**Sepuluh tahun yang lalu
“Om, kembalikan mainanku..” rengek seorang bocah perempuan sambil melompat-lompat mencoba meraih boneka hello kitty nya yang telah diangkat tinggi-tinggi oleh seorang laki-laki di depannya.
“Coba saja kalau bisa, ha.. ha..” ejek pria itu yang tampak kegirangan melihat bocah itu yang mulai kesal dengan tingkahnya.
“Om.. jahat.. aku gak mau main sama om, aku mau bilang ke mama.” Ucap bocah itu mulai kesal. Karena pria itu tak kunjung memberikan bonekanya, sedang ia sudah lelah melompat-lompat berusaha mengambil bonekanya kembali.
Setelah mengatakan itu, bocah perempuan itu berbalik arah dan meninggalkan pria itu sendiri. Ia merasa jika om nya kali ini sudah keterlaluan dalam mengerjai dirinya.
Melihat si bocah yang menyerah begitu saja, pria itu pun kembali mengejeknya, “ah.. gak asyik.. Humaira gak asyik..”
Tak berselang lama setelah mengatakan itu, pria itu akhirnya memilih untuk mengalah dan memberikan boneka kesayangan bocah itu secara cuma-cuma.
“Iya-iya, nih aku kasih bonekanya, dasar tukang adu.” Balas pria itu, yang masih mengusik bocah itu dengan menjulurkan lidahnya.
Namun siapa sangka, gadis mungil yang sudah mendapatkan bonekanya ini malah bersedih, wajahnya pun tampak sendu.
Matanya membendung air mata yang hampir tumpah dan tangisnya pun akhirnya pecah. Yang membuat pria itu mulai panik dibuatnya.
“Hua.. Hua.. Hua..”
Pria itu berusaha menenangkan gadis mungilnya ini, “Ai, kenapa nangis? Bukankah bonekanya sudah om kembalikan.”
Sebuah belaian kasih sayang darinya tak dapat menghentikan tangisan bocah itu, entah apa yang membuat ia tak kunjung berhenti menangis.
“Jangan nangis kayak gini dong, nanti kakak dengar. Jangan membuat ibumu panik, Ai.” Bujuknya dengan lembut sambil memeluk tubuh bocah itu dan mengelus rambutnya.
Namun siapa sangka Humaira kecil itu masih tak mau diam, segala upaya yang dilakukan Anggara tak dapat menghentikan tangisnya yang semakin lama semakin kencang.
‘Rasain kamu om, aku kerjain.’ Batin bocah itu yang masih pura-pura menangis.
“Humaira.. Anggara..”
Sebuah suara panggilan dari seorang perempuan cantik dari arah belakang Anggara, yang membuat pria itu melepas pelukannya dari bocah mungil itu.
“Kak, maaf sudah membuat Aira menangis..” jelas Anggara muda terlebih dahulu, sebelum kakaknya yang akan salah paham terhadap dirinya.
Perempuan itu hanya tersenyum menanggapinya, “kau itu, tidak tahu akal bulus keponakanmu saja.”
“Sekarang kau malah dijahili kan sama dia?”
Perempuan itu menghampiri anaknya yang sudah diam, bocah itu mengusap air matanya yang membasahi pipi gembulnya.
Wajah yang sejak tadi ditutup dengan tangannya telah dibuka oleh bocah itu, hingga tampak raut mukanya yang sembab.
Awalnya Anggara beranggapan jika bocah itu memang benar-benar bersedih, tapi kenyataannya raut wajah bocah itu justru tertawa puas melihat Anggara yang panik saat ia menangis. Seolah ia telah memenangkan pertandingan.
“Ha.. ha.. Om Anggara kena tipu, yes aku menang..”
“Mama,” panggil bocah itu setelah meledek Anggara yang tercengang dengan drama yang di buatnya, lalu memeluk tubuh ibunya.
