Tara merasa sangat sial hari ini. Segala sesuatunya terasa semakin buruk ketika dia harus menderita hukuman dari Hunter. Dia menatap punggung Hunter dengan rasa tidak suka yang mendalam. Seandainya saja pria itu membiarkannya pergi, mungkin sekarang dia sudah berada di dalam kelas dengan tenang.
Ketika mereka tiba di tempat tujuan, Hunter duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan. Tara masih berdiri di tempatnya, memandang Hunter dengan rasa kesal yang tak terbendung.
"Kenapa kamu masih di sana? Cepat lari," Hunter memberi kode dengan menganggukkan kepalanya.
"Tapi... Pak, saya sudah bilang kenapa saya terlambat." Tara menolak untuk mengikuti perintah Hunter.
"Oh, begitu... Jadi kamu tidak mau saya menghukum mu?" Hunter berdiri dan mendekati Tara, memandang lapangan yang terbentang luas di bawah sinar matahari pagi.
"Bukan karena saya tidak mau... tapi..." Tara melirik ke samping, namun Hunter sudah tidak ada di sana. Dia terkejut saat mendengar suara berat Hunter yang berbisik di telinganya dari belakang.
"Bu Dara sedang menuju ke sini. Hukumanmu akan dua kali lipat dari saya," ujar Hunter dengan suara pelan sambil tangannya yang besar perlahan merayap ke pinggang Tara. Tara merasa ngeri dan segera menjauh, membuat senyum muncul di bibir Hunter.
Tara segera meletakkan tasnya di pinggir lapangan dan mulai menjauhi Hunter yang masih menyilangkan tangannya di dada. Entah kenapa tubuh Tara sangatlah pas di tangannya. Ah, apa dia merindukan malam panas itu? Hunter kemudian menggeleng-geleng pelan mencoba mengusir perasaan tersebut. Lagipula sejak kapan dia jadi tidak terkendali seperti ini? Lebih parahnya lagi terhadap anak dari cinta pertamanya.
Beberapa menit berlalu, Tara melihat Hunter sedang bercanda dengan seorang wanita cantik, Bu Dara, yang tersenyum malu-malu. Tara merasa semakin kesal melihat kejadian itu.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak keberatan," kata Bu Dara, terbawa rayuan pria itu. "Hahaha, orang muda selalu punya alasan. Pak, Anda harus tegas dengan siswa seperti mereka. Saya kadang geram mendengar alasan klasik yang sering diucapkan saat siswa terlambat."
Langkah Tara melambat. Dia merasa napasnya hampir terputus. Dia berhenti sejenak karena kepalanya tiba-tiba terasa pusing dan berputar.
Hunter mengangguk setuju dengan ucapan wanita itu yang terlihat kesal. "Benar sekali, Bu."
"Iya, Pak. Saya benar-benar muak mendengar alasan macet, macet, macet! Seolah-olah mereka tidak punya niat untuk sekolah, setidaknya mereka harus berusaha. Benar, kan, Pak?" keluh Bu Dara.
Pandangan Tara kembali ke depan. Gadis itu memegangi perutnya yang terasa sakit, mungkin karena belum sempat sarapan.
Sial!
Hunter tidak menghiraukan perkataan Bu Dara. Senyum canggung wanita itu kemudian pamit kepada Hunter karena ada kelas yang harus ia hadiri. "Silakan, Bu."
Setelah Bu Dara pergi, mata hitam Hunter tertuju pada Tara yang tampak menderita. Kaki Hunter berlari menuju Tara yang sekarang berjongkok di garis lapangan, mencoba meredakan pusingnya.
Sekali lagi!
Perasaan yang sama seperti saat dia dihukum oleh Hunter pada hari pertamanya di sekolah. Sial! Ada apa dengan dirinya?
"Wajahmu pucat," ujar Hunter memberitahu.
Tara mengangkat kepalanya. "Karena kamu, tahu! Sudahlah, pergi sana!" Tara menjawab dengan nada sinis.
Hunter sendiri tidak bisa memahami gadis ini yang terus mengeluh. Padahal, dia sudah mengurangi keangkuhannya untuk mendekati gadis itu.
"Kalau kamu tidak kuat, kamu bisa pergi ke UKS," sarannya.
"Siapa bilang aku tidak kuat?" Tara menjawab dengan tegas, berusaha untuk tidak terlihat lemah di depan Hunter. Dia memang keras kepala.
Hunter mengeluarkan sebungkus coklat dari kantong celananya. Dia sangat hal berbau manis, jadi sakunya kerap dipenuhi permen ataupun coklat. Kemudian Hunter menyodorkan sebungkus coklat itu ke Tara.
Tara lantas menatap sebungkus coklat itu dengan garis dahi yang berkerut. "Nggak usah, Pak. Bapak senang kan? Lihat saya menderita."
"Kamu ngomong apa sih? Makan aja buat isi perut," jawab Hunter yang pagi ini masih memiliki batas kesabaran dalam menghadapi sifat gadis yang satu ini. Bukannya Hunter sok baik, khawatir atau semacamnya, dia hanya tak ingin gadis ini akan pingsan yang nantinya akan merepotkan dirinya lagi.
