Kedatangannya

196 8 0
                                    


Akbar!!”

Panggilnya bersamaan dengan Zaen, keduanya melihat kearah keberadaan Akbar yang sudah tidak ada pada tempatnya semula. Apalagi sesudah keduanya sama-sama mendengar suara Akbar yang  terakhir.

“Dimana Akbar, Zaen?”

Tanya Humaira meninggikan suaranya, seolah membentak Zaen yang kini melihat kearahnya dengan diam. Humaira mulai panik.

Apalagi semua ini karena Zaen yang sempat meninggalkan Akbar karena ingin mengorek informasi tentang dirinya yang pergi bersama laki-laki.

Pikiran Humaira yang tadi sempat kosong akibat ulah Zaen yang mempertanyakan tentang sosok Arkan, kini dengan hilangnya Akbar yang secara tiba-tiba dari rumahnya membuatnya semakin emosi pada adiknya.

Humaira melihat kearah pintu rumahnya saat ini..

“Oh.. tidak??” Bukankah tadi pintu itu tertutup.

“Tunggu,” kenapa pintunya kini terbuka? Seingat Humaira, sesaat setelah dirinya masuk rumah pintu itu sudah ditutup rapat olehnya. Namun sekarang?

“Zaen!! Pintu itu? Apa kau yang membukanya?”

Humaira menunjuk kearah pintu itu, ia pun mulai menyadari ada sesuatu hal yang aneh, lalu menanyakan pada adiknya.

Zaen yang mendengar ucapan kakaknya kini mulai sedikit panik. Padahal tadi ia mencoba berpikiran positif tentang hilangnya Akbar. Namun setelah ingatan kakaknya yang tiba-tiba menyebut pintu itu terbuka..

Zaen juga masih ingat tentang pintu itu yang sejak tadi memang tertutup saat ia pergi mengintrogasi kakaknya. Tapi kini..

Sebuah rasa bersalah mulai menggeluti diri Zaen. Andai dirinya tak bertanya pada kakaknya tadi..

Sesuatu hal buruk itu tak akan mungkin terjadi, Akbar tidak akan mungkin keluar dengan sendirinya. Tangannya bahkan tak sampai untuk menggapai kaitan pintu itu.

“Tidak,” 

Pikiran Zaen kini menuju ke kemungkinan terburuk, apalagi adiknya ini masih kecil. Rasanya tidak mungkin jika Akbar keluyuran sendirian.

Ditambah lagi dengan hari yang kini mulai bertambah gelap, menambah kecemasan didalam diri Zaen. Ia melihat ke arah kakaknya saat ini, yang masih  mondar mandir mencari adiknya di dalam rumah.

Melihat betapa cemasnya kakaknya saat ini, membuat Zaen berpikir untuk menenangkannya.

Tangannya memegang tangan Humaira yang masih sibuk berlarian kesana kemari untuk mencari Akbar.

“Tenanglah dulu kak,”

“Aku akan mencoba mencarinya di luar rumah terlebih dahulu, kakak istirahat saja dulu.”

Ucap Zaen dengan lembut, seolah ia tak mencemaskan kondisi adiknya. Padahal di dalam hati Zaen sedang bertalu-talu ingin segera menemukan adiknya.

Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan kakak perempuannya, hanya dia laki-laki dirumah itu yang harus melindungi baik kakak maupun adiknya.

Jadi meskipun usianya terpaut jauh dari Humaira, jalan pemikiran Zaen bisa jauh lebih dewasa dibandingkan dengan usianya saat ini.

“Tidak Zaen aku ikut mencari Akbar.” Tegas Humaira yang masih resah memikirkan kondisi adiknya.

“Baiklah kak Mai, kita cari diluar dulu. Semoga saja Akbar bermain disana.”

Ungkap Zaen dengan tenang, berharap adiknya hanya bermain-main di halaman.

Humaira hanya mengangguk menyetujui pendapat Zaen, “ya semoga saja memang hanya main-main di halaman rumah.”

Kini pencarian telah dimulai di luar rumah, sesuai ucapan Zaen. Namun sepertinya pencarian itu  semakin sulit, ditambah hari semakin gelap yang menjadi kendala bagi mereka.

Terlebih lagi tak ada satu orang pun yang keluar rumah untuk dimintai tolong. Suasana tampak hening, hanya suara Zaen dan Humaira yang berteriak-teriak memanggil ‘Akbar’.

“Akbar..”

“Dimana kamu sayang?”

Teriak Humaira berlarian kesana kemari demi mencari adiknya itu. Namun rasanya usaha dari keduanya tampak sia-sia belaka.

“Kenapa bisa hilang secepat itu ya kak?”

Zaen bertanya pada kakaknya, walaupun tak ada sahutan darinya. Tampak wajahnya yang begitu sendu, matanya seperti membendung air mata yang hampir saja menetes di pipinya.

“Kakak jangan bersedih, kita coba cari lagi saja kak.. yuk kak..”

Ajak Zaen yang mendapat sebuah anggukan dari Humaira.

Tapi tunggu..

Seseorang tampak memasuki gang nya dengan menggandeng seorang anak kecil yang seperti tak asing dimata keduanya.

Mata keduanya saling bertatapan seolah saling berkata, “apa itu Akbar?”