Tatapannya beralih ke pria itu yang masih menatap ia penuh rasa kekesalan, namun tampak di tutupi agar tak terlihat di mata sang kakak.
Kemudian bocah itu juga menjulurkan lidahnya pada Anggara. Sama seperti yang di lakukan Anggara tadi. Ia mengejek pria itu yang membuat Anggara semakin kesal bukan main.
“Jadi.. tadi kamu..” Anggara pun tersenyum melihat tingkah bocah itu yang telah berkembang. Rasanya gemas melihat bocah itu ketika sudah bisa membalas kejahilannya.
Ibunya tersenyum melihat kelakuan anak dan adiknya, setiap kali bertemu mereka tak akan pernah bisa akur. Tangannya mengelus lembut puncak kepala Humaira yang duduk di sampingnya.
“Ai..”
“Om baru datang, kenapa kamu mengerjai dia seperti ini,”
“Bukankah kau menantikan kedatangan dia?”
Humaira menanggapinya dengan senyuman, lalu melirik ke arah Anggara yang sudah duduk di sofa depannya. “Aku gak rindu dia, mah..”
“Om jelek,” elak Humaira lalu lari pergi meninggalkan mereka. Ia memilih untuk pergi bermain sendiri.
“Anggara, bagaimana kuliahmu?” tanya Mira, ibu Humaira yang juga kakak angkat Anggara.
“Aku? Baik kak,” jawab Anggara pada sang kakak.
“Bagaimana kabar mama, Anggara? Aku harap beliau baik-baik saja.”
Mira mencoba menanyakan kondisi ibunya yang sudah lama tak ia kunjungi karena suatu masalah.
“Jika kakak rindu pada mama, kenapa tak datang menemuinya?” balas Anggara yang merasa kasihan pada kakaknya ini.
“Kau juga tahu jika aku sudah di hapus dari status keluarganya itu, tidak mungkin juga aku akan menemui beliau, Anggara.”
“Aku tidak tahu jalan pikiran mama saat itu, Anggara. Kenapa memberi pilihan yang begitu sulit untukku.” Ungkap Mira sendu mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
“Mungkin mama ingin yang terbaik untuk kakak, hanya caranya saja yang salah.” Jawab Anggara memberikan pengertian pada kakaknya.
“Tidak mungkin aku meninggalkan Humaira, apalagi usianya yang masih sepuluh tahun ini. Apalagi Mas Zakaria, aku sangat menyayanginya Anggara.”
“Harta bisa dicari, tapi keutuhan keluargaku.. tak akan tergantikan dengan apapun.” Jelas Mira lembut, mengutarakan isi hatinya saat ini.
“Cobalah membujuk mama kak,” Anggara mencoba memberi pengertian pada kakaknya.
“Aku rasa beliau, akan sulit dibujuk Anggara.”
“Kau tak tahu bagaimana keras kepalanya dia.”
“Semoga dia bahagia bersama dirimu. Kau turuti saja apa kemauannya, maka dia juga akan bersikap baik padamu” tambah Mira memberitahu pola pikir ibunya.
“Tapi kak, siapa yang akan memimpin perusahaan? Mama sudah tua kak, papa juga sudah tiada.” Ungkap Anggara.
“Bukankah ada dirimu?” balas Mira.
“Aku bahkan tak tahu seluk beluk perusahaan kak, aku juga baru saja lulus SMA. Mana aku ngerti tentang perusahaan.” Bujuk Anggara berusaha agar kakaknya mau kembali memimpin perusahaan.
“Kau datang kemari untuk membujuk diriku, agar kembali ke perusahaan.”
“Aku minta maaf Anggara, keputusanku tetap sama.” Tolak Mira dengan lembut, namun penuh penekanan.
Kemudian ia beranjak mencari keberadaan putrinya yang bermain di luar sana bersama teman-teman sebayanya.
Anggara mengingat kembali memorinya ke sepuluh tahun yang lalu, dimana ia diadopsi oleh orang tua Mira saat itu.
Dari sana Anggara bisa merasakan kasih sayang yang begitu besar di dalam keluarga itu, namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Terjadi sebuah kejadian yang telah mengubahnya. Orang tua Mira awalnya tak pernah menyetujui pernikahan Mira dan Zakaria.
Sebab Zakaria bukanlah dari keluarga berada, namun ia terpaksa menyetujui pernikahan itu dengan berbagai syarat.
Dan setelah menikah syarat terakhir tak mampu Zakaria penuhi yaitu memberikan rumah yang besar serta fasilitas untuk Mira.
Hari itu, ibunya Mira meminta syarat itu segera ditepati dan jika tak mampu dirinya harus meninggalkan Mira serta Humaira yang masih berusia 5 tahun.
Mira yang mendengar perdebatan ibunya dengan suaminya pun mulai angkat bicara.
“Ma, syarat apa yang harus dipenuhi mas Zakaria?”
“Bukankah kau sudah menyetujuinya pernikahan kami?”
“Lalu apa maksudnya ini?”
Berbagai pertanyaan dalam hatinya ia katakan secara langsung di hadapan ibunya.
“Ya, aku memang setuju kau menikah dengannya. Tapi dengan syarat.”
“Tapi syarat kali ini aku rasa dia mulai kesulitan.”
“Orang miskin, tetaplah orang miskin.”
“Kau juga kenapa bisa hidup dengan orang yang seperti ini.” Sindir Ibunya Mira tanpa pandang bulu.
Zakaria saat itu hanya diam, kali ia memang bersalah disini. Dirinya tak mampu memberikan segalanya untuk Mira.
Yang dimilikinya hanya cinta, dan kasih sayang. Hinaan itu membuatnya sadar akan posisinya.
“Mira, benar kata ibumu. Aku tak bisa membuatmu bahagia. Tak bisa membelikanmu pakaian yang indah,”
“Rumah mewah, bahkan kendaraan yang kita miliki bisa membuatmu terkena panas dan hujan.”
Zakaria mulai merendah, apalagi ini sebuah kenyataan. Kini ia hanya bisa menyerah dan memberikan pilihan itu pada Mira.
“Aku sudah bahagia hidup bersamamu mas,”
“Ma, tolong jangan seperti ini. Apa mama tak kasihan dengan Humaira?”
“Apa kau ingin Humaira tanpa ayahnya?”
“Aku tak mengerti jalan pemikiran mama,” tegas Mira mengutarakan pendapatnya.
“Humaira hanya kehilangan Zakaria, bukan kebahagiaannya.”
“Tanpa dia Humaira bisa hidup, kau kembalilah ke perusahaan itulah yang membuat anakmu bahagia.” Paksa ibu Mira saat itu membuatnya terpukul.
“Tidak ma, aku lebih memilih suamiku yang membuat anakku bahagia. Bukan perusahaan atau dirimu.” Elak Mira yang tetap kekeh dengan pendiriannya.
“Jadi kau lebih memilih dia daripada keluargamu sendiri, kau akan aku keluarkan dari daftar keluarga?” putus ibunya lalu meninggalkan Mira yang juga diam seperti patung.
Sejak kejadian itu, daftar keluarga tak ada nama Mira disana. Ancaman ibunya telah terjadi, buat Mira terpisah dari keluarganya demi suami yang di cintainya.
Ini pilihannya sendiri, ia harus bertanggung jawab akan apa yang ia pilih.
Mengingat itu Anggara merasa rasa sakit yang dirasakan kakaknya saat itu pasti membuat luka yang begitu dalam bagi Mira. “Pantas kau tak mau menemui mama, kak.”
Mira masuk kembali setelah mencari anaknya, dan kembali duduk bersama Anggara yang tampak melamun.
“Kau kenapa?” sapa Mira yang melihat adiknya kini terlihat murung.
“Tidak kak, aku dengar kakak hamil lagi. Sudah berapa bulan?”
Anggara terkejut dengan kedatangan kakaknya, hingga ia mengganti percakapannya tadi yang tak ingin membuat sedih Mira.
“Sudah 4 bulan Anggara,” jawab Mira yang sudah terlihat baik-baik saja.
***
Waktu pun cepat berlalu Humaira pun tumbuh semakin dewasa, pertemuannya dengan Anggara terakhir kali saat usianya masih 10 tahun. Dan kini...
“Mai,” teriak seorang gadis memanggil Humaira yang sedang duduk di sebuah taman.
Humaira hanya tersenyum melihat temannya ini, “ada apa?”
“Kau dicari sama Roy, apa kau ada masalah sama dia?” Tanya Desi yang takut akan Humaira membuat masalah dengan ketua geng rusuh di sekolah itu.
“Kenapa aku harus buat masalah, Des?” tanya Humaira dengan tenang.
“Beneran kamu gak buat masalah sama dia?” Desi masih penasaran dengan Humaira yang dicari oleh Roy.
“Kau ini kenapa, Des? Aku baik-baik saja. Tenanglah!!” ungkap Humaira yang masih tetap tenang sedang temannya ini khawatir dengan keadaannya.
“Kamu nyari aku cuman tanya gitu doang? Kalau gitu aku ke toilet dulu ya,” pamit Humaira ke Desi yang masih melihat kearah dia sampai Humaira tak terlihat lagi.
Bel tanda masuk kelas telah berbunyi, semua murid telah duduk di kursinya masing-masing. Namun kursi milik Humaira masih kosong, padahal guru matematika saat ini mulai masuk.
Desi teman sebangku Humaira, ia mulai panik karena ia tak kunjung kembali ke kelas setelah minta ijin ke toilet, “Dimana kamu Mai? Masak ke toilet lama banget.”
Pelajaran pun telah dimulai tanpa ada Humaira. Tapi sampai tanda bel pulang sekolah Humaira masih tak kembali. Buku dan tasnya juga masih ada disana, tapi kemana orangnya.
Setelah pembelajaran selesai Desi mulai menanyakan ke teman-teman sekelasnya, berharap salah satu diantaranya ada yang melihat Humaira. Tapi..
‘Tak ada yang melihat Humaira?’
Desi akhirnya mencari ke setiap sudut sekolah yang ditemani oleh Bobby, tapi pencariannya gagal. Ia tidak ditemukan di sekolah.
“Apa dia sudah pulang dulu ya, Bob?” tanya Desi pada Bobby yang juga sahabat Humaira.
“Coba kamu hubungi dia?” Bobby memberi saran pada Desi.
“Sudah Bob, tapi gak ada yang ngangkat ponselnya.”
“Apa kita ke rumahnya ajah, kita bawain juga tasnya. Semoga saja dia sudah di rumah.”
Desi mencoba berpikiran positif, lalu mereka meninggalkan sekolah itu dan menuju ke rumah Humaira untuk mengembalikan tasnya.
Namun begitu sampai rumah Humaira, kedua sahabat ini juga tak menemukan Humaira. Sedang ibunya yang mendengar kabar itu, membuatnya panik dan gelisah memikirkan anaknya.
“Kenapa bisa Humaira menghilang? Lalu kemana dia?” Ibu Mira tampak cemas memikirkan anaknya.
“Maaf Tante tadi kami pikir Humaira sudah pulang duluan?” ucap Desi yang segera diangguki oleh Bobby.
“Benar Tante, saya juga berpikir begitu.” Tambah Bobby.
Dari dalam rumah, “ada masalah apa kak?” sahut seorang pria, yang membuat kedua temannya ini takjub dengan ketampanan pria didepannya ini.
“Anggara, Humaira..”
“Hilang..”
Mira sudah tak mampu menahan air matanya lagi, Anggara segera menenangkan kakaknya.
“Aku akan mencari Humaira, kak.”
Setelah mengatakan itu, Anggara menuju ke sekolah bersama dengan kedua teman Humaira.
“Gila, ini Omnya Humaira yang sering diceritakan dia?” bisik Bobby pada Desi yang masih terpukau dengan ketampanan yang dimiliki Anggara.
“Iya kayaknya, gila keren abis. Kau itu cowok gak pantes ngomong kaya gitu.” Tutur Desi yang juga tertarik dengan Anggara.
“Sudahlah, kita fokus saja mencari Humaira dulu.” Bisik Bobby yang segera diangguki oleh Desi.
Anggara tampak tenang, namun didalam hatinya kali ini mulai kacau.
Didalam sekolah kini sudah tampak sepi, para siswa sudah tak terlihat. Hanya dua teman Humaira dan satpam yang menemani pencarian Anggara kali ini.
“Kita berpencar saja, kita saling menghubungi lewat ponsel saat sudah menemukan dia.” perintah Anggara kedua teman Humaira sedangkan satpam itu akan ikut bersama dengannya.
“Ai,”
“Ai, dimana kamu,” teriak Anggara sekeras-kerasnya agar didengar oleh Humaira.
Mereka pun kembali berkumpul, setelah seluruh sekolah sudah mereka cari, namun tetap saja tak menemukan keberadaan Humaira.
“Bagaimana?” tanya Anggara yang juga tak menemukan Humaira. Matanya masih mencari setiap sudut namun tetap tak ada hasil.
Desi dan Bobby hanya menggelengkan kepalanya, mereka tampak sudah lelah mencari Humaira yang tak kunjung mereka temukan.
Ditambah hari yang semakin senja, Anggara tak tega melihat keduanya yang sama sekali belum pulang ke rumah akibat hilangnya Humaira.
“Kalian pulanglah, aku akan mencoba mencarinya lagi.” Putus Anggara akhirnya.
Setelah keduanya pergi, tinggallah dia dengan satpam sekolah itu. Ada satu tempat yang menjadi incaran Anggara. Satpam itu tampak menutupi tempat tersebut dari Anggara.
Tapi semua itu tak membuat Anggara menyerah. Hanya tempat itu yang belum Anggara buka, dan ia cari. Tempat itu memang agak kotor bahkan seperti sudah terbengkalai.
Banyak rumput di sekitar tempat itu, serta beberapa tumbuhan menjalar membuat tempat itu menjadi rimbun.
“Bagaimana pak ini, tinggal kita berdua. Mungkin anaknya main ke tempat temannya.”
“Kita sudah menelusuri setiap ruangan, dan bapak sendiri tahu. Kita tak menemukan apapun.”
Tutur satpam itu, ingin menyudahi pencarian tersebut. Ia pun mulai menjauhi Anggara yang masih penasaran dengan satu ruangan itu.
“Ada satu ruangan yang belum kita telusuri pak, dan bapak sendiri seperti menutupi sesuatu pada saya.” Balas Anggara yang membuat satpam itu berhenti melangkah.
“Saya tidak menutupi apapun pak,” jelas satpam itu.
“Jika begitu, aku ingin kita mencari ke satu ruangan yang belum kita masuki.” Pinta Anggara yang membuat satpam itu tampak ketakutan.
“Tapi pak..”
Satpam itu tampak kesulitan untuk menjelaskan, membuat Anggara semakin penasaran dengan tempat tersebut.
“Pak, disana tak ada yang berani masuk kesana. Banyak hantu pak..”
“Saya.. saya.. takuuut..”
Satpam ini tampak jujur dalam mengatakannya, tapi bagi Anggara hantu adalah hal yang mustahil.
“Ijinkan saja saya kesana pak,” pinta Anggara yang akhirnya disetujui oleh satpam tersebut.
“Bapak hati-hati, ini ada senter. Kalau ada apa-apa, bapak teriak saja. Saya tunggu di luar.”
Satpam itu memberi peringatan serta saran pada Anggara yang sudah berada di depan ruangan itu yang sudah tampak di bersihkan oleh satpam tadi.
Kriiieett,
Pintu itu tampak penuh dengan debu dan terlihat sudah usang dimakan usia, hingga untuk membukanya saja begitu sulit.
Anggara mendorong pintu tersebut dengan penuh tenaga, barulah pintu itu terbuka. Di depan pintu ia tak segera masuk, dia menatap ke seluruh penjuru ruangan itu tanpa terlewatkan.
‘Gelap dan pengap.’ Itu yang di rasakan Anggara saat berdiri tepat didepan pintu tersebut.
Terlebih dahulu ia menatap ke atap ruangan yang tampak seperti bekas perpustakaan sekolah, masih ada sisa-sisa buku disana beserta rak bukunya.
Serta masih ada meja dengan kursi yang sudah penuh debu dan juga rapuh. Atapnya juga terlihat sudah mau roboh.
Anggara mengedarkan pandangannya, ia berjalan perlahan-lahan sambil memanggil nama “Humaira.”
Tatapannya ke arah sebuah lemari yang telah usang, samar-samar ia melihat seperti ada seseorang yang meringkuk disana.
Anggara berjalan ke arah lemari itu, dan..
Benar saja seorang gadis tampak meringkuk, tak berdaya. Wajahnya tak terlihat karena tertutup rambutnya yang panjang dan tergerai kusut.
Sedangkan tubuh gadis itu, putih mulus tak ada luka gores sedikit pun. Anggara dapat melihat setiap detail tubuh itu, karena saat ini gadis itu tak mengenakan pakaian.
Anggara melihat lagi ke tubuh gadis itu, tangannya tampak terikat erat ke belakang.
Ia penasaran dengan tubuh itu yang tergolek lemas tak berdaya. Anggara melepas jaketnya, dan menyelimuti tubuh polos itu.
Lalu merapikan rambut gadis itu, agar ia dapat melihat wajahnya. Namun betapa tercengangnya ia setelah tahu wajah gadis didepannya ini.
“Aira,”
Anggara melihat wajah Humaira yang sudah tampak lemah, mulutnya di sumpal dengan kain lalu di perban.
Anggara melepas perban di mulut Humaira, serta melepas semua ikatan di tubuhnya.
Setelah semua ikatan ia lepaskan, barulah ia menggendong tubuh Humaira yang kotor penuh debu itu keluar dari tempat itu.
Diluar satpam itu tampak tercengang dengan penampakan di depannya, ia merasa bersalah karena sempat menghalangi Anggara mencari di tempat itu.
Tak pikir panjang, Anggara segera membawa Humaira menuju ke rumah sakit, karena kondisinya yang memprihatinkan dan ia juga masih tak sadarkan diri.
“Siapa yang berani berbuat seperti ini padamu, Ai.”
“Teganya mereka menyakitimu, Ai.”
“Lihat saja, Ai!! Mereka akan aku cari, akan kubalas dendamkan dirimu, Ai.”
Tangannya mengepal erat, pandangannya ke arah Humaira yang tergolek lemah di kursi penumpang di sampingnya.
Sebelumnya ia mengabari Mira, agar tak cemas memikirkan anaknya. Namun ia tak mengatakan kondisi anaknya yang seperti ini.
Sesampainya di rumah sakit dan mendapat penanganan oleh dokter kondisi Humaira pun tampak lebih membaik dan berangsur pulih.
“Ai, aku bersyukur kamu sudah baik-baik saja,”
Namun Humaira menatapnya dengan pandangan yang kosong, ia juga diam seperti patung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Cinta Duda Lumpuh
Random"Maukah kau menikah denganku," ujar Arkanza Putra Atmaja. "Menikah dengan pria lumpuh sepertimu akan menjadikan aib bagiku," ucap seorang perempuan yang berdiri didepannya dengan raut wajah yang marah. Arkanza seorang CEO dengan wajah yang rupawan...