"Pak budek ya? Aku bilang nggak usah, ya nggak usah!"
Hunter menggelengkan kepalanya dengan malas, meskipun pikirannya sudah kacau sejak tadi. "Nggak salah banget kamu menerima hadiah dari orang baik seperti aku ini." Sikap tenang Hunter melebihi ketenangan lautan.
Beberapa detik berlalu. Setelah perdebatan yang melelahkan, akhirnya Tara dengan ragu menerima cokelat tersebut. "Ini tidak beracun, kan?" tanyanya, sedikit merobek bungkus cokelat itu.
Tidak ada jawaban dari Hunter, tetapi sebelum Tara mencobanya, Hunter menyamakan dirinya dengan Tara dan memiringkan kepalanya untuk menggigit cokelat itu. Mata Tara membulat kaget melihat cokelat itu sudah terpotong, dan kemudian matanya bertemu dengan mata hitam milik Hunter.
"Lihat, aku juga memakannya." Hunter menjilat bibirnya dan menelan sepotong cokelat tadi. Tara menelan ludahnya sendiri, pikirannya melayang ke mana-mana melihat pemandangan liar itu.
Hunter meninggalkan Tara untuk mengambil tas dari si gadis itu yang diletakkan di tanah lapangan. Diam-diam, Tara terus memperhatikan pria itu yang duduk di sebelahnya, sambil makan cokelatnya.
"Btw, Pak. Nggak ada kelas ya?" Tara angkat suara.
"Nggak ada." Hunter menjawab cuek, matanya lebih fokus pada ponselnya.
Tara jadi mengerti kenapa pria itu ada di luar dan sekarang bersamanya. Ternyata dia sedang tidak ada kerjaan pagi-pagi. Seenaknya menghukum anak orang, mengambil alih peran Bu Dara sebagai guru BK.
"Pak, sudah ini saya boleh kan ke kelas?" kata Tara sambil mengunyah coklatnya.
Sudut mata Hunter melirik ke sebelahnya. "Kamu udah baikkan?" tanya Hunter.
"Ya, udah mending sih, Pak." Sebelum Tara bangkit, Hunter menyimpang ponsel ke dalam sakunya dengan cepat. Lalu, Hunter memegang tangan mungil nan mulus Tara. Awalnya, Tara menghempas tangan Hunter, namun tangan besar milik pria itu malah menahannya dengan kuat. Kini, perlahan-lahan Hunter membantu Tara untuk berdiri.
Wajah Tara memerah malu. "Pak, aku cuma nggak enak badan tadi. Jangan perlakukan aku seperti orang sakit parah dong!" Tara menarik tangannya yang ada di genggaman Hunter kembali.
Hunter terdiam sesaat. "Okay," ujarnya kemudian.
Selang beberapa waktu, Hunter mengantar Tara ke pintu kelas. Dari dalam, tampak proses pembelajaran sedang berlangsung.
"Bapak masih ngapain di sini? Udah sana balik!" Tara memperhatikan sekelilingnya dengan was-was. Aduh! Bisa jadi gosip hangat kalau ada yang melihat mereka berdua bersama.
Tapi wajah Hunter tampak santai saja. "Hubungi saya kalau kamu masih pusing ya?" ujar Hunter berlagak menjadi sosok guru yang sok peduli.
Tara menanggapinya dengan anggukan malas. "Iya, iya. Sudah sana," usirnya lagi sambil mendorong badan Hunter, namun tubuh lelaki itu tidak bergerak dari tempatnya.
Hunter menghela napas kasar. "Kamu nggak mau bilang apa-apa sebelum aku pergi?" tanyanya sambil menahan pergelangan tangan Tara, menatap mata abu-abu miliknya.
Tara menunduk kepalanya. Ya, ampun kenapa dia malu-malu begini. "Pak, uhm..." Tara menjeda ucapannya, membuat Hunter tak sabar menunggu lanjutan dari Tara. "Terima kasih."
Di detik itu, ada garis lengkung tipis yang terbit di bibir Hunter. "Sama-sama." Tangannya melepaskan pergelangan tangan Tara lalu mengacak rambut gadis itu sebentar sebelum pergi dari sana.
Butuh waktu beberapa menit bagi Tara untuk bisa mengangkat pandangannya karena malu menghantam harga dirinya. "Eh, Lara ngapain kamu cuma berdiri di sana?"
Itu suara Alrga. Tara menoleh ke belakang dengan cepat. "Bu, Lara ternyata---"
Tara langsung melayangkan tatapan tajam sebagai tanda peringatan, yang sontak menghentikan ucapan Alrga.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma of Secrets: Love in Shadows
RomanceTara, seorang agen rahasia yang berdedikasi, menemukan dirinya terjebak dalam sebuah dilema yang rumit. Ia telah jatuh cinta pada targetnya sendiri, seseorang yang seharusnya menjadi musuhnya. Cinta yang tumbuh di antara mereka membuat Tara meraguka...