Mereka masih mencoba menerka-nerka, karena di gang begitu gelap tak ada penerangan sama sekali.

“Akbar kau kah itu?”

Humaira mencoba menerka, ia memanggilnya dengan pelan. Rasa ragu masih menyelimuti dirinya. Benarkah sosok bocah kecil dalam bayangan itu benar-benar adiknya atau..

Hingga mereka semakin mendekat, setelah sorot lampu itu telah menyinari wajah kedua orang tersebut dan barulah tampak siapa mereka.

“Akbar, sayang!!” Sebuah panggilan sayang ia berikan pada Akbar dari sang kakak yang tampak lega karena sudah menemukan adiknya ini.

Ya. Sosok itu benar-benar adiknya, lalu dia bersama siapa? Akbar melepas gandengan tangannya lalu berlari kearah  kakaknya yang memanggil dirinya.

“Kak Mai,”

Jawabnya dengan senyum yang merekah yang diberikan bocah itu segera menghampiri kakaknya. Humaira segera meraih tubuh mungil itu, masuk kedalam dekapannya.

Di dalam genggaman tangan bocah itu, ada sebuah kantong plastik yang didalamnya entah berisi apa.

Kakaknya hanya memperhatikan plastik itu, ia hanya menanyakan kemana adiknya berada tadi.

Dengan lembut Humaira menanyakan pada adiknya, “Akbar tadi dari mana? Kenapa pergi tak bilang dulu ke kakak? Kakak bingung cari kamu.”

“Maaf kak, tadi..” ungkap Akbar sambil menoleh ke belakang, menatap ke arah seseorang yang ada disana.

Seolah meminta pertolongan pada orang tersebut, dan kembali ia menatap ke arah sang kakak didepannya, kemudian ia menunduk.

Akbar diam tanpa kata, tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut dari belakang.

“Maafkan aku Aira, tadi aku membawanya keluar tak bilang dulu padamu. Karena aku mendengar Zaen sedang bertanya padamu tentang seorang lelaki.”

“Jadi.. aku bermaksud untuk..”

Ucap laki-laki yang menggandeng tangan Akbar tadi yang kemudian meminta maaf pada Humaira. Ia merasa kasihan pada Akbar yang terlihat merasa bersalah pada kakaknya.

Humaira tak menggubris ucapan lelaki itu, ia tetap fokus kepada adiknya. Meskipun ucapannya begitu lembut tapi seolah dapat memberi peringatan pada sang adik.

“Zaen, tolong bawa Akbar masuk kedalam.” Pinta Humaira pada adiknya.

Tanpa banyak bicara Zaen segera membawa Akbar masuk ke dalam rumah.

“Kenapa om kemari?”

“Apa ada masalah di klub?”

Tanya Humaira pada laki-laki didepannya, sesaat setelah kedua adiknya masuk ke dalam rumah.

Pria itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Humaira. Ia hanya menatap ke arah wajah Humaira yang tak mengenakan kacamatanya.

Wajah cantik gadis itu membuatnya terpana, hingga..

“Om,”

“Om,”

“Om Anggara,”

Panggil Humaira yang meninggikan intonasi suaranya.

“Kok malah melamun?”

Gadis itu tampak kesal dengan sikap Anggara, hingga ia berdecak sebal. Namun lain dengan pria itu, dia justru malah tersenyum sumringah melihat Humaira yang kesal.

“Ternyata kau semakin cantik jika marah,” balas Anggara mencubit dagu gadis itu.

“Om.. aku sudah bukan anak kecil lagi ya?” jawab gadis itu yang bertambah kesal.

“Iya-iya, om tahu..”

“Aku dengar, kau sudah melunasi hutangmu itu?”

Tanya Anggara yang mulai serius pada gadis didepannya saat ini. Yang membuat Humaira membulatkan matanya.

‘Kenapa ia bisa tahu tentang itu,’ batinnya.

“Humaira??”

“Kenapa tak jawab?”

Anggara ingin tahu, dari mana Humaira bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ataukah ia..

“Darimana om tahu tentang itu?”

“Tenang saja om, aku akan tetap bekerja di klub.”

Ucap Humaira tegas, hingga membuat Anggara sedikit tak percaya dengan keponakannya ini yang mulai berubah.

“Kau tak menjual diri kan?” Tanya Anggara, rasa ingin tahu nya begitu besar. Apalagi sebuah rasa yang sampai saat ini masih tersimpan jauh di lubuk hatinya.

“Aku bukan wanita rendahan seperti yang kau pikirkan om!!”

Bentak Humaira yang telah di tuduh oleh Anggara sebagai wanita yang buruk dimatanya.

“Kau sekarang berani ya membentak ku??” ucap Anggara pada Humaira.

“Aku tak akan seperti itu jika kau tak mengatakan hal keji itu om,” balas Humaira yang tak terima.

Keduanya saling berdebat hebat, seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Kedua adiknya menatap pasangan itu dari balik jendela. Lalu pergi setelah Humaira melotot menatap mereka.

“Siapa laki-laki itu Humaira??”

“Pacarmu atau..”

Desak Anggara yang sudah dibutakan oleh perasaan yang begitu sulit untuk diungkapkan. Perasaan sesak dan menyakitkan.

Terjebak Cinta Duda Lumpuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang