tak kunjung mereda.

Sebuah suara memanggil namanya, “Mai,” membuat Anggara melihat kearah pintu yang terbuka dan memperlihatkan seorang gadis berdiri disana.

Melihat siapa yang datang, Anggara tampak melonggarkan tangannya yang berada di leher Anton yang kini sudah melemas.

Humaira berjalan mendekat, ia menatap ke arah Anton yang sudah merosot ke bawah lantai. Anton tampak terduduk sambil bersandar di kaki kursi, berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya.

Humaira berjalan tanpa melihat ke arah Anggara yang kini mulai kebingungan mencari alasan.

“Ai..” tangan Anggara menggapai lengan Humaira yang melewatinya tanpa kata, namun segera di tepis oleh gadis itu dengan cepat.

Rasa bersalah pun mulai menyelimuti diri Anggara yang kini hanya bisa diam membisu.

Humaira melihat kondisi Anton, lalu memanggil Jessi yang masih diluar ruangan itu.

“Jessi, tolong bantu aku.”

Jessi yang masih berada diluar ruangan itu dengan ketakutannya tak mau mendekati Humaira.

“Jessi!!” bentak Humaira yang sudah mulai kesal dengan sikap temannya ini.

“Ta.. ta.. pi Mai..” Jessi masih takut dengan amarah Anggara barusan.

“Kemarilah, kita bawa Pak Anton ke rumah sakit.”

Humaira meredakan emosinya dan berkata lembut pada Jessi yang masih syok melihat kejadian tersebut.

“Baiklah Mai..”

Kondisi Anton masih tak berdaya, nafasnya masih belum normal dan ada bekas luka cekikan di lehernya.

Ia merasa kasihan pada sahabat Anggara ini yang telah menjadi pelampiasan amarahnya kali ini.

Jessi memapah Anton dan berusaha membawa pria itu keluar dari ruangan tersebut.

Setelah Jessi dan yang lainnya pergi, barulah ia duduk di kursi tempat Anton bersandar tadi.

“Om,”

“Apa ini dirimu??”

“Setelah pulang dari Amerika, kenapa malah jadi begini?”

Ucap Humaira sambil tangannya ia mengelus kepalanya. Ia melihat ke arah Anggara yang masih berdiri di depannya, kepalanya menunduk. Tak ada keberanian untuk menatap gadis di depannya ini.

“Ai..” Anggara ingin menjelaskan sesuatu, namun terpotong dengan ucapan Humaira.

“Om, jika saja aku tak sampai disini, apa kau akan membunuh Pak Anton?”

“Kau yang selalu bilang, Pak Anton sahabatmu? Tapi apa yang kamu lakukan om?”

Humaira mulai kecewa dengan Anggara yang sudah membahayakan sahabatnya itu.

Anggara mulai sadar akan kesalahannya kali ini, entah mengapa saat ini emosinya sulit sekali terkendali.

Entah mengapa rasa kesal dan marah itu bisa begitu saja meledak, seolah ada bom waktu itu tiba-tiba saja meledak.

“A.. ku minta maaf Ai..”

Hanya permintaan maaf yang bisa Anggara ucapkan, kali ini ia sadar akan kesalahannya.

“Om, seharusnya kau meminta maaf bukan padaku, melainkan pada Pak Anton.”

“Kau seorang bos disini, jagalah ucapan dan tindakanmu.”

“Aku harus kembali ke restoran om, tidak enak jika berlama-lama ijin keluar.”

Setelah mengucapkan semua itu, Humaira mulai beranjak dari kursi itu dan bermaksud untuk keluar dari ruangan tersebut.

Namun langkahnya terhenti seketika, karena secara tiba-tiba Anggara  memeluk dirinya dari belakang dengan begitu erat.

Tangannya melingkar di atas perutnya. Humaira bahkan sampai tenggelam dalam pelukan Anggara.

“Ai, aku minta maaf. Aku hilang kendali.”

“Kaulah yang membuatku lepas kontrol, Ai.”

“Aku rindu dirimu, Ai.”

“Sekian lama,”

“Aku harus berpisah darimu, tapi saat aku telah kembali kau...”

Anggara mengungkapkan isi hatinya yang telah lama ia simpan, yang justru malah membuat Humaira jadi kebingungan dengan ungkapan tersebut.

“Om,”

“Jangan seperti ini, jika ada orang maka..”

Humaira merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri Anggara. Ia mencoba membujuk pria itu untuk melepaskan pelukannya yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Aku nyaman berada di sini Ai, ijinkan aku begini sebentar lagi.”

“Please Ai..”

Anggara berusaha membujuk Humaira yang diam terpaku dengan tingkah Anggara.

“Om, aku harus segera kembali. Aku..”

Perkataan Humaira terputus saat Anggara dengan cepat membalik tubuh gadis itu hingga keduanya saling berhadapan.

Anggara menatap Humaira yang masih polos dengan tatapan penuh kekaguman yang luar biasa.

‘Betapa dia diciptakan Tuhan yang paling sempurna.’

Suatu rasa yang ingin memiliki sosok didepannya saat ini mulai kembali menguasai dirinya. Rasa rindu yang teramat sangat pada diri gadis ini..

Anggara mulai lupa dengan statusnya sebagai kerabat Humaira. Ia berharap lebih, bukan hanya sekadar menjaga gadis itu..

“Humaira..”

“Kau..” ucapnya mulai lirih, tangannya tanpa sadar telah  meraba ke bibir gadis tersebut.

Humaira yang sejak awal diam dengan tingkah Anggara, mulai merasakan keanehan pada pria di depannya ini.

Bibir Anggara perlahan mulai mendekat ke bibir Humaira yang berwarna pink, dan entah sejak kapan bibir Anggara mulai bersentuhan dengan bibirnya.

Humaira yang baru pertama kali merasakan itu, tampak terkaget dengan tindakan Anggara kali ini.

Ia pun dengan cepat mendorong tubuh Anggara agar menjauh darinya. Meskipun ia tahu jika dirinya kalah jauh dari Anggara yang bertubuh lebih besar darinya.

Anggara masih tak mau melepaskan Humaira begitu saja, ia tetap berusaha untuk mencium Humaira.

Humaira merasa Anggara mulai memaksa dirinya, ia merasa risih dengan sikap Anggara. Tangannya pun melesat ke pipi Anggara.

Plak

“Kau sudah diluar batas om!”

Pelukan Anggara terlepas begitu saja setelah tamparan dari Humaira mendarat di pipinya.

“Ai, aku..”

Sebelum Anggara menjelaskan semua, Humaira sudah berlari pergi meninggalkan dirinya yang tak bisa berbuat apapun.

Perasaan Humaira menjadi kacau, ia kini telah berada di dalam taxi menuju ke arah restoran tempatnya bekerja.

Tidak pernah terpikirkan olehnya Anggara akan berbuat seperti itu padanya. Tapi..

‘Apa yang sebenarnya terjadi?’

‘Kenapa kau begitu om?’

Tanpa terasa air matanya menetes. Ia membiarkan air mata itu mengalir di pipinya.

Hiks.. hiks..

“Ma.. aku lelah..” ucapnya lirih di dalam taxi itu, tatapannya ke arah kaca di sampingnya yang melihat ke jalanan.












Terjebak Cinta Duda Lumpuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang